Koin keadilan dari masyarakat luas untuk Prita Mulyasari yang akhirnya terkumpul mencapai Rp 650 juta dan masih terus bertambah hingga hari ini. Koin-koin tersebut telah diserahkan ke Prita untuk membayar denda Rp 204 juta yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang yang memenangkan gugatan perdata dari Rumah Sakit Omni Internasional (RS Omni) terhadap Prita, sedangkan sisanya akan disumbangkan kepada yayasan untuk membantu orang-orang yang mengalami nasib yang sama dengannya. Prita yang sekedar mencurahkan perasaan kecewanya atas buruknya pelayanan RS. Omni melalui media internet, justru digugat dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Meski kemudian RS Omni mencabut gugatan perdatanya tersebut, namun masalah pidana yang sempat membuat Prita harus meringkuk di penjara selama 3 minggu, belum selesai. Ketidakadilan yang diterima oleh Prita menuai simpati yang luar biasa dari masyarakat luas. Betapa tidak, di Negara yang sudah tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan dan keadilan kepada rakyatnya, ternyata masih memiliki cukup banyak warga Negara yang peduli dan punya hati nurani.
Kasus Prita ini dapat ditinjau dalam banyak perspektif, salah satunya adalah masalah pelayanan kesehatan. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi dan merupakan kewajiban Pemerintah selaku penyelenggara Negara untuk memfasilitasinya, namun kasus yang dialami Prita ini telah menunjukkan kepada kita bagaimana Pemerintah selaku penyelenggara Negara telah gagal dalam melaksanakan kewajibannya itu. Sesungguhnya apa yang dialami oleh Prita adalah ibarat fenomena gunung es yang tampak di permukaan laut, masih banyak Prita-prita lain yang mengalami nasib serupa karena pelayanan kesehatan yang buruk dan ketidakadilan.
Kita tentu sering mendengar keluhan mengenai mahalnya biaya perawatan di rumah sakit dan harga obat-obatan. Banyak pasien yang mengalami penolakan karena tidak mampu menyediakan uang jaminan. Kalaupun kemudian diterima untuk dirawat, pasien akan dibebankan biaya perawatan dan obat-obatan yang sangat memberatkan. Padahal Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) telah mengamanatkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pengertian layak di sini tentu tidak terbatas pada fasilitas gedung dan peralatannya saja, akan tetapi juga adalah pelayanan dan harganya yang terjangkau. Buruknya pelayanan kesehatan yang diterima oleh Prita dan masyarakat umum adalah bukti kegagalan Pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak.
Oleh karenanya sudah merupakan kewajiban Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan untuk lebih mengoptimalkan lagi kinerjanya dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Sebenarnya Pemerintah sudah menerbitkan cukup banyak undang-undang dan peraturan yang terkait dengan pelayanan kesehatan, seperti misalnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Dalam Undang-undang tentang Kesehatan telah diatur mengenai keterjangkauan biaya kesehatan, dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharuskan mengalokasikan anggaran masing-masing 5% dan 10% untuk pelayanan kesehatan, diatur juga mengenai jaminan pengendalian harga obat yang terjangkau dan perlindungan hukum kepada pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.
Dalam Undang-undang tentang Praktik Kedokteran juga telah diatur mengenai hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis terhadap dirinya, seperti diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasien juga berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis dan mendapatkan isi rekam medis. Diatur juga kewajiban dokter untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar dan prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan, dokter juga berkewajiban untuk melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, bahkan diatur juga hukuman pidana kurungan satu tahun atau denda hingga Rp 50 juta kepada setiap dokter yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya tersebut.
Sementara dalam Undang-undang tentang Rumah Sakit juga telah diatur mengenai pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) yang bertugas untuk mengawasi kinerja rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya. Pasien dapat menyampaikan keluhannya kepada BPRS tersebut. Undang-undang ini secara khusus melindungi pasien yang datang ke rumah sakit, dimana pihak rumah sakit tidak boleh lagi menolak warga masyarakat yang datang untuk berobat. Bahkan juga telah diatur mengenai hukuman pidana penjara 10 tahun atau denda Rp 1 miliar kepada pihak rumah sakit yang menolak warga masyarakat yang datang ke rumah sakit untuk berobat.
Undang-undang dan peraturan terkait sebenarnya sudah cukup banyak tersedia, kini tinggal niat dari Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan untuk mengimplementasikannya dengan melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas. Apabila undang-undang dan peraturan terkait tersebut dilaksanakan, semestinya kasus-kasus seperti yang dialami oleh Prita tidak perlu terjadi.
Lantas bagaimana kelanjutannya? Kita tunggu kebijakan Ibu Menteri Kesehatan kita yang baru, Dr. dr. Endang Rahayu Sedyaningsih dalam melanjutkan reformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri ini agar sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) yang telah mengamanatkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Semoga.