Senin, 15 November 2010

Belajar Jadi Orang Indonesia dari Obama

“Pulang kampung nih!” kata Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Hussein Obama dengan Bahasa Indonesia yang fasih dalam kuliah umumnya yang memukau di hadapan 6.000 orang di Balairung Universitas Indonesia, Depok. Ucapannya tersebut disambut aplaus meriah dan gelak tawa. Dalam pidatonya selama 30 menit tersebut, Obama juga menyebut Indonesia adalah bagian dari dirinya.


Obama yang di masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta ini bercerita bahwa dirinya dan keluarga sempat pindah ke Menteng Dalam. Di sanalah Obama belajar bermain layangan, menangkap capung, dan mengenal makanan khas Indonesia, seperti bakso dan sate. Obama bahkan masih ingat bagaimana penjual bakso dan sate menjajakan dagangannya dulu. Obama dengan fasih masih dapat meniru teriakan penjual bakso dan sate. “Bakso! Sate! Enak, ya?” Katanya disambut gelak tawa hadirin.


Hal yang juga diingat oleh Obama adalah keramahan orang Indonesia yang menyambut kedatangannya ketika itu dengan senyuman. Teman-teman masa kecilnya juga membuatnya seperti di negeri sendiri. Guru-gurunya ketika dia bersekolah di SD Asisi dan SD Negeri 1 Menteng juga membantunya belajar tentang dunia yang lebih luas. Masa kecilnya di Jakarta membentuknya menjadi orang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.


Pada kesempatan itu Obama juga memuji Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya sebagai nilai-nilai dasar yang dipegang bangsa Indonesia untuk menyatukan keragaman budaya maupun agama dari Sabang sampai Merauke. Menurutnya, Bhinneka Tunggal Ika bisa menjadi contoh bagi dunia. Obama memuji nilai-nilai demokrasi dan semangat toleransi di Indonesia. Dia juga menunjuk masjid dan gereja yang berdampingan sebagai bukti bahwa berbagai agama di Indonesia bisa hidup berdampingan. Obama juga mengenang ayah tirinya Lolo Soetoro, seorang Indonesia dan muslim sebagai orang yang mengajarkan tentang kerukunan beragama kepadanya.


Obama di masa kecilnya memang hanya pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia sekitar empat tahun dan ketika dewasa beberapa kali mengunjungi Indonesia dengan waktu yang singkat, namun Obama banyak belajar dari Indonesia. Obama bukan hanya tahu tentang bermain layangan, menangkap capung, makan bakso dan sate, namun lebih dari itu, Obama juga tahu banyak tentang sejarah Indonesia, perkembangan politik, kebudayaan, terorisme, hingga korupsi. Semua itu bisa kita baca dalam buku yang ditulisnya ketika masih menjadi senator di Illinois, AS yang berjudul The Audacity of Hope. Dalam buku tersebut, kita bisa mengetahui bagaimana pandangan dan perhatiannya yang besar terhadap Indonesia.


Sedikit-banyak, pengalaman masa kecil dan pengetahuan Obama tentang Indonesia tentu berpengaruh dalam cara pandang dan tindakannya. Terlepas dari kekurangannya sebagai manusia biasa, Obama adalah pribadi yang bersahaja, jujur, ramah, dan sangat santun. Lihatlah bagaimana Obama yang saat ini adalah presiden negara adidaya, tanpa sungkan dan gengsi lebih dahulu menghampiri dan mengulurkan tangannya kepada Megawati Soekarnoputri dan tamu lainnya dalam jamuan makan malam di Istana Negara, suatu hal yang tidak pernah kita lihat sebelumnya dilakukan oleh para pemimpin Negara lainnya.


Obama juga sudah memberikan contoh bagaimana kita menjadi seorang pembicara yang menyenangkan, muatannya berat namun dikemas dengan simpatik. Obama juga telah mengajarkan kesantunan dalam berpolitik dengan tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang kasar dan kotor dan tetap tenang ketika dikritik oleh lawan politiknya. Meskipun dia adalah presiden sebuah negara yang menjunjung ekonomi liberal, Obama juga telah membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin. Hal tersebut bisa kita lihat dari usaha dan keberhasilannya menerbitkan Undang-undang tentang perawatan kesehatan dan menganggarkan 938 miliar dolar AS untuk memastikan 30 juta warga AS yang kurang mampu untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Obama juga melakukan tax cut, yaitu pemotongan pajak bagi masyarakat menengah ke bawah dan menaikkan pajak bagi orang kaya. Kebijakan ekonomi Obama ini merupakan refleksi keadilan sosial dalam perpajakan AS. Obama secara tidak langsung telah mengamalkan sila ke-5 dari Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.


Pujian-pujian Obama terhadap Indonesia dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, toleransi beragama, dan sebagainya tersebut tentu bukan sekedar pujian gombal untuk mencari simpati. Jika kita lebih cerdas menelaah semuanya, sesungguhnya Obama menyelipkan pesan atau mungkin lebih tepatnya sentilan kepada kita bangsa Indonesia. Obama tidak naïf, dia mengikuti dan tahu persis perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Semestinya sanjungan Obama tersebut menyadarkan bangsa ini untuk introspeksi diri. Obama telah mengingatkan kita semua bahwa sesungguhnya Indonesia memiliki landasan hidup yang sangat baik dalam agama, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang semestinya menjadi pedoman dalam hidup agar bangsa ini bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. Jangan lupa, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila bukan mereka sendiri yang berusaha untuk mengubahnya.

Minggu, 07 November 2010

Welcome Obama

Setelah mengalami dua kali penundaan karena alasan di dalam negerinya, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Hussein Obama akhirnya pulang kampung. Presiden berkulit hitam pertama di AS ini memang hanya tiga setengah tahun pernah tinggal di Menteng, namun ikatan emosionalnya dengan Indonesia sangat kuat. Hal itu bisa diketahui dari bukunya, The Audacity of Hope. Dalam buku tersebut, Obama bercerita banyak tentang Indonesia. Mulai dari kenangan masa kecilnya, mengejar ayam, berlari menghindari kerbau yang ngamuk, keluyuran dengan kaki telanjang di sawah, hingga menonton pertunjukan wayang kulit. Obama mengenang masa kecilnya di Menteng sebagai masa-masa yang menyenangkan, penuh dengan petualangan dan misteri.


Meskipun Obama adalah presiden negara adidaya, namun dia tidak pernah canggung atau malu untuk menyebut dirinya sebagai Anak Menteng. Hal tersebut dia tunjukkan ketika membalas sapaan seorang pegawai di US Departement of State atau Departemen Luar Negeri AS dalam bahasa Indonesia yang fasih. Dia mengakui dirinya pernah tinggal di daerah yang bernama Menteng, namun bukan di kawasan perumahan elit Menteng, tapi di daerah kumuh Menteng Dalam yang dia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai below Menteng.


Dalam bukunya yang menjadi bestseller di AS tersebut, Obama bercerita banyak tentang sejarah Indonesia, perkembangan politik, kebudayaan, terorisme, hingga korupsi. Obama juga menulis bagaimana selama puluhan tahun Indonesia dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri AS, mulai dari campur tangan AS yang mengancam Belanda hingga akhirnya mau angkat kaki dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, dukungan AS terhadap pemberontakan melawan pemerintahan Soekarno, dukungan AS terhadap militer dan pemerintahan Soeharto, hingga pembiaran terhadap pelanggaran HAM di Aceh. Obama juga secara jujur mengakui adanya kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang salah jalan, didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru sehingga mengabaikan aspirasi bangsa lain, melemahkan kredibilitas AS sendiri, dan menciptakan sebuah dunia yang lebih berbahaya.


Bagi saya pribadi, terlepas dari kekurangannya sebagai manusia biasa, Obama adalah pribadi yang bersahaja, jujur, dan berbeda dengan presiden-presiden pendahulunya di AS. Selama hampir dua tahun pemerintahannya, meskipun kebijakannya terhadap Afghanistan masih mengikuti jejak pendahulunya, Obama telah membuat kebijakan-kebijakan yang positif, seperti misalnya menarik mundur tentara AS dari Iraq, mendukung pembangunan masjid di dekat lokasi pengeboman gedung WTC di New York, melakukan pendekatan diplomasi terhadap negara-negara penentang AS seperti Iran dan Korea Utara, mendesak Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, serta upayanya yang serius untuk menciptakan perdamaian di Palestina. Semua itu tidak akan mungkin dilakukan oleh presiden AS sebelumnya, bahkan mungkin presiden setelahnya nanti. Hal tersebut dilakukan Obama bukan tanpa resiko, sebagaimana kita ketahui popularitas dirinya di dalam negeri AS terus menurun, Partai Demokrat yang mendukungnya pun mengalami kekalahan dalam pemilihan Anggota Kongres baru-baru ini. Bahkan sebagai dampak dari berbagai kebijakannya yang terkesan membela dunia Islam, dalam polling majalah Time, 24% responden sampai meyakini Obama adalah seorang muslim.


Banyak hal yang patut ditiru dari anak Menteng ini. Dengan modal pembawaannya yang percaya diri namun tenang, ramah, dan kemampuannya dalam berorasi, serta semangatnya untuk melakukan perubahan, Presiden AS pertama yang menerima penghargaan Nobel Perdamaian ini telah menjadi inspirasi bagi banyak orang sebagai simbol demokrasi, persamaan, dan perubahan.


Satu lagi kelebihan Obama yang patut ditiru oleh para politisi di negeri ini adalah kontinuitas interaksinya dengan para pendukung dan simpatisannya, termasuk melalui media internet. Bahkan untuk mendapatkan dana kampanyenya, Obama tidak meminta kepada para pengusaha, namun melalui penggalangan donasi dari para simpatisannya dengan imbalan merchandise atau tiket pelantikannya ketika itu. Obama juga telah berhasil mengegolkan Undang-undang perawatan kesehatan dan menganggarkan 938 miliar dolar AS untuk memastikan 30 juta warga AS yang kurang mampu untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Obama juga melakukan tax cut, yaitu pemotongan pajak bagi masyarakat menengah ke bawah dan menaikkan pajak bagi orang kaya. Hal tersebut sangat sesuai dengan asas equality dalam pemungutan pajak, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Kebijakan pendistribusian kekayaan ala Obamanomic ini merupakan refleksi keadilan sosial dalam perpajakan AS.


Dalam perspektif Indonesia, sila ke-5 dari dasar negara kita Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Obama, Presiden AS yang kebetulan di masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di SD Asisi dan SD Negeri 1 Menteng, telah mengamalkan sila ke-5 dari Pancasila tersebut. Obama tetaplah manusia biasa, dia bukan nabi atau mesiah. Obama adalah presiden dari bangsa Amerika yang multietnis dan agama. Sebagai presiden sebuah Negara demokrasi, Obama berkewajiban melaksanakan apa yang diamanatkan oleh konstitusi negaranya dan keinginan rakyatnya yang beragam. Obama selalu berusaha untuk mengakomodir keinginan rakyatnya, bukan saja kaum kulit hitam tapi juga kulit putih, bukan saja penganut islam, tapi juga penganut nasrani dan yahudi.


Obama datang sebagai tamu Negara, oleh karenanya sudah sepatutnya kita menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka, apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, dan katanya berbudi pekerti luhur, serta terkenal dengan keramah-tamahannya. Bukankah agama Islam yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia mengajarkan kita untuk menghormati tamu? Apalagi dia adalah seorang tamu yang sangat respek terhadap Indonesia dan Islam. InsyaAllah.

Jumat, 17 September 2010

Al-Quran Tidak Perlu Dibela

Beberapa waktu yang lalu umat muslim digegerkan oleh pemberitaan mengenai rencana Terry Jones, seorang pendeta sekte kecil gereja evangelis, di Gainesville, Florida, Amerika Serikat (AS) yang memelopori Burn A Koran Day atau hari pembakaran Al-Quran. Aksi tersebut sedianya dilakukan pada tanggal 11 September 2010 bertepatan dengan peringatan peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Center di New York. Hal itu tentu menimbulkan gelombang kecaman dan protes dari umat muslim di seluruh dunia, bahkan banyak kalangan di dalam negeri AS sendiri juga memprotes dan mengutuk rencana Jones tersebut, termasuk Presiden Barack Hussein Obama dan Menteri Luar Negerinya, Hillary Rodham Clinton. Rencana gila Jones tersebut akhirnya urung dilakukan.


Namun beberapa saat kemudian muncul lagi berita, dua orang pendeta pendukung rencana Jones, yakni Bob Old dan Danny Allen tetap nekat melakukan pembakaran Al-Quran di pekarangan belakang rumahnya di Springfield, Tennessee, AS dengan disaksikan oleh sekelompok orang yang sebagian besar awak media pada hari Sabtu, 11 September 2010. Mereka menyiram dua cetakan Al-Quran dengan cairan pembakar, lalu menyulutnya dengan api. Mereka mengatakan aksinya itu merupakan pesan dari Tuhan, hal tersebut tentu merupakan kebohongan yang nyata. Bagaimana mungkin orang yang melakukan tindakan tidak terpuji dan menyebarkan kebencian di muka bumi bisa mengaku sebagai pembawa pesan dari Tuhan, padahal agama Kristen merupakan agama yang mengajarkan cinta kasih yang universal.


Apa yang dilakukan oleh kedua orang tersebut jelas merupakan penghinaan dan penistaan, bukan saja terhadap Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, namun juga mereka telah menistakan diri mereka dan agama mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan justru akan membahayakan bukan saja diri mereka sendiri, akan tetapi juga jemaat mereka, bahkan merugikan bagi seluruh umat Kristen dan rakyat AS di dalam dan di luar negeri.


Lantas, apakah mereka sudah memikirkan dampak dari aksi provokatif tersebut? Terry Jones dan kawan-kawannya bukan orang bodoh, mereka tentu sudah memperhitungkan untung-rugi dari tindakannya tersebut. Saya meyakini tindakan yang dilakukan oleh Terry Jones dan kawan-kawannya tersebut tidak lebih dari upaya untuk mencari popularitas belaka. Tentu dia berharap dengan aksi radikalnya tersebut, sekte yang dipimpinnya yang tidak begitu dikenal, akan menjadi populer dan ujung-ujungnya akan banyak orang yang tertarik untuk masuk ke dalam sektenya itu.


Apabila kita tinjau dari sudut pandang yang lebih ekstrim, apa yang dilakukan oleh Terry Jones dan kawan-kawannya tersebut tidak berbeda jauh dengan para islamphobia lainnya, seperti menerbitkan novel yang menyebut Al-Quran sebagai ayat-ayat setan, membuat karikatur Nabi Muhammad, dan berbagai tindakan yang menghina Islam. Hal tersebut dilakukan semata untuk memancing amarah sebagian kaum muslim yang radikal untuk melakukan perlawanan dengan cara-cara yang anarkis, bahkan terorisme. Kemarahan dan tindakan anarkis dari kaum muslim radikal itulah yang kemudian akan dijadikan alasan pembenaran untuk mensteriotipkan Islam sebagai agama teroris.


Sebagaimana kita ketahui, Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang merupakan puncak dan penutup wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala yang diperuntukkan bagi manusia, setelah Taurat, Zabur dan Injil. Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Al-Quran ini diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, terdiri dari 114 surah, 6.236 ayat, dan dibagi dalam 30 juz. Meskipun ada ribuan ayat, salah satu keistimewaan Al-Quran yang menggunakan bahasa Arab ini dibanding kitab-kitab lainnya adalah kemudahan untuk menghafalnya.


Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil... (QS. Al-Baqarah:185). Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman bahwa sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang memelihara dan menjaganya. (QS Al-Hijr:9). Dengan demikian dari kedua ayat tersebut, sungguh jelas bahwa Allah menurunkan Al-Quran kepada kita untuk dibaca, dipahami arti dan maksudnya, kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini. Kita tidak perlu membelanya, apalagi sampai mengkultuskannya karena Allah sudah menjamin untuk memelihara dan menjaga Al-Quran, bukan hanya eksistensinya tetapi juga keasliannya.


Pembakaran dua cetakan Al-Quran tersebut tidak akan mengurangi kesucian dan eksistensi Al-Quran di muka bumi yang telah dijamin oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Al-Quran dalam bentuk cetakan yang dibakar itu hanyalah salah satu media untuk menuliskan Al-Quran, masih banyak media lain yang digunakan untuk menuliskan Al-Quran, seperti di kulit binatang, pelepah daun, besi, logam, batu, bahkan media internet, dan mungkin ada media-media lainnya yang tidak kita ketahui, dan jangan lupa, masih ada ribuan bahkan mungkin jutaan umat muslim yang tersebar di seluruh dunia ini, termasuk di Indonesia yang menghafal Al-Quran.


Melihat realitas yang ada, saya berharap agar umat Islam tidak lagi mudah untuk terpancing emosinya dan lebih banyak mengendalikan diri. Saya pribadi menganggap peristiwa ini adalah ujian pertama bagi umat muslim setelah baru saja melewati bulan suci Ramadan, bulan dimana kita menempa diri untuk mengendalikan hawa nafsu, termasuk emosi dari dalam diri kita sendiri. Berhasil atau tidaknya kita dalam bulan Ramadan kemarin, indikasinya bisa kita lihat dari respon kita terhadap provokasi yang dilakukan oleh Terry Jones dan kawan-kawannya tersebut. Semestinya pandangan negatif dan penghinaan yang terus menimpa umat Islam selama ini dapat kita ambil hikmahnya untuk introspeksi diri dan memotivasi kita agar semakin merekatkan ukhuwah islamiyah dan membuktikan kepada mereka bahwa islam tidak seburuk yang mereka tuduhkan dengan menjadikan islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk umat agama lain, InsyaAllah.

(dari berbagai sumber)



Selasa, 17 Agustus 2010

Mengenang Detik-detik Proklamasi di Bulan Ramadan


Pada suatu pagi menjelang siang di halaman depan sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, berkumpul ratusan orang yang berbaris rapi. Hari yang mulai panas di bulan Ramadan itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan sebuah peristiwa penting yang sebentar lagi terlaksana. Beberapa orang pemuda tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari tentara Jepang. Matahari semakin tinggi, penghuni rumah belum juga keluar untuk memimpin upacara. Hari itu hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945. Para pemuda yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka diliputi suasana tegang dan berkeinginan keras agar proklamasi segera dilaksanakan. Jepang yang sebelumnya berkuasa telah menyerah kepada Tentara Sekutu. Terjadi kekosongan kekuasaan di negeri ini, jadi inilah saat yang paling tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.


Tidak berapa lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar. Seorang pria tampan mengenakan peci hitam dengan setelan putih-putih. Dia adalah Soekarno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno. Dia keluar bersama seorang pria yang bertubuh lebih pendek dan berkaca mata, mengenakan setelan dengan warna yang sama, dia adalah Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Keduanya berdiri di serambi rumah. Seorang pria lain yang mengenakan seragam militer, Latief Hendraningrat, memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri tegak. Dia adalah seorang anggota Pembela Tanah Air (PETA). Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Bung Karno dan Bung Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon.


Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.


“Saudara-saudara sekalian. Saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita!”


Soekarno kemudian mengeluarkan secarik kertas, lalu melanjutkan, “Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami. Proklamasi, kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.”


Soekarno menutup dengan ucapan, “Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun Negara kita. Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”


Acara kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah-putih. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar karena kainnya berukuran tidak sempurna. Kain itu awalnya memang tidak disiapkan untuk bendera. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi rumah, lebih kurang dua meter di depan tiang. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, peserta upacara dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang.


Hari itu, tanggal 17 dipilih sendiri oleh Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan negeri ini. Mengapa tanggal 17? Menurut Bung Karno dalam dialognya dengan para pemuda yang menculiknya dua hari sebelumnya di Rengasdengklok, angka 17 adalah angka suci. Ketika itu rakyat Indonesia sedang berada dalam bulan suci ramadan, ketika semua ummat Islam berpuasa. Hari Jumat legi, jumat yang berbahagia dan suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, ummat Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.


Itulah kenangan detik-detik proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa besar yang telah mengubah jalannya sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung dengan khidmat. Para pemuda, mahasiswa, serta pegawai-pegawai di berbagai jawatan perhubungan menyiarkan isi proklamasi itu ke seluruh pelosok negeri. Bahkan para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, meskipun telah disegel oleh pemerintah Jepang, juga berusaha menyebarluaskan Proklamasi itu ke seluruh dunia. Seketika itu juga gema lonceng kemerdekaan membahana ke seluruh pelosok Nusantara, bahkan berlanjut ke seantero dunia.


Kini momen tersebut seakan terulang lagi, kita merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia dalam suasana bulan suci ramadan, bulan yang penuh dengan berkah. Sungguh berbahagia rasanya karena kita dapat merasakan dua anugerah besar dalam waktu yang bersamaan.


Semoga momentum ini dapat kita jadikan sebagai ajang refleksi untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita. Dengan semangat nasionalisme inilah kita akan dapat menemukan kembali karakter asli bangsa kita, yaitu bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, etos kerja, semangat gotong-royong, dan budaya nusantara yang berbhineka tunggal ika. Bangsa yang membangun dirinya sendiri sesuai dengan karakternya tanpa bergantung pada bangsa lain, tentu akan berdampak pada kemandirian bangsa secara politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Suatu bangsa yang mandiri adalah hakikat dari bangsa yang merdeka.

Dirgahayu Indonesiaku tercinta!