Setelah mengalami dua kali penundaan karena alasan di dalam negerinya, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Hussein Obama akhirnya pulang kampung. Presiden berkulit hitam pertama di AS ini memang hanya tiga setengah tahun pernah tinggal di Menteng, namun ikatan emosionalnya dengan Indonesia sangat kuat. Hal itu bisa diketahui dari bukunya, The Audacity of Hope. Dalam buku tersebut, Obama bercerita banyak tentang Indonesia. Mulai dari kenangan masa kecilnya, mengejar ayam, berlari menghindari kerbau yang ngamuk, keluyuran dengan kaki telanjang di sawah, hingga menonton pertunjukan wayang kulit. Obama mengenang masa kecilnya di Menteng sebagai masa-masa yang menyenangkan, penuh dengan petualangan dan misteri.
Meskipun Obama adalah presiden negara adidaya, namun dia tidak pernah canggung atau malu untuk menyebut dirinya sebagai Anak Menteng. Hal tersebut dia tunjukkan ketika membalas sapaan seorang pegawai di US Departement of State atau Departemen Luar Negeri AS dalam bahasa Indonesia yang fasih. Dia mengakui dirinya pernah tinggal di daerah yang bernama Menteng, namun bukan di kawasan perumahan elit Menteng, tapi di daerah kumuh Menteng Dalam yang dia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai below Menteng.
Dalam bukunya yang menjadi bestseller di AS tersebut, Obama bercerita banyak tentang sejarah Indonesia, perkembangan politik, kebudayaan, terorisme, hingga korupsi. Obama juga menulis bagaimana selama puluhan tahun Indonesia dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri AS, mulai dari campur tangan AS yang mengancam Belanda hingga akhirnya mau angkat kaki dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, dukungan AS terhadap pemberontakan melawan pemerintahan Soekarno, dukungan AS terhadap militer dan pemerintahan Soeharto, hingga pembiaran terhadap pelanggaran HAM di Aceh. Obama juga secara jujur mengakui adanya kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang salah jalan, didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru sehingga mengabaikan aspirasi bangsa lain, melemahkan kredibilitas AS sendiri, dan menciptakan sebuah dunia yang lebih berbahaya.
Bagi saya pribadi, terlepas dari kekurangannya sebagai manusia biasa, Obama adalah pribadi yang bersahaja, jujur, dan berbeda dengan presiden-presiden pendahulunya di AS. Selama hampir dua tahun pemerintahannya, meskipun kebijakannya terhadap Afghanistan masih mengikuti jejak pendahulunya, Obama telah membuat kebijakan-kebijakan yang positif, seperti misalnya menarik mundur tentara AS dari Iraq, mendukung pembangunan masjid di dekat lokasi pengeboman gedung WTC di New York, melakukan pendekatan diplomasi terhadap negara-negara penentang AS seperti Iran dan Korea Utara, mendesak Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, serta upayanya yang serius untuk menciptakan perdamaian di Palestina. Semua itu tidak akan mungkin dilakukan oleh presiden AS sebelumnya, bahkan mungkin presiden setelahnya nanti. Hal tersebut dilakukan Obama bukan tanpa resiko, sebagaimana kita ketahui popularitas dirinya di dalam negeri AS terus menurun, Partai Demokrat yang mendukungnya pun mengalami kekalahan dalam pemilihan Anggota Kongres baru-baru ini. Bahkan sebagai dampak dari berbagai kebijakannya yang terkesan membela dunia Islam, dalam polling majalah Time, 24% responden sampai meyakini Obama adalah seorang muslim.
Banyak hal yang patut ditiru dari anak Menteng ini. Dengan modal pembawaannya yang percaya diri namun tenang, ramah, dan kemampuannya dalam berorasi, serta semangatnya untuk melakukan perubahan, Presiden AS pertama yang menerima penghargaan Nobel Perdamaian ini telah menjadi inspirasi bagi banyak orang sebagai simbol demokrasi, persamaan, dan perubahan.
Satu lagi kelebihan Obama yang patut ditiru oleh para politisi di negeri ini adalah kontinuitas interaksinya dengan para pendukung dan simpatisannya, termasuk melalui media internet. Bahkan untuk mendapatkan dana kampanyenya, Obama tidak meminta kepada para pengusaha, namun melalui penggalangan donasi dari para simpatisannya dengan imbalan merchandise atau tiket pelantikannya ketika itu. Obama juga telah berhasil mengegolkan Undang-undang perawatan kesehatan dan menganggarkan 938 miliar dolar AS untuk memastikan 30 juta warga AS yang kurang mampu untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Obama juga melakukan tax cut, yaitu pemotongan pajak bagi masyarakat menengah ke bawah dan menaikkan pajak bagi orang kaya. Hal tersebut sangat sesuai dengan asas equality dalam pemungutan pajak, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Kebijakan pendistribusian kekayaan ala Obamanomic ini merupakan refleksi keadilan sosial dalam perpajakan AS.
Dalam perspektif Indonesia, sila ke-5 dari dasar negara kita Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Obama, Presiden AS yang kebetulan di masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di SD Asisi dan SD Negeri 1 Menteng, telah mengamalkan sila ke-5 dari Pancasila tersebut. Obama tetaplah manusia biasa, dia bukan nabi atau mesiah. Obama adalah presiden dari bangsa Amerika yang multietnis dan agama. Sebagai presiden sebuah Negara demokrasi, Obama berkewajiban melaksanakan apa yang diamanatkan oleh konstitusi negaranya dan keinginan rakyatnya yang beragam. Obama selalu berusaha untuk mengakomodir keinginan rakyatnya, bukan saja kaum kulit hitam tapi juga kulit putih, bukan saja penganut islam, tapi juga penganut nasrani dan yahudi.
Obama datang sebagai tamu Negara, oleh karenanya sudah sepatutnya kita menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka, apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, dan katanya berbudi pekerti luhur, serta terkenal dengan keramah-tamahannya. Bukankah agama Islam yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia mengajarkan kita untuk menghormati tamu? Apalagi dia adalah seorang tamu yang sangat respek terhadap Indonesia dan Islam. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar