Jumat, 26 Desember 2008

Ramai-ramai Bikin Iklan


Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan begitu banyak iklan instansi pemerintah di televisi. Misalnya ada iklan yang mempromosikan sekolah menengah khusus, bahkan ada instansi pemerintah sampai mengadakan kegiatan pemberian award atau penghargaan yang ditayangkan di stasiun televisi nasional yang konon menghabiskan biaya milyaran rupiah. Yang lebih memprihatinkan lagi, ada beberapa iklan yang terkesan hanya ingin menampilkan dan mempopulerkan menteri atau pejabatnya. Pertanyaannya seberapa efektifkah iklan-iklan tersebut dan yang lebih penting lagi apakah manfaatnya sebanding dengan besarnya biaya yang dikeluarkan? Bukankah akan lebih bermanfaat apabila biaya yang milyaran rupiah tersebut lebih diprioritaskan untuk dialokasikan ke biaya pembangunan dan memperbaiki ratusan sekolah yang sudah rusak atau membayar tunjangan para guru di daerah terpencil yang konon masih sering dipotong oleh para pejabatnya?

Fenomena ini sudah berlangsung cukup lama, setiap akhir tahun anggaran, instansi-instansi pemerintah akan berlomba-lomba menghabiskan anggaran, baik dengan mengadakan kegiatan-kegiatan, maupun sekedar rapat-rapat formalistik yang diselenggarakan di hotel-hotel, di luar kota, di Puncak, maupun membayar iklan di media massa yang jumlahnya milyaran rupiah. Padahal Undang-undang Dasar 1945, tepatnya Pasal 23, sudah mengamatkan agar anggaran dan pendapatan belanja negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahkan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga sudah ditegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Sungguh ironis memang, di tengah-tengah krisis ekonomi global saat ini – hal yang menjadi alasan pemerintah untuk terus mengurangi subsidi BBM, menaikkan harganya, yang kemudian berdampak pada kenaikan harga semua kebutuhan pokok – namun di sisi lain para pejabat pemerintah sendiri justru berlomba-lomba menghabiskan anggaran dan pendapatan belanja negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat yang dipungut oleh pemerintah melalui pajak.

Sebenarnya tidak semua instansi pemerintah berprilaku seperti itu, masih ada juga iklan instansi pemerintah yang cukup efektif, seperti misalnya iklan Sunset Policy-nya Dikretorat Jenderal Pajak yang bersifat informatif dan mendidik yang cukup efektif dalam mengajak masyarakat Wajib Pajak untuk ikut berpartisipasi dalam membayar pajak. Iklan seperti itu yang semestinya ditiru oleh instansi lainnya.

Inifiensi ini sesungguhnya tidak semata-mata terkait dengan mental para menteri dan pejabat struktural di bawahnya, namun juga terkait dengan kualitas atau kompetensi pejabat yang bersangkutan. Ketidakmampuan menciptakan ide atau kreasi, mengakibatkan mereka hanya mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Negeri ini masih butuh banyak aparat negara yang mempunyai integritas dan berdedikasi tinggi serta kreatif.

Minggu, 21 Desember 2008

Hari Ibu


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas, Ibu... Ibu...
Inginku dekap dan menangis di pangkuanmu sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa lalui sekujur tubuhku, dengan apa ku membalas? Ibu... Ibu...



Itulah bait-bait lagunya Iwan Fals yang berjudul Ibu. Setiap menyanyikan lagu ini, entah mengapa hati saya selalu bergetar dan ingin menangis. Apa yang sudah saya lakukan untuk Ibu saya, belum berarti apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan dan doa-doanya selama ini. Beruntunglah kita yang masih mempunyai Ibu karena masih ada kesempatan buat kita untuk membalas jasa-jasanya atau setidaknya membuatnya bahagia. Jangan sampai kita mengecewakan Ibu kita. Selamat Hari Ibu.

Sabtu, 13 Desember 2008

Commercial Break



Setiap kali kita menonton sebuah acara di televisi, entah itu film, sinetron, berita, olah raga, atau musik, tentu akan diselingi oleh commercial break atau tayangan iklan dari berbagai macam produk. Sebagian dari kita mungkin merasa terganggu atau kesal dengan keberadaan iklan-iklan tersebut, namun sesungguhnya advertising atau iklan-iklan itulah yang menjadi penopang utama sebuah acara di stasiun televisi. Penghasilan stasiun-stasiun televisi di Indonesia sebagian besar berasal dari tayangan iklan. Oleh karenanya semakin tinggi rating sebuah acara, maka akan semakin lama pula durasi iklannya dan semakin tinggi pula tarif iklan yang harus dibayar oleh produsen pengiklan kepada stasiun televisi.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat mengikuti workshop penyutradaraan film iklan dengan mentor Dimas Jayadiningrat, salah satu director atau sutradara film iklan dan video klip musik papan atas di Indonesia. Beberapa film iklan yang pernah dibuatnya dan sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi, antara lain adalah Bentoel, Star Mild, dan Promag. Pembuatan film iklan ternyata tidaklah simpel dan sesingkat durasi penayangannya yang hanya dalam hitungan detik. Pembuatan film iklan sangat kompleks dan membutuhkan kreatifitas yang sangat tinggi dari sutradara dan krunya. Bahkan menurut pandangan saya yang kebetulan pernah berkecimpung di dunia film cerita sebagai Script Writer atau Penulis Skenario, pembuatan film iklan, terutama iklan yang tematik, memerlukan daya kreatifitas yang lebih tinggi, mulai dari pre-production hingga post-production. Mengapa demikian? Karena sebuah film iklan bukan sekedar tontonan yang bertujuan menghibur, akan tetapi di dalamnya ada proses promosi, pencitraan atau image sebuah produk.

Proses terciptanya sebuah film iklan umumnya diawali dengan adanya keinginan dari client atau produsen produk tertentu untuk mengiklankan produknya di media televisi, client tersebut biasanya akan menggunakan jasa agency atau perusahaan agen iklan yang kemudian akan menghubungi PH (Production House) atau rumah produksi. PH inilah yang akan menjadi produser dan meminta seorang director atau sutradara untuk mengerjakan film iklan yang diinginkan oleh client tersebut.

Menurut Dimas Jay, untuk menghasilkan film iklan yang baik, kita harus merinci objectives atau tujuan-tujuan dari pembuatan film iklan tersebut. Dimulai dari pertanyaan What is this? Apa yang ingin diiklankan, kemudian apa temanya, apa masalahnya, bagaimana solusinya, ada dimana posisi kita saat ini, siapa yang menjadi target iklan produk kita, apa karakter brand atau merek produk yang ingin kita iklankan, dan kapan iklan itu akan dipublikasikan. Semuanya harus dijabarkan secara rinci.

Menurut Jay lagi, seorang sutradara harus mampu mengombinasikan antara style atau gaya, ide, dan teknik dalam pembuatan film iklan. Dia juga harus mampu memberikan value atau nilai pada iklan tersebut, mengeksplor tujuan-tujuan pembuatan iklan produk yang bersangkutan, membuat orang-orang percaya pada iklan tersebut, dan memberikan kesempatan kepada produk tersebut untuk tampil dan berkembang. Bahkan dalam pembuatan film iklan yang tematik, kita juga harus mampu membuat objective campaign yang diharapkan mampu mengangkat dan meningkatkan image atau citra sebuah produk, seperti misalnya dengan menampilkan ungkapan-ungkapan from zero to hero atau ordinary man who save the day, dan seterusnya.

Demikianlah sekilas proses pembuatan film iklan yang biasa kita saksikan di televisi. Bagi yang berminat membuat film iklan, bisa menggunakan tips dari Jay tersebut.

Senin, 08 Desember 2008

Hikmah Berqurban



Alhamdulillah kita bertemu lagi dengan Hari Raya Idul Adha yang mulia ini. Setiap amalan yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita, dibalik itu pasti ada hikmah dan manfaat, baik bagi yang melaksanakan maupun bagi masyarakat di sekitarnya. Demikian pula dengan perintah untuk berqurban di Hari Raya Idul Adha.

Hikmah melaksanakan qurban, dapat ditinjau dalam dua dimensi yang berbeda, baik dimensi vertikal maupun dimensi horizontal. Ditinjau dari dimensi vertikal atau hubungan antara manusia dengan Penciptanya, hikmah dan manfaatnya selain mendapatkan pahala yang besar, menjadikan kita sebagai orang yang pandai bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah yang secara langsung akan berdampak pada peningkatan taqwa kita kepada-Nya. Sedangkan dimensi horizontalnya adalah menimbulkan dan memelihara rasa solidaritas sosial dengan sesama umat muslim dan masyarakat di sekitar kita. Makna berbagi ini akan meningkatkan rasa persaudaraan dalam masyarakat.

Demikianlah, keikhlasan Nabiullah Ibrahim AS. untuk mengorbankan putranya Ismail AS demi baktinya kepada Sang Pencipta dan Pemilik Hidup, semestinya senantiasa kita teladani dan amalkan. Berqurban pada Hari Raya Idul Adha ini sesungguhnya hanyalah trigger atau pemicu bagi kita untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Sang Pemilik alam semesta ini, Allah SWT dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial kita kepada sesama kemudian diaplikasikan dalam prilaku hidup kita pada hari-hari berikutnya.

Harapan kita, semoga dengan momentum Hari Raya Idul Adha ini, kita bisa meraih rahmat dan berkah dari Allah sebagai bekal di akhirat kelak ketika kita kembali pada-Nya, Tuhan semesta alam. Insya Allah.

Senin, 01 Desember 2008

Obamanomic


Barack Hussein Obama akhirnya terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44 . Dia juga telah memilih tim ekonomi yang akan membantunya kelak mewujudkan janjinya untuk melakukan perubahan dan menolong krisis finansial yang saat ini melanda AS dan dunia. Dia telah menjanjikan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat banyak, bukan berpihak pada golongan elit atau pengusaha besar. Salah satu janjinya yang menjadi perhatian publik adalah rencananya untuk melakukan tax cut atau pemotongan pajak bagi para buruh dan masyarakat berpenghasilan rendah di satu sisi, dan di sisi lain menaikkan tarif pajak bagi orang pribadi yang berpenghasilan di atas USD 250.000 per tahun.

Rencana kebijakan ekonomi Obama untuk menaikkan pajak orang kaya untuk kemudian didistribusikan ke orang miskin, lagi-lagi merupakan anomali bagi sebuah negara yang dikenal sebagai biangnya kapitalisme. Meski sempat dikritik oleh John McCain, saingannya dari Republican, sebagai kebijakan yang akan menjadikan AS sebagai negara sosialis, namun justru janji inilah yang diyakini banyak pihak sebagai salah satu faktor yang mendongkrak popularitas Obama dan membawanya ke gedung putih.

Rencana Obama untuk memotong pajak bagi masyarakat menengah ke bawah dan menaikkan pajak bagi orang kaya tersebut telah sesuai dengan asas dan fungsi pajak yang sebenarnya. Salah satu asas pemungutan pajak dalam The Four Maxims-nya Adam Smith adalah asas equality atau asas keseimbangan dengan kemampuan, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Sedangkan salah satu fungsi pajak adalah fungsi redistribusi pendapatan, dimana pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan, sehingga dapat membuka kesempatan kerja dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat umum. Kebijakan pendistribusian kekayaan ala Obamanomic ini merupakan refleksi keadilan sosial dalam perpajakan AS.

Dalam perspektif Indonesia, sila kelima dari dasar negara kita Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Obama, Presiden AS terpilih yang kebetulan di masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia, telah mengamalkan sila kelima dari Pancasila tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kebijakan perpajakan di Indonesia juga sudah merefleksikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Minggu, 23 November 2008

Barotrauma


Setiap orang yang melakukan perjalanan udara ke suatu tempat atau negara lain dengan menggunakan pesawat terbang, tentu akan lega ketika mengetahui pesawat yang ditumpanginya sebentar lagi akan landing atau mendarat di bandara yang dituju. Hal tersebut merupakan akhir dari perjalanan udara yang penuh dengan resiko, apalagi kalau kita menggunakan pesawat dari maskapai nasional tentunya. Pendaratan di bandara juga bisa merupakan awal dari kunjungan kita ke suatu tempat wisata yang kita impikan atau pertanda bahwa sebentar lagi kita akan bertemu dengan orang-orang yang kita cintai. Oleh karenanya ketika pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi kita akan mendarat di bandara tujuan, sudah pasti setiap orang akan lega dan senang, namun tidak demikian dengan saya, karena itu adalah awal dari penderitaan saya!

Setiap pesawat yang saya tumpangi bersiap untuk mendarat, maka saya akan mulai mengalami rasa penuh dan mendenging pada telinga saya, keadaan itu akan berlanjut menjadi rasa sakit dan nyeri yang amat sangat di sekitar telinga saya. Pada saat puncak kesakitan, saya akan merasakan telinga saya seperti ditusuk-tusuk oleh benda keras. Ketika pesawat telah mendarat, penderitaan saya belum berakhir, saya akan mengalami tuli sementara dan butuh waktu beberapa jam untuk dapat normal kembali. Penderitaan itu telah berlangsung sejak lama. Tuntutan pekerjaan, tempat tinggal orang tua dan keluarga yang jauh dari tempat tinggal saya, dan kebiasaan melakukan travelling, membuat saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan angkutan pesawat udara.

Kata dokter, penderitaan yang saya alami ini karena saya menderita Barotrauma. Mungkin banyak dari kita yang tidak paham apa itu Barotrauma. Menurut dr. Ossyris Abu Bakar, Barotrauma adalah rasa sakit di daerah sekitar telinga yang diakibatkan oleh adanya perubahan tekanan udara yang tiba-tiba di luar telinga tengah di dalam pesawat terbang yang menyebabkan tuba eustachius gagal untuk membuka. Pada saat pesawat akan mendarat akan timbul tekanan negatif pada liang telinga tengah, positif pada bagian luar genderang telinga, akibatnya terjadi retraksi-penarikan ke arah dalam.

Ada beberapa cara pencegahan atau antisipasi timbulnya Barotrauma tersebut, salah satu cara yang sudah saya praktekkan dan terbukti manjur adalah dengan mengunyah makanan. Jenis makanannya tidak ditentukan, apa saja, namun disarankan makanan yang nyaman untuk dikunyah. Sederhana memang, namun tindakan mengunyah makanan tersebut akan menormalkan fungsi tuba eusthacius untuk dapat mengalirkan udara yang terperangkap di telinga tengah keluar melalui nasopharynx. Setiap kali saya melakukan aktifitas itu, sebagian orang yang melihatnya mungkin akan heran. Betapa tidak, ketika semua orang sibuk mengencangkan tali pengikat pinggang di kursinya masing-masing, saya malah sibuk mengunyah makanan. Saya akan terus mengunyah dengan kencang, seperti orang kelaparan yang baru memperoleh makanan.

Bagi yang sedang berpuasa atau sedang diet, dapat melakukan valsava manuver, yaitu meniupkan udara dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet serta mulut ditutup. Satu lagi cara yang agak ekstrim dan butuh keberanian yang luar biasa adalah ketika pesawat mau mendarat, kita tidak perlu duduk manis di kabin pesawat, tapi segeralah membuka pintu darurat dan langsung terjun lebih dulu, tentu dilengkapi dengan parasut agar kita bisa mendarat dengan selamat. Namun cara yang terakhir ini tidak saya anjurkan untuk dipraktekkan.

Saya hanyalah salah satu penderita Barotrauma, saya yakin masih banyak orang atau teman-teman yang juga mengalami hal yang sama dengan saya. Semoga tulisan ini bermanfaat buat penderita Barotrauma untuk tidak kapok naik pesawat udara.

Kamis, 13 November 2008

Bugis Street


Kata orang, kalau kita berkunjung ke Singapura, belumlah lengkap rasanya apabila kita belum mengunjungi Merlion Park, Orchard Road, dan Bugis Street. Merlion adalah patung singa yang merupakan ikon Singapura, Orchard Road adalah nama jalan dengan mal-malnya yang menjadi pusat perbelanjaan barang-barang bermerek, sedangkan Bugis Street adalah nama jalan yang dikenal bukan hanya sebagai surga belanja barang-barang dengan harga yang murah-meriah, akan tetapi juga merupakan tempat wisata malam yang terkenal sampai ke manca negara.

Berbicara mengenai Bugis Street, kita akan menemukan latar belakang sejarah yang cukup panjang dan unik. Bugis Street atau Jalan Bugis, dari namanya, tentu cukup familiar di telinga orang Indonesia sebagai nama salah satu suku terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan yang sejak dahulu terkenal dengan tradisi pelautnya. Setelah ditelusuri, ternyata memang benar, nama itu terkait dengan para pelaut Bugis. Konon dahulu, sebelum bangsa Inggris memasuki Singapura, para pelaut Bugis ini sering menambatkan perahunya di tempat itu untuk kemudian berdagang dengan penduduk setempat. Hal itu menjadi bukti bahwa para pelaut Bugis tidak hanya terkenal di Indonesia, tetapi juga hingga ke negeri seberang, bahkan namanya telah lama diabadikan sebagai nama jalan, perkampungan Bugis Village, dan pusat perbelanjaan Bugis Junction. Saya sebagai salah satu orang Indonesia yang konon berdarah Bugis, tentu ikut bangga akan hal tersebut.

Singapura hanyalah salah satu negara yang mengabadikan nama suku atau daerah di Indonesia, masih banyak negara lain yang melakukan hal yang sama, seperti Kampong Bugis di Malaysia, Distrik Bojonegoro di Suriname, dan Distrik Maccassar di Afrika Selatan. Bahkan kalau kita berkunjung ke negeri Belanda, tidak sulit bagi kita untuk menemukan bumbu masak khas Indonesia. Kita tinggal datang ke super market terdekat untuk membeli bumbu masak merek Go-Tan yang menggunakan istilah-istilah dengan Bahasa Indonesia ejaan lama, seperti roedjak, soto, sajoer lodeh, sambal nasi goreng, mihoen goreng, rempejek, dan ketjap asin. Namun sayangnya, di Indonesia sendiri banyak orang yang justru gengsi atau malu menggunakan nama-nama yang identik dengan bangsanya sendiri. Mereka lebih senang menggunakan nama-nama asing yang terkadang tidak pas, rancu, kontras, atau bahkan terkesan lucu. Menurut para budayawan, hal tersebut merupakan indikasi betapa kronisnya krisis nasionalisme yang sedang dialami oleh bangsa ini. Semoga fenomena tersebut bisa menjadi spirit bagi kita untuk menimbulkan kembali rasa bangga akan identitas bangsa kita sendiri.

Selasa, 04 November 2008

Change Has Come to America!


Fantastic! Barack Hussein Obama was elected the 44th president of the United States. As he said in front of more than tens of thousands of supporters in Election Nights in Grant Park in downtown Chicago several minutes ago, "Change has come!" Now he become a symbol of the US as a real of democratic state, the first blackman president of the US. Change we can believe in, yes we can! Congratulation Obama, God bless you!

Senin, 03 November 2008

Sa-bai dee mai, Thailand


Rinai hujan di malam itu mengiringi perjalanan kami berdua ke suatu tempat. Aku dan Jhezmaair memasuki pelataran parkir Virgin Pub. Sebuah tempat pertunjukan atraksi gadis Thai, khusus untuk orang dewasa, yang berkedok pub di Jalan Prachathipat, tidak jauh dari Grand Plaza Hotel tempatku menginap di Jalan Sanehanusorn, Hat Yai. Begitu memasuki pub, kami disambut oleh seorang wanita berusia paruh baya.

“Kor.” Sambutnya hangat.
“Korp kun ka,” jawabku mengucapkan terima kasih.

Itu satu-satunya frase bahasa Thai yang fasih aku lafalkan, selebihnya aku akan meminta bantuan Jhezmaair, sahabat sekaligus kamus berjalanku. Pada saat-saat tertentu ketika aku harus berkomunikasi dengan penduduk setempat tanpa Jhezmaair, aku harus membuka kamus bahasa Thai yang selalu kubawa. Kamus kecil itu khusus aku beli ketika di Kuala Lumpur.

Wanita itu sempat berbincang sebentar dengan Jhezmaair dalam bahasa Thai yang tidak kupahami. Aku yakin dialah pemilik pub itu. Tidak berapa lama kemudian, wanita itu mengajak kami mengikutinya menuju ruang belakang, lalu menaiki tangga ke lantai dua. Di lantai dua ternyata ruang pertunjukan sudah hampir penuh oleh pengunjung. Wanita itu mempersilahkan kami duduk di kursi baris kedua yang nampaknya sengaja dikosongkan khusus untuk kami berdua. Jhezmaair memang sudah memesan tempat sehari sebelumnya.

Menurut Jhezmaair pertunjukan itu selalu dipenuhi oleh pengunjung, terutama turis-turis asing dari berbagai negara. Pertunjukan Thai Girl Show itu memang dikenal sebagai salah satu obyek wisata yang paling diminati oleh turis manca negara. Harga tiketnya 500 baht per orang, kalau dirupiahkan sekitar Rp 150.000,00. Hmm... Relatif murah memang untuk sebuah pertunjukan unik yang hanya ada di Thailand.

Kami duduk menghadap ke sebuah panggung sederhana yang luasnya tidak lebih dari 16 meter persegi yang disorot oleh lampu. Ukurannya kurang-lebih sama dengan panggung pertunjukan musik dangdut di kampung-kampung di Indonesia. Di atas panggung hanya ada sebuah sofa panjang. Aku tidak mengerti untuk apa sofa itu, bukankah ini acara pertunjukan atraksi gadis Thai, bukan acara talk show?

Malam itu adalah pengalaman pertamaku mengunjungi tempat pertunjukan seperti itu, meski sebelumnya aku sudah sering mendengarnya dari teman-temanku yang pernah mengunjungi Thailand. Mereka selalu bercerita dengan antusias mengenai atraksi-atraksi yang ajaib yang bisa dilakukan oleh gadis-gadis Thai dalam pertunjukan itu. Tapi malam itu, aku tidak terlalu memikirkan seperti apa atraksinya karena maksud kedatanganku berbeda dengan sebagian besar pengunjung. Aku datang ke tempat itu untuk sebuah tugas rahasia.

Aku datang ke pertunjukan itu untuk mencari seorang wanita yang bernama Samila. Dia adalah salah satu gadis Thai yang menjadi idola di pertunjukan itu. Berdasarkan informasi yang aku terima, sesungguhnya dia adalah Leni, saksi kunci dari kasus mega korupsi yang terjadi di Bank Anda Jakarta lima tahun yang lalu. Mantan sekretaris pribadi Direktur Utama Bank Anda itu melarikan diri sejak empat tahun yang lalu demi menghindari ancaman pembunuhan terhadap dirinya. Aku ditugaskan untuk membawanya pulang ke Indonesia, keterangannya sangat dibutuhkan oleh sahabatku, Bambang yang berencana melakukan Peninjauan Kembali atas kasusnya. Mantan salah satu manejer di Bank Anda itu sudah tiga tahun mendekam di Cipinang atas tuduhan korupsi yang tidak pernah dia lakukan, sementara Direktur Utama Bank Anda, Zulkarnaen, pelaku yang sesungguhnya, masih melenggang bebas.

“Kapan show-nya dimulai?” tanyaku pada Jhezmaair.

“Tak lama lagilah,” jawab Jhezmaair dengan bahasa Melayu logat Thai.

Sahabatku itu adalah warga Pattani, wilayah Thailand Selatan yang sebagian besar penduduknya beretnis Melayu, sehingga sebagian besar penduduknya berbahasa Melayu dengan logat Thai. Meski kadang-kadang kami salah memahami ucapan masing-masing, namun kehadirannya sangat membantuku, baik sebagai penerjemah bahasa Thai maupun sebagai pemandu.

Malam ini aku berniat berkenalan dengan Samila, aku harus memastikan dulu bahwa gadis itu adalah Leni yang aku cari. Setelah itu, tugasku adalah membujuknya agar bersedia kembali ke Indonesia dan menjadi saksi kunci bagi orang yang tidak bersalah dan mengungkap kasus yang sebenarnya. Aku sadar, ini bukan tugas yang mudah, tapi aku sudah bertekad untuk berusaha sekuat tenagaku demi sebuah keadilan dan persahabatan.

Aku sudah merencanakan segalanya selama empat bulan lamanya, termasuk kursus privat bahasa Thai. Setelah semua informasi tentang Leni terkumpul. Untuk menghindari endusan orang-orang Zulkarnaen, aku memasuki Thailand melalui rute yang panjang dan melelahkan. Dari Jakarta aku memilih untuk naik pesawat menuju Dumai, dari sana aku menyeberangi Selat Malaka dengan ferry ke Melaka, Malaysia, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Kuala Lumpur, setelah menginap semalam di Petaling Street, aku melanjutkan perjalanan darat dengan bus selama sepuluh jam lebih menuju perbatasan Thailand. Setelah melewati Imigrasi Malaysia di Bukit Kayu Hitam, aku masuk ke wilayah Thailand Selatan melalui Sadao, pemeriksaan imigrasi di wilayah perbatasan itu tidak seketat di bandara internasional di Bangkok maupun Hat Yai. Di Sadao aku bertemu Jhezmaair yang kemudian membawaku ke Hat Yai dengan tuk-tuknya, angkutan umum yang mirip bemo di Jakarta.

Setelah menunggu seperempat jam, pertunjukan akhirnya dimulai. Atraksi dimulai dengan pertunjukan sulap yang sudah biasa aku saksikan di Indonesia. Setelah itu disusul dengan penampilan gadis-gadis Thai yang berlenggak-lenggok di atas panggung diiringi oleh alunan musik laiknya peragawati, namun dengan penampilan yang hanya layak disaksikan oleh orang dewasa. Sesekali mereka duduk atau berbaring di sofa sambil mengangkat kedua kakinya tanpa sungkan, setelah itu bangkit lagi, lalu berlenggak-lenggok mengitari panggung dengan tatapan yang menantang, hingga akhirnya atraksi-atraksi unik yang dinanti-nantikan datang juga.

Malam itu pengunjung disajikan atraksi-atraksi yang sangat tidak lazim, namun mampu dilakukan oleh gadis-gadis Thai itu. Kami hanya bisa ternganga menyaksikan seorang gadis Thai mengeluarkan benda seperti tali yang panjang dari salah satu bagian tubuhnya, tali yang terbuat dari kertas berwarna-warni yang dirangkai. Kami semakin takjub ketika seorang gadis lainnya mengeluarkan begitu banyak silet dari anggota tubuhnya itu, benda tipis yang sangat tajam, lalu dia menulis di atas selembar kertas bukan dengan tangannya, tetapi dengan menggunakan anggota tubuhnya itu. Gadis berikutnya lebih gila lagi, dia mampu menghisap dua batang rokok sekaligus, bukan dengan mulutnya, tetapi dengan anggota tubuhnya yang satu itu, hingga akhirnya yang paling menegangkan adalah ketika dia mampu membuka beberapa botol minuman coca-cola dengan menggunakan anggota tubuhnya yang satu itu!

Aku dan sebagian besar pengunjung hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan semua itu. Sebuah atraksi yang sangat tidak masuk diakal, namun bisa dilakukan oleh gadis-gadis Thai yang saya yakin bukan perempuan biasa, setidaknya dia mempunyai ilmu tenaga dalam atau supranatural.

Meski takjub oleh atraksi-atraksi yang ditampilkan oleh gadis-gadis Thai itu, aku masih sempat mengenali salah satu dari mereka. Gadis Thai yang mampu menulis di atas selembar kertas dengan menggunakan anggota tubuhnya itu adalah Samila, wajahnya sangat mirip dengan Leni. Begitu pertunjukan selesai, aku buru-buru meminta Jhezmaair untuk segera mendatangi pemilik pub dan mem-booking Samila malam itu, berapapun akan aku bayar. Tidak berapa lama kemudian, Jhezmaair datang dan memberitahu kalau germonya itu meminta 5.000 baht. Aku langsung menyetujuinya, meski menurut Jhezmaair, harga segitu terlalu mahal.

Begitulah, malam itu aku berhasil membawanya keluar dari tempat maksiat itu, meski sesungguhnya dia masih punya jadwal show sekali kali lagi malam itu. Aku membawanya ke hotel tempatku menginap. Setelah Jhezmaair berpamitan pulang, aku membawa gadis itu ke dalam kamarku. Dia menggandengku laiknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, meski sesungguhnya kami belum saling mengenal.

Setibanya di dalam kamar, dia langsung duduk di atas tempat tidurku. Aku duduk di atas kursi dan menghadap ke arahnya. Aku menatap wajahnya yang cantik, dia tersenyum dan tertunduk malu. Aku teringat pada Yanti, mantan kekasihku dulu. Wajahnya memang mirip dengan kekasihku yang lebih memilih untuk menikah dengan seorang duda ketimbang dengan aku yang katanya plin-plan dan waktu itu belum siap secara materi.

Aku mengeluarkan kamus mungil bahasa Thai dari dalam kantongku, mencari dan memastikan kata-kata yang ingin aku ucapkan padanya. Aku sempat melirik dan melihat dia tersenyum.

“Sa-bai dee mai?” tanyaku menanyakan keadaannya.

“Sa-bai dee krap, laa ou kun la,” jawabnya, lalu balik bertanya mengenai keadaanku.

Aku mengangguk, lalu menanyakan namanya, “Kun cheu a-rai?”

“Di-chan cheu Samila,” jawabnya sambil tersenyum manis, membalas tatapanku.

“Pom cheu Amir. Pom mah jahk bra-tet Malaysia,” balasku memperkenalkan diriku sebagai Amir dari Malaysia agar dia tidak curiga. Dia mengangguk tersenyum.

“Kun mah tee nee pak porn reu blow?” tanyanya sambil menebak kalau aku datang ke situ untuk berlibur. Aku mengangguk.

Dia lalu bertanya apakah aku senang berada di situ. “Chorp tee nee mai?”

Aku langsung mengangguk, “chorp tee nee mahk.”

Aku menatap wajahnya lagi, aku semakin yakin, wanita yang mengaku bernama Samila ini adalah Leni. Aku pernah melihatnya sekali ketika aku mengunjungi Bambang di kantor pusat Bank Anda waktu itu. Bambang memberitahuku kalau dia memang populer di kantornya, selain karena kecantikannya, juga karena kesupelannya dalam pergaulan.

“Soo ay...” kataku spontan memuji kecantikannya.

Dia tersenyum. “Korp kun krap, terima kasih.”

Dia menghampiriku dan langsung duduk di atas pangkuanku, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merasa jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Seperti inikah gadis Thai, yang konon awalnya malu-malu, namun setelah itu sangat agresif.

“Kamu boleh cakap Melayu?” tanyaku dengan bahasa Melayu.

“Iyelah, saye orang Pattani, orang Pattani banyaklah yang boleh cakap Melayu,” jawabnya dengan bahasa Melayu.

“Kenapa kamu boleh kerja macam ni?” tanyaku.

“Ceritenya panjang sangat, Bang. Saye terpakse melakukan macam ni. Saye tersilap masuk perangkap mafia trafficking,” jawabnya sambil tetap memelukku.

“Kalaulah boleh, saya mahu bawa kamu keluar dari sini. Mahu, tak?”

Samila menatap wajahku dalam-dalam, dia tersenyum haru. “Tak lah, Bang, terima kasih.”

Samila lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik lembut, “Joop chan teut.” Dia menyuruhku menciumnya.

Oh! aku benar-benar bingung. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku tidak munafik, aku tergoda pada kecantikan dan kelembutannya. Namun aku teringat pada Via, istriku. Aku sudah mengkhianatinya, tapi aku tidak punya cara lain saat ini. Aku berjanji dalam hati, setelah tugasku selesai, aku akan segera kembali padanya.

“Samila mirip dengan seseorang yang pernah saya kenal,” kataku.

Samila tidak memperdulikan kalimatku barusan, dia terus memeluk dan menggodaku. “daa chan drong nee.”

“Kamu bukan Samila, tapi Leni, kan?” tanyaku langsung.

Samila tiba-tiba melepaskan pelukannya, aku melihat keterkejutan dan kebingungan di wajahnya.

Aku memegang kedua lengannya. “Aku datang ke sini untuk mengajakmu pulang ke Jakarta.”

Samila menggeleng, dia mulai panik. “Tak lah! saye bukan Leni, saye Samila.”

“Aku yakin kamu adalah Leni! Bambang tidak bersalah, dia butuh bantuanmu untuk memberikan kesaksian, please!” desakku.

Samila semakin panik. Dia langsung melepas cengkramanku dan bangkit dari pangkuanku, lalu berlari menuju pintu kamar. Aku mencoba menahannya, namun gerakannya sangat cepat. Dalam hitungan detik, dia berhasil meloloskan diri dan berlari keluar kamar. Aku mengejarnya.

“Leni!” teriakku.

Dia berhasil masuk ke dalam lift dan menutup pintunya. Aku tertinggal. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju tangga darurat, dan menuruni tangga secepat mungkin.

Setibanya di lobi, aku beruntung masih sempat melihat dia berlari keluar hotel. Aku langsung mengejarnya. Hujan tidak menghalangi dia untuk terus berlari, aku mengikutinya berlari hingga berbelok arah ke Jalan Thammanun Withi, lalu ke Jalan Niphat Uthit 3. Melihat aku semakin dekat, dia semakin panik hingga menabrak orang dan terjatuh. Beruntung bagiku, aku berhasil menjangkaunya. Aku langsung memeluknya dari belakang dan membantunya bangkit.

“Jangan takut, Leni. Aku akan membawamu keluar dari sini dengan aman, kami juga akan melindungi kamu dari orang-orangnya Zulkarnaen ketika tiba di Jakarta nanti!”

“Saya bukan Leni! Saya tak paham cakap kau!” elaknya lagi.

Tanpa kuduga, tiba-tiba dia menggigit lenganku, aku terpaksa melepaskan pelukanku. Aku meringis kesakitan, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur lagi. Aku mengejarnya lagi. Dia berlari menyeberang Jalan Niphat Uthit 3 menuju Jalan Chi Uthit, lalu memasuki gang yang sempit dan gelap.

Aku berlari mengejarnya memasuki gang itu, namun aku terlambat, dia sudah menghilang. Aku mencari-cari, namun tidak ada siapa-siapa di situ, hanya ada seekor anjing yang terus menggonggong. Sebelum anjing itu menerkamku, aku harus segera pergi dari situ. Sial bagiku, aku telah kehilangan jejaknya. Aku lalu menelpon Jhezmaair.

Setibanya di kamar hotel, aku menemukan tasnya yang tertinggal di atas tempat tidur. Aku mengeluarkan semua isi tasnya dengan maksud mencari identitasnya, namun aku hanya menemukan beberapa lembar uang ratusan baht, rokok mild, bedak, lipstik, sebungkus tissue, celana dalam, dan kondom, aku tidak menemukan apapun yang berhubungan dengan Leni.

Keesokan harinya, aku dan Jhezmaair mendatangi Virgin Pub untuk mencarinya. Namun di luar dugaan kami berdua, kami tidak menemukannya lagi di situ, bahkan pemilik pub dan gadis-gadis Thai lainnya mengaku tidak mengenal gadis yang bernama Samila. Aku tetap tidak bisa mempercayai kebohongan mereka itu, namun kami tidak berdaya karena harus menghadapi belasan orang pria berbadan tegap yang mulai bersikap kasar. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, namun aku tidak akan berputus asa. Aku akan terus mencari gadis itu, kemanapun dia pergi. Jeu gan na, Samila!

Hat Yai, Songkhla, Thailand
in the begining of October 2008

(Cerita ini hanya fiktif atau rekaan, apabila ada kesamaan cerita, nama, atau tempat, maka itu hanya kebetulan semata)

Rabu, 22 Oktober 2008

Obama, The New Hope of the United States as a Symbol of Democratic State


Barack Hussein Obama is a phenomenon. Several months a ago, he just an ordinary black man Senator of Illionis State. Now, he is a Democratic Candidate for the US Presidency by The Democratic National Convention. By his confidently performance in Presidential Debate againts the Republic Candidate, John McCain, he became the most popular person, not only in the US, but in the whole world. By his thoughtful, independent-minded leader, and charismatic speaking skill, he become a magnet to million people in the whole world.

If Obama elected as the US President, he will become a symbol of the US as a real of democratic state, the first black man president of the US, that is an anomaly to the doctrine of White – Anglo Saxon – Protestant. On the other hand, the white people majority in the US ought to accept him because he also a white people descendant. His father are black, but he was borne by a white woman from Kansas, US. Although his mother remarried with an indonesian and moved Obama to Indonesia, the muslim country, but now Obama is a Christian.

Obama and his wife Michelle are proud parents of two daughters, Malia Ann and Sasha. Obama as a Harvard Law School graduate, where he became the first African-American president of the Harvard Law Review, has rich and varied experiences life because growing up in different places with people who had differing ideas, and by his progressive thinking, he will be trusted as a real democrat figure. By his colorful backgroud, Obama was born in Honolulu, Hawaii, on August 4, 1961, son of Ann Dunham, a white woman from Kansas, US and Barack Hussein Obama Senior, a muslim-black man from Kenya, a Harvard-educated economist. Obama’s father eventually returned to Kenya, and Obama grew up with his mother in Hawaii, moved to Indonesia for a few years with his mother and step father, Lolo Soetoro, a muslim-javanese, then has a half-sister, Maya Soetoro who married with Konrad Ng, a chinese-canadian, he will be more flexible in the US foreign affairs and able to approach the developing and muslim countries.

By his mission, Change we can believe in, he promises will change the US military policies to be a democratic government by diplomatic approaches in their foreign affairs. In 2002, he publicly opposed the Iraq war and continues to call for withdrawal of the US troops from Iraq up till now. He said that if he elected as a President of the US, he will meet the US opposant countries leader. Hillary Clinton also believed in Obama will able to help the US financial crisis.

US Presidency Election will held on November 4, 2008. American people is going to elect their president. We are waiting and hoping, will they choose the right one, the president who will change the US as a military state to be a democratic state at home and foreign affairs, then praised by the whole world or not? Let us wait and see. In God we trust.

Rabu, 15 Oktober 2008

Obama, Harapan Baru Amerika Sebagai Ikon Negara Demokrasi


Barack Hussein Obama adalah fenomenon. Beberapa bulan yang lalu, dia hanyalah seorang senator berkulit hitam biasa yang tidak begitu dikenal, kecuali oleh warga Negara Bagian Illionis yang diwakilinya. Kini, setelah dia ditetapkan secara resmi sebagai calon Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat dan tampil meyakinkan dalam debat calon presiden AS yang disaksikan langsung oleh puluhan juta pasang mata, dia telah menjadi seorang yang paling populer saat ini, tidak hanya di AS, akan tetapi di seluruh dunia. Semua perhatian tertuju padanya. Dunia, terutama dunia ketiga sangat menaruh harapan besar pada figurnya yang demokrat. Dalam sejarah pemilihan presiden AS, belum pernah ada seorang calon presiden AS menjadi begitu diharapkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia seperti dirinya. Dengan modal pembawaannya yang tenang, murah senyum, percaya diri, dan kemampuannya dalam berorasi, dia telah menjadi magnit bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Apabila Obama terpilih menjadi presiden AS nanti, maka dia akan menjadi simbol pembuktian AS sebagai negara demokrasi (The Real Democratic State), negara yang selama ini telah memosisikan dirinya sebagai polisi demokrasi di dunia. Betapa tidak, dia akan menjadi presiden berkulit hitam pertama di AS. Dia akan menjadi anomali bagi doktrin politik White – Anglo Saxon – Protestant, dimana seorang Presiden AS haruslah seorang warga AS yang berkulit putih, keturunan Inggris, dan beragama kristen protestan. Meski warga AS yang mayoritas berkulit putih itu seharusnya dapat menerimanya sebagai bagian dari mereka karena sesungguhnya dia pun keturunan warga kulit putih. Meski ayahnya seorang pria berkulit hitam, namun dia lahir dari rahim seorang wanita berkulit putih, warga negara AS. Meski di masa kecilnya sempat tinggal di Indonesia, negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, saat ini Obama adalah seorang penganut kristen protestan yang taat. Oleh karenanya, sungguh naif, apabila masih ada warga AS yang mempersoalkan warna kulit, keturunan dan keyakinan yang dianutnya.

Obama sebagai seorang Sarjana Hukum lulusan Universitas Harvard dan aktivis Partai Demokrat yang gigih memperjuangkan demokrasi, diyakini akan menjadi figur demokrat sejati yang tegas. Dengan latar belakangnya yang penuh dengan warna, lahir di Honolulu, Hawaii dari rahim Ann Dunham, seorang wanita berkulit putih dan ayah kandungnya, Barack Obama Senior, seorang doktor di bidang ekonomi lulusan Harvard yang berkulit hitam, berkebangsaan Kenya dan beragama Islam, sempat tinggal di Indonesia, dididik secara islam oleh ayah tirinya Lolo Soetoro yang orang jawa, dan punya seorang adik perempuan, Maya Soetoro yang bersuamikan Konrad Ng, seorang warga Kanada keturunan Cina, Obama yang menikah dengan Michelle Robinson yang asli Chicago, dan telah dikaruniai dua orang anak perempuan, Malia Ann dan Sasha ini diyakini akan lebih luwes berdiplomasi dalam pergaulannya di dunia internasional dan tidak akan mengalami kesulitan untuk mendekati negara-negara dunia ketiga dan islam yang selama ini banyak dirugikan oleh kebijakan luar negeri AS.

Dengan misinya, Change we can believe in, dia berjanji akan mengubah wajah pemerintahan AS yang saat ini sangat militeristik menjadi sebuah pemerintahan demokratis yang lebih mengedepankan jalur diplomasi dalam kebijakan luar negerinya. Apalagi sejak lama, dia memang dikenal sangat menentang perang Irak yang telah menghabiskan begitu banyak anggaran belanja negara dan menewaskan ribuan tentara AS. Dia juga menyatakan akan mendekati pemimpin negara-negara yang selama ini menentang kebijakan luar negeri AS. Dia juga diyakini akan mampu membawa AS keluar dari krisis ekonomi saat ini.

Pemilihan Presiden AS tidak lama lagi. Bangsa Amerika akan memilih pemimpinnya pada tanggal 4 Nopember 2008. Meski hingga debatnya yang ketiga dengan John McCain, pesaingnya dari Partai Republik, popularitasnya terus mengungguli pesaingnya itu dalam berbagai polling, kita hanya bisa menunggu dan berharap, apakah mereka akan menentukan pilihan yang tepat, pilihan yang akan mengubah wajah AS menjadi negara demokrasi di dalam dan di luar negerinya dan dipuji oleh dunia ataukah tetap menjadi negara yang arogan, militeristik, dan menyeramkan. Mari kita tunggu sambil berdoa. In God we trust.

Jumat, 10 Oktober 2008

Singapura


Beberapa hari yang lalu dalam mengisi waktu liburan lebaran, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Singapura. Saya selalu rindu untuk kembali ke negara pulau yang luasnya hanya 707,1 kilometer persegi ini. Setiap melihat tata kotanya yang begitu rapi, jalan-jalannya yang mulus, lalu-lintas yang tertib, bebas polusi, taman-taman yang asri dan bersih, dan arsitektur-arsitekturnya yang modern, saya selalu berkhayal suatu hari nanti saya bisa menyaksikan semua itu di Jakarta, meski hal itu rasanya hampir mustahil.

Sebenarnya saya sudah berniat mengunjungi negeri itu seminggu sebelumnya, dengan maksud untuk menyaksikan secara langsung lomba balap mobil Formula One yang pertama kali diadakan di Singapura, namun setelah mengetahui harga tiketnya USD 998 yang cukup mahal untuk ukuran kantong saya, saya memutuskan untuk menyaksikannya di televisi saja. Uang sebanyak itu rasanya akan lebih bermanfaat kalau saya gunakan untuk shopping di Orchard Road dan Bugis Street, atau makan bersama keluarga dan teman-teman di Foodrepublic, lalu naik Singapore Flyer atau menyaksikan Songs of the Sea, sebuah pertunjukan drama musikal dengan sinar laser tiga dimensi dan kembang api yang spektakuler di tepi pantai Sentosa Island.

Satu hal yang berbeda dari lomba balap Formula One kali ini adalah sirkuit yang digunakan sebagai arena lomba adalah jalan-jalan raya di dalam kota metropolitan Singapura, bukan di sirkuit khusus seperti di negara-negara penyelenggara Formula One lainnya. Monaco juga telah lama menggunakan jalan raya di Monte Carlo sebagai arena lomba Formula One, sehingga di dunia ada dua negara yang menyelenggarakan lomba Formula One di jalan-jalan di tengah kota. Oh ya, satu hal yang menarik, kebetulan warna bendera kedua negara ini sama dengan warna bendera negara kita Indonesia, yaitu merah-putih. Hanya saja mereka bisa menggunakan jalan-jalannya yang mulus sebagai arena lomba Formula One, sedangkan kita sangat tidak mungkin dengan kondisi jalan-jalan yang rusak seperti saat ini.

Namun ada satu hal lagi yang membedakan lomba mobil Formula One di Singapura kali ini dengan Monaco dan negara lainnya adalah lomba yang diselenggarakan pada malam hari. Mengemudikan mobil di jalan yang penuh dengan kelokan di malam hari, apalagi dengan kecepatan tinggi hingga 200 km/jam, tentu membutuhkan konsentrasi dan ketahanan fisik yang luar biasa. Resiko kecelakaan yang mungkin terjadi, tentu sangat besar. Namun dengan perencanaan yang matang dan kepercayaan diri yang luar biasa, Singapura berhasil menyelenggarakan event tersebut dengan sukses.

Meski saya tidak jadi menyaksikannya secara langsung, saya masih beruntung karena masih sempat melewati jalanan mulus Raffles Boulevard yang beberapa hari sebelumnya dipakai oleh Fernando Alonso dan Lewis Hamilton memacu kendaraannya. Saya juga masih sempat melihat-lihat dan memotret sisa-sisa tribun penonton dan pagar pembatas. Lumayanlah buat kenang-kenangan.

Singapura adalah negeri kecil, namun dengan potensi yang besar. Pendapatan rata-rata perkapita penduduknya saat ini konon telah mencapai USD 48.900/tahun, bandingkan dengan Indonesia yang hanya USD 3.400/tahun. Negara yang didirikan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1819 dan kemudian melepaskan diri dari Kerajaan Malaysia pada tahun 1965 ini adalah salah satu negara termakmur di dunia. Banyak hal yang patut ditiru dari negeri ini, terutama pemerintahannya yang bersih. Negara yang dikelola oleh orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara dan bangsanya, ketimbang kepentingan pribadi dan kelompoknya. Majulah Singapura, bangkitlah Indonesia!

Sabtu, 20 September 2008

Pengabdian Dua Orang Bidan

Pada awal ramadhan lalu, ketika sebagian besar umat muslim sedang menjalani ibadah puasa, berjuang menahan lapar dan haus, sebagian lagi mungkin masih terlelap dalam tidur siangnya, saya menyempatkan waktu untuk menonton acara talk show favorit saya di televisi, Kick Andy. Ada seorang Ibu setengah baya, namanya Ibu Siti Aminah. Beliau adalah seorang bidan, tapi bukan bidan biasa. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya di bidang kesehatan, Ibu Aminah ini ternyata telah lama membaktikan hidupnya untuk membantu masyarakat miskin di kawasan kumuh, Cilincing, Jakarta Utara serta perkampungan nelayan di Bekasi dan sekitarnya. Bersama mobil ambulance dan seorang supir, Ibu Aminah berkeliling kampung mencari pasien. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, apabila sang supir berhalangan, Ibu Aminah sendirilah yang mengemudikan mobil pribadinya yang telah disulap menjadi mobil ambulance itu untuk berkeliling kampung, mencari pasien, dan mengobatinya di tempat.

Kita sering mendengar atau membaca di media massa, banyak orang sakit yang berasal dari keluarga miskin, terpaksa harus mengurut dada dan pulang ke rumah setelah ditolak oleh pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang jaminan. Alhamdulillah, di tengah kota metropolitan Jakarta yang individualistis ini, masih ada seorang tenaga kesehatan seperti Ibu Aminah ini. Tenaga Kesehatan yang tidak pernah meminta bayaran kepada pasiennya, apalagi meminta uang jaminan. Malah tidak jarang, justru Ibu Aminahlah yang mengeluarkan uang untuk membayarkan uang jaminan, ketika ada pasiennya yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Bahkan Ibu Aminah pernah menjual perhiasan miliknya demi membantu salah seorang pasiennya.

Seorang bidan lagi bernama Ros Rosita. Wanita berjilbab ini telah mengabdikan hidupnya untuk melayani kesehatan orang-orang suku Baduy selama lebih dari 10 tahun. Bidan yang akrab dipanggil Bidan Ros ini, rela menempuh perjalanan dengan jalan kaki hingga 6 jam lamanya, demi mengunjungi para pasiennya di pedalaman hutan Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. Bidan Ros ternyata memerlukan waktu 2 tahun lamanya agar metode dan peralatan medis modern miliknya, seperti jarum suntik, obat-obatan, dan konsep imunisasi, bisa diterima di kalangan suku Baduy yang terkenal sangat anti terhadap segala hal yang berbau modern.

Hingga kini, Bidan Ros tetap menjalani pelayanan kesehatan dengan waktu praktik 24 jam dengan bayaran seadanya. Misalnya pada awalnya, setelah membantu seorang ibu melahirkan, biasanya dia dibayar hanya sepuluh ribu rupiah. “Alhamdulillah sekarang sudah naik sedikit menjadi dua puluh ribu rupiah,” tutur Bidan Ros sambil tersenyum, seorang bidan yang berkeinginan untuk mendirikan rumah bersalin di kawasan suku Baduy.

Saya yakin, di negeri ini masih banyak tenaga kesehatan atau orang-orang dengan profesi lain yang terpanggil hatinya untuk membaktikan hidup dalam membantu orang-orang yang tidak mampu seperti Ibu Aminah dan Ros Rosita. Hanya saja, jumlahnya masih sangat sedikit, tidak seimbang dengan jumlah orang yang membutuhkan bantuan. Mari kita berdoa buat Ibu Aminah dan Ros Rosita serta semua orang-orang yang berhati mulia untuk tetap semangat dalam perjuangannya membantu orang-orang yang tidak mampu. Kita mungkin belum bisa berbuat banyak seperti kedua bidan ini, namun setidaknya, Ibu Aminah dan Ros Rosita telah menjadi inspirasi bagi kita, untuk terpanggil dan mulai melakukan sesuatu, sekecil apapun itu, untuk membantu orang-orang yang lemah. Semoga.

Senin, 25 Agustus 2008

THE GOD


The God, exist and imaginary. The God is exist, when you devout and pray to Him, or when you feel His existing in your spiritual experiences. But, The God must be lost in your mind, when you busy working, have a good time, laugh, be in love, or when you feel that your prayer do not answered by Him. The God will come at any time, wherever, and then forgotten, that is dependent in situation, your physical and spiritual condition.

It is quite possible that God does not exist and never exist. The existence of God is only an imagination of human being who need a super power figure. When human being pray to God, they thought that they in contact with God, but actually they in contact with themselves.

In thousands of years, The God was understood by human being in difference of opinions. The God is a mysterious figure up till now.

Senin, 28 Juli 2008

Vous Habitez a Paris?


Aku baru saja terlelap, ketika deringan telepon di samping tempat tidurku hampir saja memecah gendang telingaku. Sambil memicingkan mata, aku meraih gagang telepon itu. Aku mendengar suara parau Francois di seberang sana.

“Allo! Ahmad?”

“Hmm…”

“Comment vas tu?”

“Ca va, et toi?”

“Ca va. Tu viens avec nous au cinema, ce soir?”

Francois, sahabat kampusku, mengajakku menonton di bioskop malam ini.

“Non, je ne me sens pas bien depuis deux jours,” tolakku dengan alasan lagi tidak enak badan.

“Allez! Viens avec nous, quio!” pintanya setengah memaksa.

Seminggu yang lalu, dia memang sudah berjanji akan mengajak aku, Pierre, dan Hidetoshi untuk menyaksikan film yang sedang booming di seluruh dunia, The Da Vinci Code. Film yang sebagian besar pengambilan gambarnya dilakukan di Paris. Namun aku juga sudah terlanjur mengajak Daphne untuk makan malam, merayakan hari ulang tahunnya malam ini.

“Ce n’est pas possible, j’ai mal a la tete,” elakku lagi dengan alasan sakit kepala.

Francois terus memaksa, “Allez!”

“S’il vous plait, merci.”

Aku lalu menutup telepon. Aku tidak mungkin mengajak Daphne bergabung dengan mereka. Soalnya dua hari yang lalu, diam-diam aku dan Daphne sudah menyaksikan film itu lebih dahulu. Aku juga tidak mungkin memberitahu mereka kalau aku juga ada janji dengan Daphne malam ini, Pierre pasti akan mencurigai aku ada apa-apa dengan Daphne.

Pierre adalah sahabat karibnya Cahyo, kekasih Daphne yang lagi pulang ke Jakarta. Meski setahuku, Cahyo tidak pernah cemburu padaku karena dia tahu aku dan Daphne hanya berteman biasa, tidak lebih. Daphne adalah guru bahasa Prancisku di Jakarta dulu dan Daphne pula yang membantuku melanjutkan pendidikan ke Paris. Daphne sangat respek padaku karena dia menilai aku adalah muridnya yang paling antusias dan paling cepat mencerna pelajaran yang diberikannya waktu itu. Kami bahkan sering jalan bertiga, jadi Cahyo tidak pernah khawatir kalau Daphne jalan denganku, begitu kata Daphne. Lagi pula Daphne selalu memberitahu Cahyo setiap jalan denganku. Termasuk malam ini.

*****

Malam itu aku menjemput Daphne di apartemennya di Rue George Pitard. Sudah setahun lebih, Daphne dan Cahyo tinggal bersama di apartemen itu. Sebenarnya Cahyo adalah pria yang sangat bertanggung jawab, namun Daphne selalu menolak setiap diajak menikah oleh Cahyo. Daphne selalu beralasan belum siap. Baginya pernikahan tidak lebih dari formalitas selembar kertas yang akan membelenggu hak-hak pribadinya. Hmm… Budaya barat dan timur memang berbeda.

“Hai!” sambutnya ramah.

Tidak seperti biasanya, malam ini dia mengenakan gaun terusan berwarna hitam. Dia kelihatan lebih cantik dan anggun malam ini, tidak tomboy seperti biasanya. Baru kali ini aku melihat dia memakai lipstick. Aku menghirup aroma perfumenya.

“Kita berangkat sekarang, mademoiselle?” tanyaku.

“Oui, monsieur!” angguknya cepat.

Setibanya di restaurant yang terletak Champs Elysees avenue, seorang pelayan bertubuh tambun menyambut kami dengan ramah. “Bonsoir Monsieur, Bonsoir Madame! Pour deux personnes?”

Aku dan Daphne mengangguk tersenyum, “Oui.”

Sang pelayan lalu mempersilahkan kami mengikutinya. “Par ici, Monsieur.”

Kami mengambil tempat di sudut ruangan yang agak temaram. Kami membuka daftar menu. Aku lalu memesan steak frites yaitu menu stik dan kentang goreng serta satu porsi ayam. Sedangkan Daphne hanya memesan poulet haricots yaitu menu ayam dan buncis. Untuk makanan pembuka, kami memilih salad. Untuk minumnya, seperti biasa aku lebih suka memilih air mineral saja, sesuai pesan ibuku. Aku menolak tawaran anggur Beaujolais yang dipesan Daphne.

“Selamat ulang tahun, ya!” kataku sambil menyerahkan novel Dinding-nya Jean Paul Sartre dalam edisi Bahasa Indonesia yang kubungkus dengan rapi.

“Merci…” jawabnya sumringah, lalu segera membuka bungkusannya.

“Gimana?” tanyaku.

Dia nampak sangat senang. “Merci! Voila ce qu’il me faut!”

Dia memang senang membaca buku-bukunya Sartre. Dia sudah memiliki novel itu dalam versi bahasa Prancis dan Inggris.

Daphne Maria Renata Villeneuve adalah seorang gadis prancis asli yang baik hati dan sangat peduli pada kaum tertindas. Dia lahir di Bordeaux sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari keturunan bangsawan Prancis. Diusia 5 tahun, ayahnya yang seorang pengajar memboyong mereka sekeluarga ke Paris. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Paris, dia membaktikan hidupnya sebagai aktivis di Womancare, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak-hak perempuan yang berpusat di London.

Aku pertama kali berkenalan dengannya di CCF Jakarta. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai salah satu staf di Womancare di Jakarta waktu itu, dia masih menyempatkan waktunya untuk mengajar Bahasa Prancis. Aku adalah salah satu muridnya. Aku juga sempat menemaninya ke Serawak, Malaysia, menjemput beberapa korban perdagangan perempuan di sana. Sejak itu hubungan kami semakin akrab, bahkan menurut sebagian orang, terlalu akrab untuk ukuran sekedar teman biasa. Hmm…

Meski aku sangat mendukung aktivitasnya dalam memperjuangkan hak-hak wanita yang tertindas. Aku adalah lawan, bahkan musuh bebuyutannya setiap berdiskusi mengenai wanita. Kami mempunyai prinsip yang berbeda dalam memposisikan wanita. Hal tersebut terjadi karena kami memandang eksistensi wanita dalam perspektif yang berbeda. Dia sangat dipengaruhi oleh pandangan liberalnya yang menempatkan kebebasan di atas segala-galanya, sedangkan aku lebih banyak mengacu pada norma-norma agama.

Meski dia percaya bahwa Tuhan ada, namun dia tidak pernah tertarik untuk menganut agama apapun. Baginya, aturan dan norma agama hanya akan mengekang kebebasan kita dalam berpikir dan bertindak. Dogma-dogma agama tidak lebih dari propaganda yang menyesatkan. Meski demikian, dia bisa menjadi lebih relijius dan santun, dibandingkan wanita-wanita berkerudung yang pernah aku kenal. Meski dia seorang bule, tutur katanya sangat sopan, prilakunya santun, dan sangat menghormati orang lain. Bahkan untuk masalah sosial, dia lebih islami ketimbang orang islam sendiri. Hidupnya sederhana, semua yang dilakukannya tanpa mengharapkan pamrih, semata-mata karena keikhlasan. Meski dia tidak pernah mau mengakui kerasulan Muhammad, namun dia telah mencontoh kehidupan yang diajarkan Muhammad, nabinya orang islam.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Daphne menuangkan anggur Beaujolais ke gelasnya. Dia mulai menantangku lagi untuk berdiskusi mengenai wanita.

“Tadi siang, aku lihat di Canal+, di Jakarta lagi ada demo kaum perempuan menuntut kesetaraan gender,” katanya sambil mengangkat gelas anggur ke bibir tipisnya.

Aku mengangguk. “Iya, aku prihatin…”

Tiba-tiba dia tercekat dan langsung meletakkan gelas anggurnya. Kedua bola mata birunya melotot. “Excuzes-moi, Monsieur! Anda salah! Seharusnya Anda bangga!”

“Bagi saya, pria dan wanita tetap berbeda. Tuhan menciptakan pria dan wanita dengan bentuk fisik dan non fisik yang berbeda…”

“Apanya yang berbeda?” potongnya cepat.

“Pria diciptakan dengan fisik yang relatif lebih kuat, sedangkan wanita diberi organ reproduksi untuk mengandung dan melahirkan. Dalam mengambil keputusan, pria lebih cenderung menggunakan akalnya ketimbang perasaan, sedangkan wanita lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal sehat.”

“Tidak juga. Buktinya banyak wanita yang bisa menempati posisi yang sejajar, bahkan lebih tinggi daripada pria. Par exemple, Margareth Thatcher, Indira Gandhi, dan Megawati Soekarno Putri. Jangan lupa, aku pernah mengalahkanmu lari menaiki anak tangga di Borobudur!” Daphne tertawa dengan jumawanya.

Aku mengangguk tersenyum. “Iya, tapi mereka tetaplah wanita, yang lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal dalam mengambil keputusan. Saya tidak menentang wanita mengejar posisi yang sejajar atau melebihi kaum pria, asalkan mereka tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.”

“Maksudmu?”

“Minimal harus ada keseimbangan antara karir dan keluarga. Banyak wanita yang terlalu asyik mengejar karir sampai lupa dengan tugas utamanya sebagai wanita yang ditakdirkan untuk mengandung, merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya sendiri.”

Daphne menghela napas. “Aku tidak percaya takdir. Aku pikir sulit untuk melakukan balancing. Bagaimanapun, kita harus memilih.”

“Apa karena itu, kamu selalu menolak lamaran Cahyo?”

Aku melihat raut keterkejutan di wajahnya. Dia menggeleng, lalu menenggak anggur di gelasnya hingga tandas. Ini untuk yang kesekian kalinya. Aku mulai khawatir, alkohol akan mulai mempengaruhi syarafnya.

“Kamu sudah terlalu banyak minum, sebaiknya aku antar kamu pulang.”

Dia mengangguk. Setelah membayar, kami melangkah ke luar. Dia berjalan lebih dulu, namun tiba-tiba tubuhnya sedikit oleng, dia memegang keningnya. Aku buru-buru meraihnya tubuhnya.

“Kamu kenapa?”

“Oh, nggak apa-apa, aku baik-baik aja,” elaknya.

Aku menuntunnya ke mobil.

*****

Aku mengantarnya hingga ke kamarnya. Dia tidak pernah minum sebanyak tadi, akibatnya dia sedikit mabuk.

Daphne tersenyum, “Merci beaucoup.”

Aku mengangguk, “Istirahatlah. Besok kamu harus ngajar, kan?”

Dia mengangguk malas.

Aku pamit, “Bonne nuit.”

Aku melangkah pergi, namun dia menahanku. “Temani aku malam ini…”

Aku tertawa dan memencet hidung bangirnya. “Kamu terlalu banyak minum!”

Aku bergegas pergi, namun secara tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku mencoba melepaskan diri, namun cengkramannya sangat kuat. Dia memelukku dan berusaha menciumku.

“Allez. Aku mencintaimu, Ahmad!” bisiknya manja. Aku menghirup aroma semerbak alkohol dari mulutnya.

“Mon Dieu! Kamu mabuk. Cahyo pasti akan marah kalau tahu kamu seperti ini!”

“Zut! Dia tidak mencintaiku, dia lebih memilih mengejar karirnya daripada aku!” Aku mendengar suaranya bergetar. Dia mulai terisak. Aku teringat dengan ucapanku padanya tadi, wanita memang selalu mendahulukan perasaannya daripada akal sehat!

Daphne terus mendesakku dengan dadanya, hingga aku terhempas ke atas tempat tidurnya, tubuhnya menimpaku. Tiba-tiba… Byuuurrr!!! Aku tersentak dan terbangun dari mimpi. Aku seperti terguyur hempasan gelombang air laut di pantai Kuta. Setelah sadar dari mimpi, ternyata aku tidak sedang berada di Pantai Kuta atau pantai manapun, tapi di atas tempat tidurku sendiri. Aku melihat Daphne berdiri di hadapanku sambil memegang gayung.

“Hah?!” Aku memandang wajahnya lekat-lekat, lalu kupandangi tubuh sintalnya dari atas hingga ke bawah. Dia menjadi salah tingkah dan langsung menegurku.

“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Tidak biasanya…”

“Oh, sorry!” Aku buru-buru memalingkan wajah.

Daphne tersenyum. “Maaf, aku terpaksa membangunkanmu dengan air. Aku sudah membangunkanmu dengan sopan, tapi kamu tidak bangun juga. Barusan kamu mengigau.”

“Mengigau?”

“Iya, kamu memanggil-manggil namaku…”

“Apa?!”

“Di luar ada Cahyo. Aku terpaksa buru-buru membangunkanmu, sebelum dia mendengar kamu memanggil-manggil namaku. Dia bisa cemburu, lho…” Daphne tersenyum lagi. Aku merasa pipiku merona merah seperti buah tomat. Aku benar-benar mimpi basah, basah karena diguyur air!

Selasa, 22 Juli 2008

Menjemput Cinta


Papua, ini aku kembali. Aku kembali karena aku cinta. Cinta pada tanahmu yang subur. Cinta pada seseorang yang pernah membuka pintu hatiku, meski itu luka. Tapi apa perduliku, karena kami masih punya cinta.

“Ya, kami punya cinta. Cinta yang membimbing kami untuk saling kasih-mengasihi, sayang-menyayangi,” gumamku dalam sunyi.

Itu kalimat yang selalu kami ucapkan, aku dan Yohana Wilhelmina, putri seorang petani miskin dari suku Sentani. Mereka selalu menertawakan dan mencelaku hanya karena Yohana orang marege.

Tarada lagi kah perempuan pendatang yang cantik, sampai ko pilih dia?” ejek seorang temanku Udin, sinis.

Aku dianggap aneh oleh mereka. Si Udin tidak pernah tertarik pada Bertha karena wanita cantik itu orang Manado, Si Tejo tidak jadi mendekati Vera karena ternyata dia orang Padang, dan Si Lilis menolak Togar mentah-mentah karena dia orang Batak. Sedangkan aku… Aku justru jatuh cinta pada seorang perempuan pribumi berkulit hitam dan berambut keriting. Meski perempuanku itu manis dan baik hati, mereka tetap tidak bisa menerima keakraban kami. Kenapa? Karena kami berbeda!

Duh! Betapa sempitnya dunia ini. Kami seperti hidup dalam sunyi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang selalu bangga dengan suku dan warna kulitnya. Orang-orang yang tidak pernah menghargai perbedaan sebagai anugerah. Hitler yang rasis itu memang sudah mati terhimpit bumi, akan tetapi ruh rasismenya masih bersemayam di hati orang-orang yang picik. Dia selalu ada di sekitar kita. Dia bisa jadi adalah teman kita, tetangga kita, bahkan saudara dan orang tua kita sendiri.

*****

Aku masih duduk termenung di atas anjungan kapal yang membawaku kembali ke tanah kelahiranku, Papua. Hilir mudik penumpang sibuk dengan barang bawaannya. Mereka berebut untuk mendapatkan tempat di dekat tangga turun, sementara aku masih larut dalam lamunan.

Kota di teluk yang indah. Kota kecil yang mulai dihiasi oleh gedung-gedung tinggi, di sebuah lembah yang teduh karena dilindungi oleh pegunungan di sekitarnya. Kota yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik yang membentang luas. Konon, puluhan tahun yang lalu, nenek moyangku yang gagah berani itu berlayar dan bersauh di kota ini. Mencari penghidupan baru yang menjanjikan. Kota yang sejak jaman kolonial sering berganti nama. Orang Belanda menamainya Hollandia, sebelum sempat diganti menjadi Sukarnopura, dan terakhir Jayapura. Aku mencintai kota ini. Setelah berlayar tujuh hari, perahu besi yang membawa kami dari Tanah Jawa akhirnya merapat di dermaga Pelabuhan Jayapura.

Aku berlari menuruni tangga kapal. Aku tidak sabar lagi untuk menginjak tanah Papua yang telah lama aku tinggalkan. Kala itu aku pergi untuk mengobati sebuah luka, luka yang menggores pilu. Hingga pada suatu hari sang angin memberi kabar padaku, suaminya yang pemabuk itu sudah pergi dari kehidupannya. Laki-laki beringas yang selalu menyakitinya itu hilang entah kemana. Kini aku kembali dengan sejumput asa. Asa untuk bertemunya lagi.

“Bah! Ko tarausa mayari dia lagi sudah, dia su punya paitua,” kata Togar kesal ketika kuberi tahu keinginanku untuk menjumpai Yohana.

“Suaminya sudah pergi. Saya merindukan dia, lalu apakah salah kalau saya mengunjunginya?” tanyaku membela diri.

Sahabatku itu menghela napas, kesal. “Macam tarada perempuan lagi, kah?”

Aku tidak memperdulikannya, hari itu juga aku datang ke rumah Yohana. Kuketuk pintunya, dia nampak sangat terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya tidak seceria dulu lagi. Pucat-pasi, ada duka. Dia nampak sangat kurus dan tak terurus.

Aku menyapanya. “Apa kabar, Yohana?”

Dia tersenyum, aku menemukan senyumnya yang sudah lama hilang. “Baik… Ko bagaimana?”

“Seperti yang ko lihat, sa baik-baik saja to?” kataku membalas senyumannya.

Perempuan itu kemudian mempersilahkan aku masuk. Dia menjamuku dengan sepiring papeda dan ikan bakar. Aku lalu bercerita tentang kegiatanku di Jakarta, kuliah sambil bekerja. Dia juga bercerita tentang kegiatannya di gereja, meski sudah tidak seaktif dulu lagi. Waktunya lebih banyak tersita untuk mencari nafkah. Sejak kematian pace-nya, untuk menghidupi kedua anaknya dan mace-nya yang sudah renta dia berjualan sayur-mayur di Pasar Hamadi.

*****

Aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupnya, meski mungkin hanya untuk sementara. Kami menemukan kembali kebersamaan yang telah lama hilang. Pagi hari dengan sepeda motor, aku menjemput dan mengantarnya ke pasar. Setelah sayurnya terjual habis, aku akan datang lagi menjemput dan mengantarnya pulang. Setiba di rumah aku membantunya mengangkat air, lalu menjaga kedua anak balitanya. Kami bercengkrama sambil menunggu mamanya selesai memasak makan siang untuk kami. Setelah itu aku pamit pulang.

Waktu terus berlalu, aku sangat menikmatinya. Aku tidak menemukan sedikit pun perbedaan itu, yang aku temukan justru kebersamaan dan kebahagiaan. Sampai kemudian dipagi itu, aku mendapati begitu banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Suaminya yang telah pergi tanpa kabar tiga bulan lamanya itu telah kembali. Dalam keadaan mabuk, laki-laki itu datang dan memaksa untuk menyerahkan semua uang hasil penjualan sayur-mayurnya. Yohana melawan, mereka bertengkar hebat. Laki-laki itu dengan kalap memukul dan menendangnya seperti binatang. Perempuan malang itu meraung, menjerit pilu dalam pekatnya malam. Pagi harinya Pendeta Octavianus dan warga menemukannya tidak sadarkan diri, lalu membawanya ke rumah sakit. Dia koma.

Aku bergegas ke rumah sakit, aku harus segera bertemu dengannya. Aku berlari menyusuri koridor menuju ruang UGD dengan segenggam asa, asa untuknya agar bertahan. Apapun akan aku lakukan demi dia, hanya untuknya. Dalam kegusaranku, aku berdoa kepada Tuhan. Doa agar aku diberi kesempatan untuk membahagiakannya. Cukup sudah penderitaan yang dialaminya. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh dan menyakitinya lagi. Aku akan membawanya pergi jauh dari orang-orang itu, orang-orang yang menebar luka untuknya. Aku akan taburi hidupnya hanya dengan kebahagiaan dan tawa. Akan tetapi terlambat, aku terlambat.

“Yohana telah pergi meninggalkan kita semua dalam damai, dia tersenyum,” kata Pendeta Octavianus tersenyum getir.

Aku tercekat, dadaku sesak. Aku merasa sekujur tumbuhku lunglai, terduduk lemas tanpa daya. Perempuan manisku itu telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Aku teringat padanya, tatkala dia bernyanyi untukku di dekat api unggun. Suaranya mengalun merdu, dan aku mengiringinya dengan tifa. Sementara di balik dedaunan pohon yang rindang, sang purnama mengintip malu. Aku tersenyum, tapi mataku meneteskan air mata. Pedih. Oh, Tuhan… Adakah Kau dengar doaku? Doa untuk kebahagiaannya di alam sana. Alam yang tidak akan pernah mempersoalkan warna kulitnya. Alam yang damai dan kekal.

Port Numbay, November 28th, 2003

Daftar Istilah :

Suku Sentani = suku yang mendiami daerah di sekitar Danau Sentani

Marege = sebutan orang pendatang terhadap orang asli Papua

tarada = tidak ada

tarausa = tidak usah

mayari = menggoda

ko = kamu

sa = saya

su = sudah

to = kan

Papeda = makanan khas yang terbuat dari sagu

Pace = Bapak

Mace = Ibu

Paitua = suami

Tifa = alat tetabuhan tradisional Papua