Senin, 03 November 2008

Sa-bai dee mai, Thailand


Rinai hujan di malam itu mengiringi perjalanan kami berdua ke suatu tempat. Aku dan Jhezmaair memasuki pelataran parkir Virgin Pub. Sebuah tempat pertunjukan atraksi gadis Thai, khusus untuk orang dewasa, yang berkedok pub di Jalan Prachathipat, tidak jauh dari Grand Plaza Hotel tempatku menginap di Jalan Sanehanusorn, Hat Yai. Begitu memasuki pub, kami disambut oleh seorang wanita berusia paruh baya.

“Kor.” Sambutnya hangat.
“Korp kun ka,” jawabku mengucapkan terima kasih.

Itu satu-satunya frase bahasa Thai yang fasih aku lafalkan, selebihnya aku akan meminta bantuan Jhezmaair, sahabat sekaligus kamus berjalanku. Pada saat-saat tertentu ketika aku harus berkomunikasi dengan penduduk setempat tanpa Jhezmaair, aku harus membuka kamus bahasa Thai yang selalu kubawa. Kamus kecil itu khusus aku beli ketika di Kuala Lumpur.

Wanita itu sempat berbincang sebentar dengan Jhezmaair dalam bahasa Thai yang tidak kupahami. Aku yakin dialah pemilik pub itu. Tidak berapa lama kemudian, wanita itu mengajak kami mengikutinya menuju ruang belakang, lalu menaiki tangga ke lantai dua. Di lantai dua ternyata ruang pertunjukan sudah hampir penuh oleh pengunjung. Wanita itu mempersilahkan kami duduk di kursi baris kedua yang nampaknya sengaja dikosongkan khusus untuk kami berdua. Jhezmaair memang sudah memesan tempat sehari sebelumnya.

Menurut Jhezmaair pertunjukan itu selalu dipenuhi oleh pengunjung, terutama turis-turis asing dari berbagai negara. Pertunjukan Thai Girl Show itu memang dikenal sebagai salah satu obyek wisata yang paling diminati oleh turis manca negara. Harga tiketnya 500 baht per orang, kalau dirupiahkan sekitar Rp 150.000,00. Hmm... Relatif murah memang untuk sebuah pertunjukan unik yang hanya ada di Thailand.

Kami duduk menghadap ke sebuah panggung sederhana yang luasnya tidak lebih dari 16 meter persegi yang disorot oleh lampu. Ukurannya kurang-lebih sama dengan panggung pertunjukan musik dangdut di kampung-kampung di Indonesia. Di atas panggung hanya ada sebuah sofa panjang. Aku tidak mengerti untuk apa sofa itu, bukankah ini acara pertunjukan atraksi gadis Thai, bukan acara talk show?

Malam itu adalah pengalaman pertamaku mengunjungi tempat pertunjukan seperti itu, meski sebelumnya aku sudah sering mendengarnya dari teman-temanku yang pernah mengunjungi Thailand. Mereka selalu bercerita dengan antusias mengenai atraksi-atraksi yang ajaib yang bisa dilakukan oleh gadis-gadis Thai dalam pertunjukan itu. Tapi malam itu, aku tidak terlalu memikirkan seperti apa atraksinya karena maksud kedatanganku berbeda dengan sebagian besar pengunjung. Aku datang ke tempat itu untuk sebuah tugas rahasia.

Aku datang ke pertunjukan itu untuk mencari seorang wanita yang bernama Samila. Dia adalah salah satu gadis Thai yang menjadi idola di pertunjukan itu. Berdasarkan informasi yang aku terima, sesungguhnya dia adalah Leni, saksi kunci dari kasus mega korupsi yang terjadi di Bank Anda Jakarta lima tahun yang lalu. Mantan sekretaris pribadi Direktur Utama Bank Anda itu melarikan diri sejak empat tahun yang lalu demi menghindari ancaman pembunuhan terhadap dirinya. Aku ditugaskan untuk membawanya pulang ke Indonesia, keterangannya sangat dibutuhkan oleh sahabatku, Bambang yang berencana melakukan Peninjauan Kembali atas kasusnya. Mantan salah satu manejer di Bank Anda itu sudah tiga tahun mendekam di Cipinang atas tuduhan korupsi yang tidak pernah dia lakukan, sementara Direktur Utama Bank Anda, Zulkarnaen, pelaku yang sesungguhnya, masih melenggang bebas.

“Kapan show-nya dimulai?” tanyaku pada Jhezmaair.

“Tak lama lagilah,” jawab Jhezmaair dengan bahasa Melayu logat Thai.

Sahabatku itu adalah warga Pattani, wilayah Thailand Selatan yang sebagian besar penduduknya beretnis Melayu, sehingga sebagian besar penduduknya berbahasa Melayu dengan logat Thai. Meski kadang-kadang kami salah memahami ucapan masing-masing, namun kehadirannya sangat membantuku, baik sebagai penerjemah bahasa Thai maupun sebagai pemandu.

Malam ini aku berniat berkenalan dengan Samila, aku harus memastikan dulu bahwa gadis itu adalah Leni yang aku cari. Setelah itu, tugasku adalah membujuknya agar bersedia kembali ke Indonesia dan menjadi saksi kunci bagi orang yang tidak bersalah dan mengungkap kasus yang sebenarnya. Aku sadar, ini bukan tugas yang mudah, tapi aku sudah bertekad untuk berusaha sekuat tenagaku demi sebuah keadilan dan persahabatan.

Aku sudah merencanakan segalanya selama empat bulan lamanya, termasuk kursus privat bahasa Thai. Setelah semua informasi tentang Leni terkumpul. Untuk menghindari endusan orang-orang Zulkarnaen, aku memasuki Thailand melalui rute yang panjang dan melelahkan. Dari Jakarta aku memilih untuk naik pesawat menuju Dumai, dari sana aku menyeberangi Selat Malaka dengan ferry ke Melaka, Malaysia, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Kuala Lumpur, setelah menginap semalam di Petaling Street, aku melanjutkan perjalanan darat dengan bus selama sepuluh jam lebih menuju perbatasan Thailand. Setelah melewati Imigrasi Malaysia di Bukit Kayu Hitam, aku masuk ke wilayah Thailand Selatan melalui Sadao, pemeriksaan imigrasi di wilayah perbatasan itu tidak seketat di bandara internasional di Bangkok maupun Hat Yai. Di Sadao aku bertemu Jhezmaair yang kemudian membawaku ke Hat Yai dengan tuk-tuknya, angkutan umum yang mirip bemo di Jakarta.

Setelah menunggu seperempat jam, pertunjukan akhirnya dimulai. Atraksi dimulai dengan pertunjukan sulap yang sudah biasa aku saksikan di Indonesia. Setelah itu disusul dengan penampilan gadis-gadis Thai yang berlenggak-lenggok di atas panggung diiringi oleh alunan musik laiknya peragawati, namun dengan penampilan yang hanya layak disaksikan oleh orang dewasa. Sesekali mereka duduk atau berbaring di sofa sambil mengangkat kedua kakinya tanpa sungkan, setelah itu bangkit lagi, lalu berlenggak-lenggok mengitari panggung dengan tatapan yang menantang, hingga akhirnya atraksi-atraksi unik yang dinanti-nantikan datang juga.

Malam itu pengunjung disajikan atraksi-atraksi yang sangat tidak lazim, namun mampu dilakukan oleh gadis-gadis Thai itu. Kami hanya bisa ternganga menyaksikan seorang gadis Thai mengeluarkan benda seperti tali yang panjang dari salah satu bagian tubuhnya, tali yang terbuat dari kertas berwarna-warni yang dirangkai. Kami semakin takjub ketika seorang gadis lainnya mengeluarkan begitu banyak silet dari anggota tubuhnya itu, benda tipis yang sangat tajam, lalu dia menulis di atas selembar kertas bukan dengan tangannya, tetapi dengan menggunakan anggota tubuhnya itu. Gadis berikutnya lebih gila lagi, dia mampu menghisap dua batang rokok sekaligus, bukan dengan mulutnya, tetapi dengan anggota tubuhnya yang satu itu, hingga akhirnya yang paling menegangkan adalah ketika dia mampu membuka beberapa botol minuman coca-cola dengan menggunakan anggota tubuhnya yang satu itu!

Aku dan sebagian besar pengunjung hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan semua itu. Sebuah atraksi yang sangat tidak masuk diakal, namun bisa dilakukan oleh gadis-gadis Thai yang saya yakin bukan perempuan biasa, setidaknya dia mempunyai ilmu tenaga dalam atau supranatural.

Meski takjub oleh atraksi-atraksi yang ditampilkan oleh gadis-gadis Thai itu, aku masih sempat mengenali salah satu dari mereka. Gadis Thai yang mampu menulis di atas selembar kertas dengan menggunakan anggota tubuhnya itu adalah Samila, wajahnya sangat mirip dengan Leni. Begitu pertunjukan selesai, aku buru-buru meminta Jhezmaair untuk segera mendatangi pemilik pub dan mem-booking Samila malam itu, berapapun akan aku bayar. Tidak berapa lama kemudian, Jhezmaair datang dan memberitahu kalau germonya itu meminta 5.000 baht. Aku langsung menyetujuinya, meski menurut Jhezmaair, harga segitu terlalu mahal.

Begitulah, malam itu aku berhasil membawanya keluar dari tempat maksiat itu, meski sesungguhnya dia masih punya jadwal show sekali kali lagi malam itu. Aku membawanya ke hotel tempatku menginap. Setelah Jhezmaair berpamitan pulang, aku membawa gadis itu ke dalam kamarku. Dia menggandengku laiknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, meski sesungguhnya kami belum saling mengenal.

Setibanya di dalam kamar, dia langsung duduk di atas tempat tidurku. Aku duduk di atas kursi dan menghadap ke arahnya. Aku menatap wajahnya yang cantik, dia tersenyum dan tertunduk malu. Aku teringat pada Yanti, mantan kekasihku dulu. Wajahnya memang mirip dengan kekasihku yang lebih memilih untuk menikah dengan seorang duda ketimbang dengan aku yang katanya plin-plan dan waktu itu belum siap secara materi.

Aku mengeluarkan kamus mungil bahasa Thai dari dalam kantongku, mencari dan memastikan kata-kata yang ingin aku ucapkan padanya. Aku sempat melirik dan melihat dia tersenyum.

“Sa-bai dee mai?” tanyaku menanyakan keadaannya.

“Sa-bai dee krap, laa ou kun la,” jawabnya, lalu balik bertanya mengenai keadaanku.

Aku mengangguk, lalu menanyakan namanya, “Kun cheu a-rai?”

“Di-chan cheu Samila,” jawabnya sambil tersenyum manis, membalas tatapanku.

“Pom cheu Amir. Pom mah jahk bra-tet Malaysia,” balasku memperkenalkan diriku sebagai Amir dari Malaysia agar dia tidak curiga. Dia mengangguk tersenyum.

“Kun mah tee nee pak porn reu blow?” tanyanya sambil menebak kalau aku datang ke situ untuk berlibur. Aku mengangguk.

Dia lalu bertanya apakah aku senang berada di situ. “Chorp tee nee mai?”

Aku langsung mengangguk, “chorp tee nee mahk.”

Aku menatap wajahnya lagi, aku semakin yakin, wanita yang mengaku bernama Samila ini adalah Leni. Aku pernah melihatnya sekali ketika aku mengunjungi Bambang di kantor pusat Bank Anda waktu itu. Bambang memberitahuku kalau dia memang populer di kantornya, selain karena kecantikannya, juga karena kesupelannya dalam pergaulan.

“Soo ay...” kataku spontan memuji kecantikannya.

Dia tersenyum. “Korp kun krap, terima kasih.”

Dia menghampiriku dan langsung duduk di atas pangkuanku, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merasa jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Seperti inikah gadis Thai, yang konon awalnya malu-malu, namun setelah itu sangat agresif.

“Kamu boleh cakap Melayu?” tanyaku dengan bahasa Melayu.

“Iyelah, saye orang Pattani, orang Pattani banyaklah yang boleh cakap Melayu,” jawabnya dengan bahasa Melayu.

“Kenapa kamu boleh kerja macam ni?” tanyaku.

“Ceritenya panjang sangat, Bang. Saye terpakse melakukan macam ni. Saye tersilap masuk perangkap mafia trafficking,” jawabnya sambil tetap memelukku.

“Kalaulah boleh, saya mahu bawa kamu keluar dari sini. Mahu, tak?”

Samila menatap wajahku dalam-dalam, dia tersenyum haru. “Tak lah, Bang, terima kasih.”

Samila lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik lembut, “Joop chan teut.” Dia menyuruhku menciumnya.

Oh! aku benar-benar bingung. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku tidak munafik, aku tergoda pada kecantikan dan kelembutannya. Namun aku teringat pada Via, istriku. Aku sudah mengkhianatinya, tapi aku tidak punya cara lain saat ini. Aku berjanji dalam hati, setelah tugasku selesai, aku akan segera kembali padanya.

“Samila mirip dengan seseorang yang pernah saya kenal,” kataku.

Samila tidak memperdulikan kalimatku barusan, dia terus memeluk dan menggodaku. “daa chan drong nee.”

“Kamu bukan Samila, tapi Leni, kan?” tanyaku langsung.

Samila tiba-tiba melepaskan pelukannya, aku melihat keterkejutan dan kebingungan di wajahnya.

Aku memegang kedua lengannya. “Aku datang ke sini untuk mengajakmu pulang ke Jakarta.”

Samila menggeleng, dia mulai panik. “Tak lah! saye bukan Leni, saye Samila.”

“Aku yakin kamu adalah Leni! Bambang tidak bersalah, dia butuh bantuanmu untuk memberikan kesaksian, please!” desakku.

Samila semakin panik. Dia langsung melepas cengkramanku dan bangkit dari pangkuanku, lalu berlari menuju pintu kamar. Aku mencoba menahannya, namun gerakannya sangat cepat. Dalam hitungan detik, dia berhasil meloloskan diri dan berlari keluar kamar. Aku mengejarnya.

“Leni!” teriakku.

Dia berhasil masuk ke dalam lift dan menutup pintunya. Aku tertinggal. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju tangga darurat, dan menuruni tangga secepat mungkin.

Setibanya di lobi, aku beruntung masih sempat melihat dia berlari keluar hotel. Aku langsung mengejarnya. Hujan tidak menghalangi dia untuk terus berlari, aku mengikutinya berlari hingga berbelok arah ke Jalan Thammanun Withi, lalu ke Jalan Niphat Uthit 3. Melihat aku semakin dekat, dia semakin panik hingga menabrak orang dan terjatuh. Beruntung bagiku, aku berhasil menjangkaunya. Aku langsung memeluknya dari belakang dan membantunya bangkit.

“Jangan takut, Leni. Aku akan membawamu keluar dari sini dengan aman, kami juga akan melindungi kamu dari orang-orangnya Zulkarnaen ketika tiba di Jakarta nanti!”

“Saya bukan Leni! Saya tak paham cakap kau!” elaknya lagi.

Tanpa kuduga, tiba-tiba dia menggigit lenganku, aku terpaksa melepaskan pelukanku. Aku meringis kesakitan, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur lagi. Aku mengejarnya lagi. Dia berlari menyeberang Jalan Niphat Uthit 3 menuju Jalan Chi Uthit, lalu memasuki gang yang sempit dan gelap.

Aku berlari mengejarnya memasuki gang itu, namun aku terlambat, dia sudah menghilang. Aku mencari-cari, namun tidak ada siapa-siapa di situ, hanya ada seekor anjing yang terus menggonggong. Sebelum anjing itu menerkamku, aku harus segera pergi dari situ. Sial bagiku, aku telah kehilangan jejaknya. Aku lalu menelpon Jhezmaair.

Setibanya di kamar hotel, aku menemukan tasnya yang tertinggal di atas tempat tidur. Aku mengeluarkan semua isi tasnya dengan maksud mencari identitasnya, namun aku hanya menemukan beberapa lembar uang ratusan baht, rokok mild, bedak, lipstik, sebungkus tissue, celana dalam, dan kondom, aku tidak menemukan apapun yang berhubungan dengan Leni.

Keesokan harinya, aku dan Jhezmaair mendatangi Virgin Pub untuk mencarinya. Namun di luar dugaan kami berdua, kami tidak menemukannya lagi di situ, bahkan pemilik pub dan gadis-gadis Thai lainnya mengaku tidak mengenal gadis yang bernama Samila. Aku tetap tidak bisa mempercayai kebohongan mereka itu, namun kami tidak berdaya karena harus menghadapi belasan orang pria berbadan tegap yang mulai bersikap kasar. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, namun aku tidak akan berputus asa. Aku akan terus mencari gadis itu, kemanapun dia pergi. Jeu gan na, Samila!

Hat Yai, Songkhla, Thailand
in the begining of October 2008

(Cerita ini hanya fiktif atau rekaan, apabila ada kesamaan cerita, nama, atau tempat, maka itu hanya kebetulan semata)

7 komentar:

ISTORIE mengatakan...

Mudah mudahan misi Adnan akan tercapai.Percayalah when there is a will there always a way... : )

adnan mengatakan...

Thanks. By the way it's only a short story, fiction, not true story...:)

ISTORIE mengatakan...

Wow! the story is so realistic.The way you write,it is so beleiving you are really a great writer thumb up to you.And you are one of the blogger i really follow up everyday for interesting story.

Unknown mengatakan...

pak

Tak ada bahasa melayu loghat thai, kami berbahasa melayu loghat patani-kelantan/pantai timur bahkan boleh trace lagi ke kemboja/vietnam. Bangsa Thai hanyalah penjajah diwilayah kami.

adnan mengatakan...

thanks for comment and thanks too for your new info...:)

suatu saat saya mahu tulis story or fiction about saudaraku bangsa melayu di Thailand, pabila ada yang salah, pohon dikoreksi pak, thanks. Nice to know you. Salam buat semua saudaraku.

Unknown mengatakan...

pak adnan kami anak2 melayu patani menunggu dan boleh membantu sekiranya pak adnan ingin maklumat tentang melayu patani.
Saudara wad,
terima kaseh keran membetulkan maklumat.

adnan mengatakan...

iya, I need material/maklumat tentang melayu patani. alamat e-mail?