Selasa, 22 Juli 2008

Menjemput Cinta


Papua, ini aku kembali. Aku kembali karena aku cinta. Cinta pada tanahmu yang subur. Cinta pada seseorang yang pernah membuka pintu hatiku, meski itu luka. Tapi apa perduliku, karena kami masih punya cinta.

“Ya, kami punya cinta. Cinta yang membimbing kami untuk saling kasih-mengasihi, sayang-menyayangi,” gumamku dalam sunyi.

Itu kalimat yang selalu kami ucapkan, aku dan Yohana Wilhelmina, putri seorang petani miskin dari suku Sentani. Mereka selalu menertawakan dan mencelaku hanya karena Yohana orang marege.

Tarada lagi kah perempuan pendatang yang cantik, sampai ko pilih dia?” ejek seorang temanku Udin, sinis.

Aku dianggap aneh oleh mereka. Si Udin tidak pernah tertarik pada Bertha karena wanita cantik itu orang Manado, Si Tejo tidak jadi mendekati Vera karena ternyata dia orang Padang, dan Si Lilis menolak Togar mentah-mentah karena dia orang Batak. Sedangkan aku… Aku justru jatuh cinta pada seorang perempuan pribumi berkulit hitam dan berambut keriting. Meski perempuanku itu manis dan baik hati, mereka tetap tidak bisa menerima keakraban kami. Kenapa? Karena kami berbeda!

Duh! Betapa sempitnya dunia ini. Kami seperti hidup dalam sunyi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang selalu bangga dengan suku dan warna kulitnya. Orang-orang yang tidak pernah menghargai perbedaan sebagai anugerah. Hitler yang rasis itu memang sudah mati terhimpit bumi, akan tetapi ruh rasismenya masih bersemayam di hati orang-orang yang picik. Dia selalu ada di sekitar kita. Dia bisa jadi adalah teman kita, tetangga kita, bahkan saudara dan orang tua kita sendiri.

*****

Aku masih duduk termenung di atas anjungan kapal yang membawaku kembali ke tanah kelahiranku, Papua. Hilir mudik penumpang sibuk dengan barang bawaannya. Mereka berebut untuk mendapatkan tempat di dekat tangga turun, sementara aku masih larut dalam lamunan.

Kota di teluk yang indah. Kota kecil yang mulai dihiasi oleh gedung-gedung tinggi, di sebuah lembah yang teduh karena dilindungi oleh pegunungan di sekitarnya. Kota yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik yang membentang luas. Konon, puluhan tahun yang lalu, nenek moyangku yang gagah berani itu berlayar dan bersauh di kota ini. Mencari penghidupan baru yang menjanjikan. Kota yang sejak jaman kolonial sering berganti nama. Orang Belanda menamainya Hollandia, sebelum sempat diganti menjadi Sukarnopura, dan terakhir Jayapura. Aku mencintai kota ini. Setelah berlayar tujuh hari, perahu besi yang membawa kami dari Tanah Jawa akhirnya merapat di dermaga Pelabuhan Jayapura.

Aku berlari menuruni tangga kapal. Aku tidak sabar lagi untuk menginjak tanah Papua yang telah lama aku tinggalkan. Kala itu aku pergi untuk mengobati sebuah luka, luka yang menggores pilu. Hingga pada suatu hari sang angin memberi kabar padaku, suaminya yang pemabuk itu sudah pergi dari kehidupannya. Laki-laki beringas yang selalu menyakitinya itu hilang entah kemana. Kini aku kembali dengan sejumput asa. Asa untuk bertemunya lagi.

“Bah! Ko tarausa mayari dia lagi sudah, dia su punya paitua,” kata Togar kesal ketika kuberi tahu keinginanku untuk menjumpai Yohana.

“Suaminya sudah pergi. Saya merindukan dia, lalu apakah salah kalau saya mengunjunginya?” tanyaku membela diri.

Sahabatku itu menghela napas, kesal. “Macam tarada perempuan lagi, kah?”

Aku tidak memperdulikannya, hari itu juga aku datang ke rumah Yohana. Kuketuk pintunya, dia nampak sangat terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya tidak seceria dulu lagi. Pucat-pasi, ada duka. Dia nampak sangat kurus dan tak terurus.

Aku menyapanya. “Apa kabar, Yohana?”

Dia tersenyum, aku menemukan senyumnya yang sudah lama hilang. “Baik… Ko bagaimana?”

“Seperti yang ko lihat, sa baik-baik saja to?” kataku membalas senyumannya.

Perempuan itu kemudian mempersilahkan aku masuk. Dia menjamuku dengan sepiring papeda dan ikan bakar. Aku lalu bercerita tentang kegiatanku di Jakarta, kuliah sambil bekerja. Dia juga bercerita tentang kegiatannya di gereja, meski sudah tidak seaktif dulu lagi. Waktunya lebih banyak tersita untuk mencari nafkah. Sejak kematian pace-nya, untuk menghidupi kedua anaknya dan mace-nya yang sudah renta dia berjualan sayur-mayur di Pasar Hamadi.

*****

Aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupnya, meski mungkin hanya untuk sementara. Kami menemukan kembali kebersamaan yang telah lama hilang. Pagi hari dengan sepeda motor, aku menjemput dan mengantarnya ke pasar. Setelah sayurnya terjual habis, aku akan datang lagi menjemput dan mengantarnya pulang. Setiba di rumah aku membantunya mengangkat air, lalu menjaga kedua anak balitanya. Kami bercengkrama sambil menunggu mamanya selesai memasak makan siang untuk kami. Setelah itu aku pamit pulang.

Waktu terus berlalu, aku sangat menikmatinya. Aku tidak menemukan sedikit pun perbedaan itu, yang aku temukan justru kebersamaan dan kebahagiaan. Sampai kemudian dipagi itu, aku mendapati begitu banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Suaminya yang telah pergi tanpa kabar tiga bulan lamanya itu telah kembali. Dalam keadaan mabuk, laki-laki itu datang dan memaksa untuk menyerahkan semua uang hasil penjualan sayur-mayurnya. Yohana melawan, mereka bertengkar hebat. Laki-laki itu dengan kalap memukul dan menendangnya seperti binatang. Perempuan malang itu meraung, menjerit pilu dalam pekatnya malam. Pagi harinya Pendeta Octavianus dan warga menemukannya tidak sadarkan diri, lalu membawanya ke rumah sakit. Dia koma.

Aku bergegas ke rumah sakit, aku harus segera bertemu dengannya. Aku berlari menyusuri koridor menuju ruang UGD dengan segenggam asa, asa untuknya agar bertahan. Apapun akan aku lakukan demi dia, hanya untuknya. Dalam kegusaranku, aku berdoa kepada Tuhan. Doa agar aku diberi kesempatan untuk membahagiakannya. Cukup sudah penderitaan yang dialaminya. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh dan menyakitinya lagi. Aku akan membawanya pergi jauh dari orang-orang itu, orang-orang yang menebar luka untuknya. Aku akan taburi hidupnya hanya dengan kebahagiaan dan tawa. Akan tetapi terlambat, aku terlambat.

“Yohana telah pergi meninggalkan kita semua dalam damai, dia tersenyum,” kata Pendeta Octavianus tersenyum getir.

Aku tercekat, dadaku sesak. Aku merasa sekujur tumbuhku lunglai, terduduk lemas tanpa daya. Perempuan manisku itu telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Aku teringat padanya, tatkala dia bernyanyi untukku di dekat api unggun. Suaranya mengalun merdu, dan aku mengiringinya dengan tifa. Sementara di balik dedaunan pohon yang rindang, sang purnama mengintip malu. Aku tersenyum, tapi mataku meneteskan air mata. Pedih. Oh, Tuhan… Adakah Kau dengar doaku? Doa untuk kebahagiaannya di alam sana. Alam yang tidak akan pernah mempersoalkan warna kulitnya. Alam yang damai dan kekal.

Port Numbay, November 28th, 2003

Daftar Istilah :

Suku Sentani = suku yang mendiami daerah di sekitar Danau Sentani

Marege = sebutan orang pendatang terhadap orang asli Papua

tarada = tidak ada

tarausa = tidak usah

mayari = menggoda

ko = kamu

sa = saya

su = sudah

to = kan

Papeda = makanan khas yang terbuat dari sagu

Pace = Bapak

Mace = Ibu

Paitua = suami

Tifa = alat tetabuhan tradisional Papua

2 komentar:

MAYA mengatakan...

saya percaya Pak Adnan memang sudah menulis dari kecil

cerita seperti kehidupan nyata
perpaduan kisah cinta (the true love) yang tidak mengenal masa dan sosial, dan realnya : kekerasan terhadap perempuan..

good

adnan mengatakan...

Thanks.

Saya juga menunggu cerpen Nak Maya. Idenya bisa dari puisi Maya yang dikembangin menjadi cerpen. Coba deh pasti bisa.

Oh, ya. Saya juga udah posting beberapa tulisan ke blog-ku yang baru: philosophiadnan.blogspot.com tapi belum ada yang kunjungin/comment...:(
So please visit it...:)Thanks.