Selasa, 15 Juli 2008

Trafficking


Malam yang muram terguyur hujan. Sri melangkah pelan menyusuri setapak tanah merah yang basah. Nyanyian petir bersahut-sahutan mengiringi pelariannya dalam gulita. Ia sudah sangat lelah berlari. Entah sudah berapa jarak yang ditempuhnya dengan berlari dan berlari bersama bayang-bayang histeria samseng. Sejak kabur dari rumah neraka Anti Lucy di Kuching, ia harus menempuh perjalanan yang jauh dan berliku menuju Tebedu demi menghindari kejaran para samseng yang tidak punya nurani itu.

Ia tidak punya apa-apa lagi untuk bertahan hidup, hanya setitik asa yang ia punya. Asa yang akan membawanya ke tanah air harapan, Entikong. Asa yang akan membawanya kembali ke kampung dan bertemu dengan putrinya, Permata. Ya, Permatalah yang membuatnya mampu untuk tetap bertahan hidup, meski tubuhnya sudah sangat lemah oleh deraan penyakit TBC yang dideritanya sejak dua bulan lalu. Wanita malang itu juga telah lama positif terinveksi HIV.

Sri terus melangkah, pelan. Kaus katun dan kain sarungnya yang telah kuyup tidak cukup untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menembus tulangnya, tubuhnya menggigil. Langkahnya terhenti di depan sebuah gubuk sederhana tak bertuan. Tidak ada siapa-siapa di situ, hanya selembar tikar usang yang menyambutnya.

Sri menaiki gubuk panggung setinggi setengah meter itu, kemudian disandarkannya punggungnya di tiang kayu yang kokoh menopang gubuk tak berdinding itu. Ia melipat tubuh cekingnya kuat-kuat. Untuk sesaat, perempuan itu terlindung dari derasnya guyuran hujan. Matanya yang cekung menatap pilu ke langit-langit gubuk, bibir tipisnya yang pucat bergetar seirama dengan gemerutuk gigi-geliginya. Tubuhnya masih menggigil menahan dingin. Tekadnya sudah bulat. Apapun yang terjadi, dia harus tiba di Tebedu malam ini juga. Tempat dimana dia akan melintasi border menuju Entikong, sebelum para samseng itu menangkap dan membunuhnya.

Ini pelariannya yang kedua kalinya. Mereka pasti tidak akan mengampuninya lagi kalau sampai tertangkap. Terbayang olehnya ketika itu, di pagi cerah ketika dia telah tiba di Tebedu setelah menumpang sebuah truk dari Kuching. Aparat tidak mengijinkannya untuk melintasi border tanpa dokumen apapun. Aparat kemudian menahannya sampai samseng itu datang menjemput dan menggelandangnya seperti binatang buruan. Perempuan itu dipukuli seperti maling dan dilempar masuk ke dalam pos, lalu diperkosa beramai-ramai oleh para samseng suruhan Anti Lucy. Pelarian yang konyol dan ia tidak ingin itu terulang lagi. Dia harus melintasi border tanpa sepengetahuan aparat. Ia lebih baik mati daripada harus kembali ke rumah neraka Anti Lucy.

*****

Dua tahun yang lalu, Sri adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik. Kebahagiaannya semakin lengkap ketika seorang bayi perempuan lahir dari rahimnya. Dia memberi nama anak itu Permata. Namun kebahagiaannya itu terenggut begitu saja, ketika dia memergoki suaminya sedang bersenda gurau dengan istri tetangganya di atas tempat tidur.

Sejak perceraiannya dengan suaminya yang tidak bertanggung jawab itu, Sri harus mencari nafkah untuk anak balitanya, ibunya yang sakit-sakitan, dan dua orang adiknya yang masih kecil-kecil. Ijazah SMA yang dimilikinya tidak cukup membantunya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dengan sejuta harapan, dia kemudian menerima tawaran dari Pak Sardi yang entah dimana kini. Tawaran untuk bekerja di Malaysia dengan gaji yang tinggi, 1.000 RM. Sri menerima tawaran itu, meski dia harus rela meninggalkan putrinya yang masih balita. Sri tidak sendirian, masih ada Devi, Rita, dan Isna. Pak Sardilah yang membawa mereka berempat sampai ke Pontianak, kemudian dari Jagoi Babang melintasi border ke Serikin tanpa paspor.

“Dari Jagoi Babang ke Malaysia cukuplah pakai PLB saja. Tak perlulah kau payah-payah pakai paspor macam di Entikong, tuh,” kata Pak Sardi waktu itu.

Wanita itu sempat ragu karena salah seorang tetangganya, Lilis, harus mengurus paspor dan visa sebelum berangkat ke Kuching.

Setibanya di Serikin dia dipertemukan dengan Rina, calo TKW yang sudah sukses di negeri jiran. Wanita itu sangat ramah dan baik pada mereka. Dari Serikin mereka kemudian menumpang kendaraan menuju Kuching. Setibanya di kota itu, mereka diinapkan di rumah kontrakan Rina di Jalan Datuk Amar. Selama di rumah itu mereka dilayani bak tamu hotel, kamar ber-AC, dan makanan sudah tersedia. Semua kebutuhan mereka terpenuhi, kecuali satu, mereka tidak diijinkan pergi jauh-jauh dari rumah. Satu-satunya tempat yang dapat mereka kunjungi hanyalah Pasar Kenyalang yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai pada suatu hari mereka kedatangan seorang wanita setengah baya yang kemudian dikenal sebagai Anti Lucy.

“Kenalkan, ini Anti Lucy. Kalian akan bekerja di rumahnya. Kalian akan menerima gaji 1.000 RM setiap bulan dan juga bonus tambahan kalau kerja kalian memuaskan!” kata Rina menjelaskan dengan penuh semangat.

Waktu itu mereka menyambutnya dengan senyuman bahagia. Dengan hanya menjadi pembantu rumah tangga, mereka akan memperoleh gaji sebesar itu. Terbayang oleh Sri berapa besar penghasilan yang akan diraihnya. Dia akan mengirimkan semua gajinya untuk membiayai kebutuhan Permata, Ibu, dan adik-adiknya. Sedangkan untuk kebutuhan hidupnya, cukuplah dari bonus-bonus yang diberikan oleh Anti Lucy.

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setibanya di rumah Anti Lucy yang mewah dan berpagar tinggi itu, barulah mereka tahu apa pekerjaan mereka yang sebenarnya dan bagaimana status mereka. Selama dua hari dua malam, mereka disekap dalam satu kamar yang pengap. Kenyamanan yang mereka dapatkan selama tinggal di rumah Rina tidak mereka rasakan lagi, yang ada hanya makanan seadanya dan ancaman dari para samseng suruhan Anti Lucy. Mereka diminta melayani setiap laki-laki yang datang ke tempat itu. Sebagai ganjaran penolakan mereka, mereka tidak diberi makan dan minum sama sekali, hanya makian dan pukulan dari para samseng.

“Budak tak tau diuntung kelian, nih! Kelian tau, tak? Kelian nih sudah dibeli mahal oleh Anti Lucy! 10.000 RM!” bentak salah seorang samseng yang mengaku juga berasal dari Indonesia.

Awalnya mereka kompak untuk menolak paksaan untuk menjadi pelacur, sampai kemudian satu per satu tubuh mereka lemah, tak berdaya, dan akhirnya menyerah. Menyerah untuk mempertahankan hidup. Demi hidup mereka terpaksa melayani para lelaki hidung belang itu. Janji-janji manis Pak Sardi dan Rina, tinggallah janji yang menguap ke udara dan sirna meninggalkan luka. Mereka tidak menerima sepeser pun uang seperti yang dijanjikan, yang ada hanyalah keterpaksaan untuk melayani tamu-tamu Anti Lucy. Mereka dipaksa bekerja siang dan malam untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan Anti Lucy untuk mendapatkan mereka. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali luka, luka yang menggores perih, menyayat-nyayat, dan melepuh. Kepedihan yang membuat Devi mengalami stress berat dan akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa. Kepedihan yang membuat Isna nekat menusuk seorang apek-apek yang mengantarnya ke balai sato. Sedangkan Rita memutuskan untuk tetap bertahan. Wanita cantik dan sintal itu, kelihatannya mulai dapat menerima pekerjaan yang harus dijalaninya.

“Tidak ada pilihan lain, Sri. Kita lakukan saja perintahnya. Ini sudah resiko,” bujuk Rita.

Sri terisak. “Aku sudah tidak tahan lagi, Mbak. Kita kabur aja dari sini!”

Rita menggeleng. “Jangan nekat, Sri. Bagaimana kalau kita tertangkap? Kita bisa dibunuh oleh samseng-samseng itu!”

“Tapi, Mbak…”

Rita membelai rambutnya. “Sudahlah… Kita jalani aja. Anti Lucy kan sudah berjanji akan membebaskan kita kalau semua biaya yang dia keluarkan untuk kita sudah terbayar semua? Kita akan diberi gaji 1.000 RM dan bonus!”

*****

Sri menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya yang pucat. Dia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi pada dirinya, terpuruk di gubuk itu dalam sunyi, dingin, takut, dan keletihan yang mendera. Sesaat Sri memandangi selembar foto anaknya. Foto itu satunya-satunya miliknya yang masih tersisa, selalu menemani dan menghibur kesedihan dan kerinduannya. Gadis kecilnya itu nampak tersenyum, manis sekali.

Perempuan malang itu sedang memejamkan kedua cekung kelopak matanya, ketika gendang telinganya bergetar. Terdengar suara beberapa orang laki-laki di tengah ceracah hujan yang masih mengguyur. Sri yakin itu suara para samseng yang mencarinya. Suara itu semakin dekat, menyeruak di pekatnya malam. Sebelum terlambat, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Sri bergegas meninggalkan gubuk itu. Mengendap-endap di antara semak-belukar.

Sri menyandarkan punggungnya di sebuah pohon, tubuhnya terasa sudah sangat capai dan lemah setelah berlari menghindari kejaran para samseng. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, bahkan untuk sekedar menyeret tubuhnya barang sejengkal pun dia sudah tak sanggup lagi. Akan tetapi hatinya lega kini. Dia sangat yakin saat ini telah berada di Entikong, wilayah Republik Indonesia. Dia telah berhasil melintasi border Tebedu, para samseng itu tidak akan menemukannya lagi. Kini Sri bisa tersenyum, terbayang wajah lucu Permata di pelupuk kedua bola matanya yang mulai terasa sangat berat. Dadanya terasa sesak. Perlahan dikatupkan kedua kelopak matanya, lalu dia tersenyum dalam diam.

*****

Pagi yang cerah di sebuah kantin tidak jauh dari pos lintas batas Jagoi Babang – Serikin, Pak Sardi sedang asyik menyeruput secangkir kopi sambil membuka-buka lembaran Pontianak Post. Perhatiannya tertuju ke sebuah berita di halaman depan :

Ditemukan sesosok mayat wanita tak dikenal, tidak jauh dari perbatasan Entikong-Tebedu. Tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan di tubuh korban. Diyakini korban meninggal karena menderita sakit yang parah. Diduga korban adalah tenaga kerja ilegal yang menjadi korban trafficking dan melarikan diri dari Malaysia

Pak Sardi nampak masih tertegun, ketika seorang pria bersama tiga orang perempuan belia datang menghampirinya. Mereka kemudian berbincang sejenak, lalu beranjak dari kantin dan menaiki sebuah kendaraan carteran yang akan membawa mereka ke Kuching.

Dini hari, 29 Pebruari 2004

Adn@n

Dedikasi untuk para korban perdagangan perempuan dan anak

Daftar Istilah :

Trafficking = perdagangan, dalam kasus ini adalah perdagangan perempuan dan anak.

PLB = pos lintas batas/pas lintas batas

Border = perbatasan

Samseng = preman

RM = Ringgit Malaysia

Anti = tante

Negeri jiran = negeri tetangga

Apek-apek = laki-laki tua

Balai sato = rumah tahanan

3 komentar:

MAYA mengatakan...

Sad Ending??
banyak membaca ya?
saya tidak pernah tepat menebak ending cerpen bapak :(
saya senang membaca cerpen-cerpen Bapak.
saya akan jadi pembaca setia cerpen- cerpen bapak.(Insyallah)selagi saya ada waktu dan bisa online :)
Siapkan saja polling untuk menilai cerpen-cerpen bapak.
Saya tunggu cerpen bapak di majalah..

u'r short stories, not bad :)

adnan mengatakan...

Iya, itu kisah nyata 90%, saya kemas dalam bentuk cerpen. Masih ada yang lebih menyedihkan...:( nanti saya posting juga.

Saya juga menunggu cerpen karya Nak Maya lho...:)Hmmm.... kapan ya? Kayaknya bulan depan udah ada deh...:)

Iya, ntar saya buatin polling dari cerpen yang pertama sampai sekarang.

Cerpen saya tidak pernah dimuat di majalah, justru cerpen adik perempuan saya yang pernah dimuat di anita cemerlang. Sayangnya sekarang dia malah nggak sempat nulis lagi karena sibuk ngurusin penjahat, suami, dan anaknya balitanya...:(

Thanks a lot...:)

Mueim mengatakan...

betapa sedih si anak menanti kepulangan ibu.wah kejam nya manusia seperti Pak Sardi itu.makanya kita harus berwaspada dalam mencari pekerjaan.jgn bekerja secara illegal.
kerna setiap yang di larang akan mendapat balasan samada lambat atau cepat.

ambo ni tak reti tulis cerpen.