Senin, 30 Juni 2008

Jangan Biarkan Aku Mencintaimu

Namaku Riyanti. Teman-temanku biasanya memanggilku dengan Yanti, meski aku sendiri lebih suka dipanggil dengan Ri’ saja. Sebutan Yanti bagiku sudah terlalu pasaran. Usiaku 30 tahun, usia yang sudah cukup matang bagi seorang wanita karir. Sebagaimana umumnya wanita berbintang Pisces, kata teman-temanku, aku orangnya ramah, simpatik, dan ambisius. Namun aku juga sangat sensitif, keras hati, dan mudah terluka.

Banyak orang bilang aku ini terlalu cantik untuk hidup melajang seperti sekarang. Kata mereka, mataku indah, bening, dan bercahaya. Bibirku yang katanya seksi, murah senyum. Mereka juga sering memuji rambut hitamku yang lurus tergerai sampai ke punggung. Kulitku yang putih, bersih, dan mulus terawat juga sering menuai pujian. Dengan tinggi 165 sentimeter dan berat 50 kilogram yang selalu kujaga, postur tubuhku memang cukup ideal. Belum lagi dengan kebiasaanku tampil modis, semakin mengundang kekaguman terutama dari kaum pria.

Sebagai wanita tentu aku senang dengan semua pujian itu, walau kadang-kadang aku juga sering merasa risih dengan tatapan sebagian kaum pria yang memandangku lebih dari sekedar kekaguman. Godaan dari pria iseng juga sering aku alami, mungkin karena terlalu seringnya sampai-sampai aku sudah menganggapnya seperti angin lalu saja. Paling aku akan menanggapinya dengan senyum, lalu menghindar.

Beberapa diantaranya tentu berusaha mendekatiku, biasanya dengan mengajakku makan siang atau sekedar berbincang di waktu senggang. Sebagian diantaranya aku tanggapi dengan positif selama masih dalam batas-batas kewajaran. Sekedar teman bolehlah, tapi lebih dari itu, tidak. Aku masih cukup bahagia dengan kesendirianku. Beberapa diantaranya sebenarnya cukup menarik dan simpatik, akan tetapi bagiku semua laki-laki sama saja, brengsek!

Aku bekerja di salah satu perusahaan produsen minuman ringan multinasional. Dengan latar belakang pendidikan sarjana akuntansi, aku merasa sangat cocok dengan pekerjaanku yang sekarang. Aku sangat menikmatinya. Setelah dua tahun bekerja, kini aku menempati posisi Chief Accountant di perusahaan yang mempunyai omset ratusan milyar rupiah per tahun itu.

Aku mengawali rutinitas keseharianku pagi ini seperti biasa, tiba di kantor pukul delapan kurang. Seperti biasa pula, aku akan melewati ruang kerja Arif yang selalu datang lebih awal. Ruang kerjanya yang berjendela kaca membuatnya dapat terlihat dengan jelas. Biasanya, meski dia sedang sibuk dengan note book-nya, dia akan tetap menyempatkan diri untuk mengucapkan selamat pagi untukku atau paling tidak tersenyum padaku. Tapi kali ini tidak, dia tidak ada di ruangannya. Kursinya masih kosong dan note book-nya yang selalu dibawanya juga belum kelihatan nangkring di atas mejanya. Tumben, kemana dia?

Aku menghirup kesejukan di ruang kerjaku, lalu meraih berkas yang disiapkan stafku di atas meja. Setelah membolak-balik kertas kerjaku beberapa lama, entah mengapa aku tiba-tiba teringat dengan Arif. Aku lalu bergegas keluar dari ruangan, lalu berhenti tidak jauh dari ruang kerjanya. Aku berpura-pura membolak-balik koran pagi yang tergeletak di meja satpam sambil melirik ke ruangan berjendela kaca itu. Masih kosong, mejanya masih tertata rapi seperti tadi.

Aku jadi penasaran, tidak biasanya dia datang terlambat. Tapi, ah! Apa perduliku, memangnya dia siapa? Kami hanya sekantor dan pekerjaannya di bagian riset tidak ada hubungan langsung dengan tugas-tugasku di akunting. Dia sendiri masih baru di sini, baru empat bulan. Sebelumnya dia bekerja di luar negeri. Dia memang pria yang tampan, simpatik, dan sopan. Akan tetapi bagiku dia sama saja dengan pria-pria yang lain. Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Jadi, kok, aku jadi uring-uringan begini hanya karena dia terlambat masuk kantor?

Aku kembali masuk ke dalam ruang kerjaku, memulai aktivitas yang lumayan padat hari ini. Pagi ini aku harus menganalisa ledger yang disusun oleh stafku di layar komputer. Akan tetapi setelah sekian lama aku berusaha berkonsentrasi, aku tetap tidak mampu memfokuskan pikiranku pada pekerjaan. Entah mengapa aku jadi gelisah begini? Aku teringat lagi pada pria itu. Tanda tanya menari-nari dalam benakku. Kenapa dia terlambat masuk kantor? Bukankah selama ini dia sangat disiplin? Atau dia sakit? Atau mungkin dia ada urusan lain? Atau dia pindah kerja? Oh, tidak mungkin. Kalaupun dia memutuskan untuk pindah kerja, pasti aku akan tahu. Meski masih baru, dia cukup populer di kantor ini. Si Ria, Sri, dan Dian, karyawati-karyawati genit yang selama ini suka mencari perhatian padanya, tentu akan heboh. Lagipula dia kan belum lama di sini? Atau… Ah! Benar-benar menjengkelkan!

Aku bertanya-tanya, seberapa pentingkah dia sampai aku memikirkan ketidakhadirannya hari ini? Aku jadi kesal pada diriku sendiri. Apakah aku mulai tertarik padanya? Oh, tidak. Jangan sampai, deh! Aku berusaha berpikir positif. Aku menjadi seperti ini mungkin karena ketidakhadirannya adalah sesuatu hal yang di luar kebiasaan, jadi wajar kan kalau aku jadi bertanya-tanya? Hmm… Benar juga, pikirku. Jadi dia tidak perlu besar kepala kalau dia sampai tahu bahwa aku mencarinya.

Aku lalu bergegas keluar, lalu menghampiri salah seorang stafnya, Evi. Kelihatannya dia sedang santai.

“Hai, Vi? Lagi nyantai, nih?”

“Oh, nggak juga… Silahkan duduk, Mbak,” sambutnya ramah mempersilahkan aku duduk di dekatnya.

“Thanks… Pinjam, ya?” kataku sambil duduk di dekatnya, lalu meraih sebuah tabloid yang tergeletak di atas mejanya.

Aku lalu membolak-balik tabloid yang sudah kubaca dua hari yang lalu. Aku berpura-pura serius, sambil memikirkan rangkaian kalimat tanya yang harus aku sampaikan padanya agar tidak terkesan aku sedang mencari tahu keberadaan atasannya.

“Sepi-sepi aja, ya? Kemana si Ria? Biasanya pagi-pagi begini dia sudah ada di sini…” tanyaku memulai percakapan.

“Iya, Mbak… Mungkin lagi pada sibuk dengan pekerjaannya. Dikejar-kejar deadline kali,” jawab Evi agak serius.

Aku mengangguk-angguk paham. “Oh, gitu… Ngomong-ngomong bos kamu mana? Kok dari tadi nggak kelihatan? Tumben dia belum datang … Cuti, ya?”

“Nggak, Mbak. Pak Arif kan pindah ruangan ke belakang situ?” jawab Evi sambil menggeleng, lalu menoleh ke belakang.

Aku ikut menoleh ke ruangan yang sepengetahuanku masih kosong yang terletak persis di belakang kami. Astaga! Benar kata Evi, pria itu sedang duduk santai di ruangan barunya sambil memandangku tersenyum dari balik jendela kaca.

“Pak Arif tadi masuk kantor seperti biasa, Mbak. Beliau yang paling awal datang ke kantor ini,” jawab Evi tenang. “Memangnya kenapa, Mbak?”

“Oh, nggak… Aku…”

Kenapa aku jadi grogi begini, ya?

“Kok pindah? Kapan pindahnya?”

“Pindahannya kemarin sore, Mbak. Kata Pak Arif, dia lebih suka pindah ke belakang, lebih lega,” jawab Evi dengan polosnya.

Aku mengangguk-angguk. “Oh, begitu? Iya juga sih memang lebih lega…”

“Iya. Biar aku bisa lebih leluasa memandang setiap orang yang lewat di depan…” kata Arif tiba-tiba muncul di belakangku. Astaga! Aku tersentak.

Evi langsung bangkit dari tempat duduknya.

“Maaf, saya tinggal sebentar, mau ke belakang dulu. Silahkan duduk, Pak,” kata Evi mempersilahkan Arif duduk di kursinya.

Pria itu tidak menyianyiakan kesempatan, dia langsung duduk di dekatku dan menatapku penuh simpatik. Entah mengapa kali ini aku merasa agak sedikit gugup.

“Pagi ini kamu kelihatan agak santai,” katanya memulai percakapan.

“Oh, ya? Tahu dari mana?” kataku cuek sambil berpura-pura serius membaca tabloid di tanganku.

“Biasanya sampai jam segini kamu masih sibuk di ruang kerjamu, tapi aku perhatikan dari tadi kamu mondar-mandir aja.”

Sialan! Rupanya dia memperhatikan aku sejak pagi tadi. Jangan-jangan dia juga tahu kalau aku sedari tadi mencari-cari dia? Dia pasti melihatku ketika aku membolak-balik koran di meja satpam sambil melirik ke ruangan kerjanya yang lama, dia juga melihatku ketika aku mendatangi Evi di tempat ini. Duh! Mimpi aku semalam? Malu banget, deh!

“Mmm… Nggak juga. Kebetulan hari ini tidak begitu banyak yang harus aku kerjakan,” jawabku berusaha tetap tenang. Aku merasa mukaku memerah.

Pria itu tersenyum, lalu melirik jam tangannya. “Hampir jam duabelas. Aku punya usul, gimana kalau kita makan siang bareng di restoran tempat kita makan dulu? Aku sudah lama nggak ke sana. Kalau bisa, kita berdua aja…”

“Kenapa harus berdua aja?”

“Nggak apa-apa kan, sekali-sekali kita makan siang berdua?”

Aku terdiam sesaat. Ini yang kesekian kalinya dia mengajakku makan siang. Biasanya setiap mengajakku makan siang, aku selalu meminta Yuni menemaniku atau pernah juga Evi yang mendampingi bosnya itu. Aku tidak pernah mau menerima ajakannya makan siang berdua. Akan tetapi kali ini, entah mengapa, aku tak kuasa menolaknya. Lagi pula hanya makan siang kok, tidak lebih. Selama ini sikapnya cukup baik dan sopan, jadi tidak ada salahnya kalau aku memenuhi permintaannya kali ini. Ehemm...

*****

Setelah menyelesaikan hidangan makan siang, kami lalu berbincang santai. Pria itu lagi-lagi menatapku penuh simpatik. Mata yang teduh itu menatapku penuh arti, aku selalu tak kuasa membalas tatapan lembutnya itu.

Dia bercerita tentang masa kecilnya, kuliah, dan bekerja di luar negeri sampai kemudian dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Meski awalnya dia kelihatan agak pendiam dan serius, ternyata selera humornya cukup tinggi. Aku sering tertawa geli dengan guyonannya yang kocak. Dia juga pendengar yang baik. Kepribadiannya cukup menarik ternyata. Kami mulai akrab. Percakapan kami mengalir dengan lancar, sampai kemudian dia mulai menggodaku...

“Aku suka dengan kepribadian kamu yang mandiri. Kamu ramah, simpatik, cerdas dan pekerja keras. Menurutku, kamu memiliki semua unsur-unsur yang harus dimiliki oleh seorang wanita karir yang sukses,” katanya dengan mimik serius.

Aku tertawa. “Kamu tidak sedang menggombalku, kan? Aku tidak gede rasa, lho. Pujianmu berlebihan!”

Pria tampan itu tertawa ringan, renyah. “Aku memang tidak sedang memujimu apalagi menggombalmu, aku hanya menyampaikan apa yang aku ketahui tentang dirimu. Jadi kamu tidak perlu merasa ge'er.”

Dasar! Pria ini pandai berkelit juga rupanya.

*****

Langit beranjak malam. Bintang-gemintang memancarkan cahayanya penuh gemerlap, sementara sang rembulan mengintip malu dari balik dedaunan di ranting pohon yang rindang. Aku masih sendiri dalam keheningan sepiku, ketika deringan ponselku menghentakkan heningku. Itu dari Arif, pria yang sedang serius mendekatiku. Pria yang telah menyatakan cintanya padaku beberapa hari yang lalu setelah acara makan siang itu. Dia tetap gigih, meski aku selalu menghindar setiap dia meminta jawaban dariku.

Aku meraih ponselku, kudengar suaranya yang merdu menggelitik gendang telingaku. Dia memaksaku untuk menerima kunjungannya malam ini. Hanya malam ini, pintanya. Ya, sudah… Setelah yang kesekian kalinya aku selalu menolak kedatangannya, aku terpaksa mengijinkan dia datang malam ini. Tapi sebentar saja karena aku juga butuh istirahat.

Aku menerimanya di ruang tamu. Dua cangkir teh hangat dan setoples kacang mede menemani kami di ruangan yang hening itu. Dia tahu aku tidak begitu tulus menerima kedatangannya. Aku merasa belum waktunya untuk dia mengunjungiku, masih banyak hal yang belum perlu diketahuinya tentang diriku. Melihat keadaan yang kurang kondusif, dia berinisiatif untuk mencairkan suasana dengan memulai guyonan-guyonan segarnya. Dia juga bercerita tentang pengalaman masa kecilnya yang penuh kelucuan. Kami lalu tertawa bersama, riang.

Malam yang hening berubah menjadi keceriaan yang menggembirakan, sampai kemudian Tiara muncul dari balik pintu kamarnya menjedakan keceriaan kami. Bidadari kecilku itu menghampiriku dan merengek minta digendong. Aku mengangkatnya kepangkuanku, lalu kudekap dan kucium dia kuat-kuat. Dia meresponnya dengan menyeringai dan tertawa girang. Diusianya yang sudah tiga tahun, dia nampak semakin lucu dan menggemaskan. Arif, pemuda lajang itu, hanya terbengong menyaksikan kemesraan kami berdua, ibu dan anak.

Arif tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri kami berdua. “Siapa namanya, adik kecilku?”

“Namanya Tiara… Kasih salam dong sayang,” pintaku pada si kecilku itu.

Tiaraku hanya tersipu. Pria itu kemudian meraih tangan kanannya yang mungil, lalu menciumnya lembut.

Sebelum dia bertanya, aku merasa perlu untuk memberitahukannya lebih dahulu. Tiada yang perlu aku tutup-tutupi lagi kini. Malam ini aku harus menceritakan semuanya padanya. Biar dia tahu, siapa sebenarnya wanita yang dicintainya ini.

“Dia anakku… Beginilah aku. Aku tidak seperti yang kamu bayangkan sebelumnya. Aku bukan gadis lagi, aku ini janda, aku sudah punya anak!” kataku dengan penuh percaya diri. Hatiku plong sekarang.

Di luar dugaanku, pria itu tersenyum, lalu membelai rambut anakku. “Aku sudah tahu semuanya tentang dirimu, Yanti. Sebelum aku menyatakan perasaanku padamu, aku sudah tahu kau adalah seorang janda beranak satu.”

“Oh, ya? Kalau begitu untuk apa kamu mendekati aku?!” tantangku sambil menatap wajahnya. Baru kali ini aku berani menatap kedua bola mata teduhnya itu.

Pria itu menatapku sangat tajam, seperti ingin menusuk jantungku. “Karena aku mengagumimu, aku mencintaimu… Status perkawinanmu tidak mampu membendung rasa cintaku padamu, malah membuatku semakin mencintaimu…” Upps!

Rabu, 25 Juni 2008

Takdir

Nama anak itu Takdir. Matanya nampak sayu, terlukis kemuraman di wajah lugunya. Kemeja putih yang kusut dan celana panjang hitam yang lusuh membungkus tubuhnya yang ceking tak terurus. Sebuah tas kumal digantung di punggungnya. Usianya kira-kira 13 tahun. Sudah satu jam lebih dia duduk di sudut halte itu. Entah sudah berapa bus kota yang berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang di hadapannya. Dia tetap tidak bergeming di tempatnya. Sesekali dia memperhatikan setiap gerak-gerik orang di sekitarnya.

Sejam yang lalu ketika aku tiba di halte ini, aku sempat menegurnya. Aku menanyakan dari mana asalnya, mau kemana, dan siapa namanya. Dia membalas sapaanku dengan senyuman, lalu dia menyebutkan namanya, Takdir. Dia berasal dari Sukabumi, tujuannya adalah Jakarta, tepatnya di halte ini.

Ya, halte ini tujuannya. Menurut ceritanya, dia seorang anak yatim-piatu yang dipungut oleh seorang kakek sekitar 13 tahun yang lalu. Setelah sang kakek meninggal, dia tidak punya siapa-siapa lagi. Sebelum sang kakek meninggal, dia sempat memperoleh informasi penting dari sang kakek tentang asal-asul dirinya yang sebenarnya. Kata sang kakek almarhum, sekitar 13 tahun yang lalu dia menemukan seorang bayi laki-laki dengan ari-ari yang melilit di tubuhnya dan terbungkus kain sarung di sebuah halte di Tomang. Bayi itu kemudian diberi nama Takdir.

Itulah alasan mengapa sekarang dia berada di situ. Menanti sesuatu yang tidak pasti. Tepat di belakangnya terpampang kertas iklan yang tadi ditempelkannya. Nampak jelas tulisan spidol berwarna hitam :

"Dicari, Orang tua yang pernah meletakkan bayinya di sini 13 tahun yang lalu. Hubungi Takdir, di sini."

Kalimat yang menimbulkan gelak tawa atau setidaknya senyuman pada setiap orang yang membacanya, meski ada juga beberapa yang nampak trenyuh melihatnya. Namun anak itu tidak perduli pada tanggapan orang-orang di sekitarnya. Dia tetap duduk manis di situ. Dia sangat lugu. Dua orang pengamen nampak menghampirinya, menertawakan dan melecehkannya.

“Lu nyari orang tua lu, ya?” tanya salah seorang pengamen yang bertubuh ceking dan berambut gondrong sambil memeluk gitar bututnya.

“Iya,” jawab anak itu singkat.

Kedua pengamen itu terkekeh lagi. Pengamen yang satunya lagi yang mengenakan kacamata dan bergigi tongos mencibir dengan tatapan sinis. “Heh! Lu ngimpi, ya?”

Anak itu nampak bingung. “Ngimpi?”

“Iye, ngimpi! Mana ada orang yang mau ngakuin lu anaknya?!” kata si gondrong menyela. “Yang namanya orang… Kalo anaknya udah dibuang, ya nggak bakalan dicari lagi, dongok!”

“Iye! Itu artinya lu anak yang nggak diarepin… Anak haram!” tambah si tongos lagi dengan kasar.

“Saya bukan anak haram!” timpal anak itu emosi. Wajah lugunya yang muram memerah seperti buah tomat.

“Abis apa dong? Anak kuntilanak?!” balas si tongos itu lagi ikut-ikutan emosi.

“Udah, deh… Nggak usah mikirin yang nggak-nggak! Yang penting sekarang gimana caranya lu bisa cari duit buat makan di Jakarta. Biar bisa hidup,” kata si gondrong mencoba mencairkan suasana. Anak itu tak menghiraukannya. Dia diam saja.

“Iye! Mendingan lu ikut kita aja, ngamen!” bujuk si tongos sambil memicingkan matanya. Anak itu tetap diam.

“Lu udah makan, belum?” tanya si gondrong lagi.

Anak itu menggeleng.

“Nah! Kalo gitu, lu ikut kita aja ngamen. Ntar gua kasi duit buat makan. Kebeneran kita lagi butuh tambahan personil, nih… Mau nggak?”

Anak itu menggeleng lagi. “Saya di sini saja.”

“Bener nih, nggak mau?!” bujuk si tongos lagi setengah memaksa.

Anak itu lagi-lagi menggeleng.

“Ya, udah! Emangnya gue pikirin?!” kata si tongos nampak kesal.

Kedua pengamen itu kemudian pergi. Anak itu kembali duduk manis menikmati kesendiriannya dalam penantian di tengah hiruk-pikuk lalu-lalang bus kota dan kendaraan lain di hadapannya. Aku sendiri juga masih terpaku tidak jauh dari tempatnya duduk. Sebenarnya sedari tadi, aku juga ingin pergi setelah anak itu tidak menghiraukan saranku untuk melupakan angan-angannya bertemu kedua orang tuanya. Tapi entah mengapa, seperti ada sesuatu yang melarangku beranjak dari situ meninggalkan anak itu begitu saja. Nuraniku memaksaku untuk tinggal di situ, mencari cara bagaimana membantunya atau paling tidak mungkin melindunginya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kulirik jam tanganku, waktu telah menunjukkan Pukul 17:45. Hari sudah sore, menjelang magrib. Jalan di depanku seperti biasanya, nampak semakin macet. Aku kembali mendekati anak itu. Aku mencoba tersenyum padanya, dia menyambutku dengan tatapan curiga. Aku duduk di sampingnya.

“Hari sudah menjelang magrib, kenapa masih di sini?” kataku mulai membuka percakapan.

“Saya menunggu orang tua saya,” jawabnya lirih.

“Sebentar lagi waktunya shalat maghrib. Setelah shalat kamu kan bisa balik ke sini lagi? Kamu mau ikut shalat berjamaah?”

“Iya, Pak.”

“Di belakang gedung itu ada masjid. Kita shalat di situ aja,” kataku sambil menunjuk ke gedung di seberang jalan. Anak itu mengangguk.

“Yuk!” ajakku cepat.

Aku bangkit dari dudukku, anak itu mengikuti. Kami lalu menyeberang jalan menuju sebuah masjid. Tidak berapa lama kemudian azan magrib berkumandang, lalu kami shalat berjamaah dengan yang lainnya. Selesai shalat, aku perhatikan anak itu berdoa. Bibirnya nampak bergetar. Matanya yang cekung terkatup, lalu perlahan meneteskan air mata. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa besar harapan anak itu pada kedua orang tuanya yang entah dimana itu. Harapan seorang anak yang memimpikan bertemu kedua orang tuanya, harapan seorang anak yang merindu kasih sayang orang tuanya.

Aku teringat dengan Melati, putri semata wayangku di rumah. Usianya sudah enam tahun. Dia cantik, cerdas, dan periang. Aku dan istriku sangat memanjakannya. Banyak anak tentu akan senang dengan perhatian lebih dari kedua orang tuanya, akan tetapi tidak dengan Melati. Belakangan anak itu sering mengeluh.

“Papa… Melati bosan. Kenapa sih, Melati nggak punya adik atau kakak kayak teman-teman yang lain?”

“Sabar, ya, sayang. Tuhan belum mengabulkan doa kita,” bujukku selalu.

Aku kembali mendekati anak itu, siapa tahu kali ini dia mau mendengar nasehatku. “Takdir…”

Anak itu menoleh padaku, aku berusaha tersenyum manis padanya. Dia menyambutku dengan tatapan dingin, kemudian menundukkan wajahnya. Sepertinya dia sudah tahu maksudku.

“Kamu sudah makan?” tanyaku berusaha seramah mungkin.

Anak itu menggeleng. “Belum, Pak.”

“Sama, saya juga belum makan. Bagaimana kalau kita makan malam di warung dekat halte tadi, mau?”

Anak itu diam saja, seperti memikirkan sesuatu.

“Jangan khawatir. Aku yang bayar, gimana?”

Dia nampak ragu. “Mmm… Terima kasih. Saya tidak mau merepotkan Bapak,” katanya santun.

Aku tertawa ringan, berusaha mencairkan suasana. “Oh, tidak. Sekali-sekali, kan tidak apa? Sebenarnya istri saya sudah menyiapkan makan malam, tapi kayaknya tidak keburu. Perutku sudah keroncongan, nih. Kamu mau, kan, menemani aku makan?” kataku membujuknya.

Anak itu nampak masih ragu. Aku menepuk pundaknya, sok akrab.

“Ayolah… Kamu juga lapar, kan? Perut tidak boleh dibiarkan kosong, nanti masuk angin. Bagaimana kalau kamu sakit? Kamu tidak bisa mencari orang tuamu lagi, kan?”

Setelah berpikir sejenak, anak itu akhirnya mengangguk. Aku pun menghela napas lega, akhirnya anak itu mau juga. Sekarang aku mengajaknya makan, setelah itu aku akan membujuknya agar dia mau ikut ke rumahku. Aku yakin Istri dan anakku Melati akan menyambutnya riang.

Kami akhirnya makan malam bersama di sebuah warung kaki lima tidak jauh dari halte itu. Aku memesan dua porsi ayam goreng pecel. Sambil menikmati empuknya paha ayam di hadapanku, sesekali aku melirik anak itu. Meski awalnya malu-malu. Dia menikmati hidangan dihadapannya dengan sangat lahap. Benar dugaanku, anak itu kelaparan.

Takdir, anak yang malang. Entah berapa banyak anak-anak di kota metropolitan ini yang bernasib sepertinya. Tidak pernah merasakan belaian kasih sayang dari orang tuanya, bahkan tak pernah tahu dimana orang tuanya berada. Demi sesuap nasi mereka harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan, bahkan tidak jarang yang mempertaruhkan nyawa. Menjadi tukang semir sepatu, mengamen, kuli bangunan, kuli pelabuhan, pemulung, dan tidak sedikit yang menjadi gembel dan peminta-minta, bahkan menjadi pencopet dan penodong. Padahal sebagian dari mereka mungkin adalah anak-anak orang berada yang tidak diinginkan kelahirannya. Mereka anak-anak yang terbuang. Jauh di dalam lubuk hatinya, mereka pasti bertanya gerangan apa dosa mereka sampai kedua orang tua yang seharusnya menyayangi dan mengasihi mereka justru tega membuang dan melupakan mereka begitu saja? Mereka bagaikan sampah dan kotoran yang menjijikkan, dibuang dan dicampakkan. Kalaulah mereka ditanya, tentulah mereka tidak pernah berharap untuk dilahirkan di dunia ini. Hidup sebatang kara dalam kesendirian, kesunyian, keterasingan. Mereka hanyalah korban dari perbuatan kotor dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab yang mencoba menyembunyikan aib mereka dari hadapan orang banyak, padahal mereka tidak sadari ada Dzat yang Mahamengetahui dan selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Sang Maha Kuasa yang akan meminta pertanggung jawaban mereka di kemudian hari. Takdir dan anak-anak yang senasib dengannya mungkin tidak akan pernah tahu siapa dan dimana orang tuanya, akan tetapi kelak di hari pembalasan mereka pasti akan melihat siapa-siapa gerangan orang tua mereka yang tidak bertanggung jawab itu. Bersabarlah, Takdir. Kini aku ingin membawamu pulang. Aku ingin kau menjadi anakku, kakak bagi Melati.

Setelah makan kami kembali ke halte itu, kami lalu duduk berdampingan seperti sepasang ayah dan anak. Aku menatap anak itu, kali ini dia membalas tatapanku ceria.

“Terima kasih, Pak,” katanya tersenyum padaku.

“Sama-sama,” anggukku membalas senyumannya.

Sesaat kami terdiam dalam keramaian kendaraan yang terjebak macet di petang itu. Sekali lagi aku mencoba membujuknya.

“Sudah malam. Kamu mau ikut aku ke rumah?”

Anak itu menggeleng. “Tidak, saya di sini saja. Saya menunggu orang tua saya, Pak.”

Aku tertawa ringan. “Orang yang kamu tunggu sudah ada di sini sejak tadi.”

Dia menatapku heran. “Maksud Bapak?”

“Akulah orang tuamu yang kamu cari itu,” jawabku berusaha tetap tenang.

Anak itu nampak tersentak kaget. Dia menatapku tajam, sangat tajam seperti ingin menusuk wajahku.

“Akulah yang meletakkan kamu di sini 13 tahun yang lalu, sekarang aku ingin mengajakmu pulang.”

Anak itu masih menatapku tajam tanpa sepatah kata pun. Matanya melotot seperti ingin menelanku bulat-bulat.

“Percayalah! Akulah orang tuamu. Ikutlah denganku, nak. Ibu dan adikmu menunggumu di rumah!” kataku lagi mencoba meyakinkannya.

Anak itu tetap diam, mata cekungnya itu masih menatapku. Kedua bola matanya berkaca-kaca, berkilauan memancarkan cahaya.

Aku balas menatap wajahnya lekat-lekat. “Apa kamu tidak percaya aku adalah ayahmu? Coba lihatlah mukaku, sangat mirip dengan mukamu! Kenapa? Karena kamu darah dagingku, anak kandungku!”

Anak itu tetap menatapku, mukanya merah merona seperti api. Aku mendengar gemerutuk gigi-geliginya.

“Aku akui, aku memang salah. Waktu itu kami belum siap untuk menikah dan punya anak. Aku masih menganggur, sedangkan ibumu… Ibumu masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Kami sangat menyesali perbuatan kami dulu. Sekarang, mau kah kamu memaafkan kami dan kembali tinggal bersama kami?”

Tiba-tiba anak itu bangkit dari duduknya. Kini aku melihat neraka di wajahnya, api yang berkobar-kobar. Dia melangkah mundur, mencoba menjauh dariku. Aku masih membalas tatapannya, mengawasinya.

Secara tiba-tiba anak itu berteriak. “Bohong! Kamu pembohong!” tudingnya histeria. Aku tersentak kaget.

“Aku ayahmu, nak!” ibaku dengan suara bergetar.

“Bohong! Kalau kamu ayah saya, kenapa kamu tega membuang saya seperti sampah?!” teriaknya membahana.

Aku segera bangkit dari dudukku, mencoba mendekatinya. Anak itu melangkah mundur seperti bersiap-siap untuk lari.

Aku mengulurkan tanganku penuh harap. ”Kembalilah anakku… Kembalilah!”

Aku tak tahu kenapa. Aku seperti larut dalam sandiwara yang aku karang sendiri. Aku berpura-pura mengaku sebagai ayahnya dengan harapan dia mau mempercayaiku. Aku ingin menjadi ayahnya. Akan tetapi kini, aku seperti menjadi ayahnya yang sesungguhnya. Ayah yang telah membuangnya dulu, membuangnya seperti kotoran yang menjijikkan. Kini aku telah menyesali segala perbuatanku dulu, aku ingin mengambil kembali anak yang dulu aku anggap aib itu. Akan tetapi kenapa dia tidak mempercayaiku? Apakah karena aktingku kurang sempurna, kurang menyentuh? Ataukah karena sebab lain?

Aku kembali mencoba meraih tangannya. Sebelum dia terlanjur kabur, aku harus menghalanginya. Dengan sigap anak itu menepis tanganku dan mundur dua langkah menjaga jarak denganku.

“Tidak! Jangan mendekat!” ancamnya dengan murka. “Kamu bukan ayah saya! Kamu tega membuang anak kandungmu sendiri! Tidak punya perasaan! Kamu jahat! Jadi kamu tidak pantas menjadi orang tua saya! Pergi kamu! Pergi!”

Aku hanya diam terpaku menyaksikan anak itu berteriak-teriak histeris memakiku. Menghujat orang yang mengaku sebagai ayahnya ini. Aku menghela napas. Anak itu mempercayaiku sebagai ayahnya dan karena itu dia tidak mau mendekatiku lagi. Ketika aku mencoba mendekatinya lagi, anak itu malah kabur. Anak itu pergi, dia berlari sekencang-kencangnya meninggalkanku dalam kekecewaan. Dia merindukan kedua orang tuanya, kemudian dia mencari mereka, akan tetapi rupanya dia tidak siap untuk bertemu dengan kedua orang tuanya… Oh, bukan… Bukan tidak siap, pikirku… Tapi jijik!

Adn@n

Sabtu, 21 Juni 2008

Charlotte

Aargghhh!!! Good morning Amerika!” pekik Salman dari atas kasur empuknya di sebuah kamar Hotel The Lucerne. Hotel kelas satu yang terletak di West 79th Street, Manhattan, New York. Ini pagi pertamanya di kota itu. Betapa senangnya dia begitu menyadari saat ini dia telah berada di salah satu kota di negeri impiannya, Amerika. Negeri yang sebelumnya dia kenal hanya dari McDonald, KFC, Coca-cola, Hard Rock CafĂ©, dan film-film Hollywood. Negeri dengan sejuta keindahan metropolisnya, gedung-gedung pencakar langit, dan gemerlap surga dunianya. Negeri yang telah didambanya sejak usia belasan tahun.

Pemuda itu bangkit dari peraduannya, dia harus segera mandi dan bersiap-siap. Sebentar lagi seorang pemandu wisata akan datang menjemputnya. Sejak dari Jakarta, dia telah mewanti-wanti kepada travel agent untuk menyediakan seorang pemandu wisata lokal dan berjenis kelamin perempuan. Dia menolak seorang pria pemandu wisata dari Jakarta.

“Saya menginginkan pemandu wisata yang benar-benar paham dengan budaya dan sejarah setempat, seluk-beluk kotanya, termasuk setiap sudut-sudut dan gang-gang di New York,” katanya beralasan. Lalu kenapa memilih wanita?

“Wanita lebih enak diajak ngobrol dan lebih intens terhadap hal-hal yang detail,” kilahnya lagi waktu itu. Ehhmm…

Meski alasan sesungguhnya mungkin dia ingin mengenal lebih dekat seperti apa sih wanita bule itu atau mungkin juga dia ingin merasakan pelayanan yang lebih spesial dari wanita bule Amerika? Wallahualam. Yang jelas, Salman sang eksekutif muda dan tampan itu, terkenal flamboyan dan agak playboy. Nah!

Salman duduk di meja sudut restoran di lobi hotel sambil menikmati cola dan hotdog. Sesekali dia melirik jam tangan Rolex-nya. Limabelas menit lagi, wanita pemandu wisata itu akan datang menjemputnya. Namanya Charlotte Williams. Dari tuturan lembut suaranya, Salman sangat yakin wanita itu berparas cantik nan ramah. Terbayang olehnya pabila wanita bule itu akan menggadengnya laiknya sepasang kekasih yang tengah dibuai asmara.

Tiba-tiba lamunannya terusik manakala sebuah sapaan lembut terdengar begitu dekat dari tempat duduknya.

“Excuse me… Mr. Wijaya?“

Salman tercengang sesaat. Dihadapannya berdiri seorang wanita bule berparas cantik. Matanya coklatnya berbinar indah, tersungging senyuman manis dari bibir tipisnya. Wajahnya yang putih bersih kemerah-merahan dan hidungnya yang bangir menegaskan identitas kebuleannya.

“Mr. Salman Wijaya?” tanya wanita itu lagi dengan ramah.

Pemuda itu tersadar dari ketakjubannya, lalu mengangguk. “Ya.”

Wanita itu mengulurkan tangannya. “Charlotte Williams.”

Salman tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. “Charlotte?!”

Wanita itu mengangguk tersenyum. Salman bangkit dan menyambutnya cepat.

“Please,” kata Salman kemudian mempersilahkan wanita itu duduk.

Dia berusaha mengendalikan diri. Pemuda itu merasakan debar jantungnya berpacu dengan irama yang cepat. Entah kenapa. Mungkin dia terpesona oleh kecantikan wanita bule di hadapannya itu atau mungkin juga dia terkejut dengan busana yang dikenakan wanita itu. Penampilan wanita bule itu sangat tidak lazim dan kontras dengan wanita-wanita yang sejak tadi berlalu-lalang di hadapannya. Wanita bule itu mengenakan jilbab terusan berwarna biru.

Charlotte memulai percakapan. “Apa kabar?”

“Oh, baik!”

Salman nampak masih berusaha menenangkan dirinya, dia tidak menyangka sama sekali akan bertemu dengan wanita seperti yang sekarang ada di hadapannya. Salman menoleh ke arah bar tender dan memanggilnya, namun Charlotte buru-buru menahannya.

“Oh, no… Thanks.”

Pemuda itu mengurungkan niatnya, lalu menoleh heran. “Why?”

Wanita itu berpikir sejenak seperti sedang mencari kata demi kata. “Mmm… Saya sedang puasa.”

Salman mengernyitkan dahinya. “Puasa?”

Wanita itu mengangguk. “I am a moslem. Saya melaksanakan kewajiban dalam ajaran agama saya. Seorang muslim wajib berpuasa di bulan ramadhan.”

Salman tertawa. “Ini, kan Amerika?”

Charlotte mengangkat bahunya. “Apa bedanya? Amerika juga bumi Allah, kan?”

Salman menelan ludah. Dia pun seorang muslim, tapi tidak berpuasa. Dia teringat. Jangankan di Amerika, di Jakarta pun dia jarang berpuasa walaupun di bulan ramadhan. Agama baginya hanya sebagai identitas pribadi dan kegiatan-kegiatan keagamaan tidak lebih dari sekedar rutinitas ritual belaka. Namun saat ini di kota metropolitan ini, dia justru bertemu dengan seorang wanita yang menurutnya aneh. Di negara liberal yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan ini, masih ada juga orang yang memegang teguh ajaran agamanya. Sedangkan di negerinya yang katanya mayoritas Islam itu, dia mengenal begitu banyak wanita yang mengabaikan ajaran agamanya sendiri. Alih-alih berjilbab, mereka justru mempertontonkan pinggul dan pusarnya dengan bebas. Jadi… Sungguh aneh wanita ini, apalagi dia seorang bule.

Rupanya travel agent itu telah salah memilih pemandu wisata untuknya. Tidak adakah lagi wanita bule yang lebih menarik dari dia? Dimanakah wanita-wanita bule yang seksi dengan bikininya seperti di serial Bay Watch itu? Kenapa justru wanita yang tega menutupi seluruh keindahan tubuhnya itu yang disuruh kemari? Ah! Salman menggerutu dalam hatinya. Ingin rasanya dia segera menelpon dan meminta travel agent itu mengganti wanita itu dengan wanita lainnya yang lebih pantas menjadi pemandu wisatanya, akan tetapi dia mengurungkan niatnya. Masih banyak yang ingin diketahuinya dari wanita bule yang satu ini.

*****

Sore yang cerah di Central Park, taman pusat kota yang sejak dulu telah menjadi pusat pertemuan penghuni hutan beton New York dari berbagai bidang profesi, ras, dan bangsa. Pialang saham Wall Street, eksekutif muda, bankir Jerman, seniman Prancis, detektif swasta, dan banyak lagi. Mereka datang untuk sekedar duduk-duduk sore, melepas penat setelah seharian bekerja sambil menikmati hembusan angin dan lambaian dedaunan beragam pepohonan yang tumbuh di sekitar taman, kicauan burung-burung yang terbang bebas, dan air mancur yang menyembur dan menggumpal seperti bola-bola kristal. Tidak jauh dari tempat itu di sebuah depot minum, Salman dan Charlotte sedang duduk-duduk santai sambil menikmati secangkir Brazillian coffee.

“Sore yang indah,” kata Salman dengan wajah berseri.

“Taman ini tidak pernah sepi dari pengunjung dan taman ini secara resmi telah dijadikan salah satu obyek wisata andalan di kota ini,” kata Charlotte memberi penjelasan. Salman menyambutnya dengan anggukan.

“Kelihatannya Anda betah di sini, Anda menyukai taman ini?” tanya Charlotte lagi.

“Ya. Saya sangat menyukai suasana taman ini,” jawab Salman cepat.

“Apakah di Jakarta Anda juga suka mengunjungi taman seperti ini?” tanya Charlotte lagi.

“Di Jakarta ada beberapa taman seperti Monas, Suropati, dan Cut Meutia. Akan tetapi tidak seindah dan senyaman taman ini,” kata Salman menjelaskan.

“Oh, ya? Kenapa bisa begitu?” tanya Charlotte lagi, bingung.

“Taman di Jakarta penuh dengan polusi dan pedagang kaki lima,” jawab Salman singkat.

“Oh, sayang sekali,” sambut Charlotte prihatin.

Sesaat keduanya terdiam. Salman kemudian menatap Charlotte dalam-dalam. Wanita itu menundukkan wajahnya.

“Sorry… Kalau Anda tidak keberatan. Mmmh… Saya ingin tahu sudah berapa lama Anda memeluk Islam?” tanya Salman memulai topik baru. Dia sangat ingin mengetahui bagaimana wanita bule ini menjadi muslimah yang taat seperti sekarang ini. Wanita itu nampak tersenyum.

“Saya pertama kali mengenal Islam ketika saya berkunjung ke Indonesia sekitar tiga tahun yang lalu,” kata Charlotte memulai percakapan.

“Oh, ya? Apa yang membuat Anda tertarik dengan Islam?”

“Saya menemukan kedamaian dan ketentraman batin.”

“Ketentraman batin?”

“Ya, ketentraman batin yang selama ini saya cari. Dalam Islam saya menemukan hakikat hidup. Kenapa saya hidup dan untuk apa saya hidup,“ jawab Charlotte tenang.

Salman menatap tajam, mencoba menangkap makna di balik untaian kata-katanya. Wanita itu kemudian melirik jam tangannya. “Upps! Sudah waktunya sholat ashar. Maaf. Kalau Anda tidak keberatan, saya mau pamit sholat dulu,” katanya penuh harap.

“Oh, tentu. Silahkan!” jawab Salman cepat.

“Thank you. I will be back soon,” sambut Charlotte gembira dan segera bangkit dari tempat duduknya. Salman menatap kepergian wanita bule berjilbab itu dengan kagum.

“Kenapa saya hidup dan untuk apa saya hidup?” guman Salman lirih mengiringi kepergian wanita itu. Dia bertanya-tanya gerangan apa maksud dari kata-kata itu?

*****

Perjalanan yang sungguh melelahkan. Charlotte telah membawanya berkeliling New York. Mengunjungi Rockefeller Center, Times Square, Greenwich Village, dan Chinatown. Mereka juga sempat menyusuri lorong-lorong yang sempit dan temaram di kawasan kumuh di Bowery. Para gelandangan berebut bungkusan roti dan keju yang mereka bawa.

Salman menggeleng-gelengkan kepalanya, heran. “Kasihan, ya? Di kota metropolis ini ternyata masih ada juga gembel seperti di Jakarta.”

“Kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan tidak mengenal tempat. Di sini para biarawati dan pekerja sosial juga sering membagi-bagikan sandwich telur untuk para gelandangan dan anak-anak jalanan,” kata Charlotte menjelaskan. disambut Salman dengan anggukan paham.

Dalam perjalanan dengan kapal ferry menuju Patung Liberty dan Ellis Island, Salman kembali mencoba menanyakan maksud dari kata-kata Charlotte kemarin.

“Oh,ya… Kemarin sore, Anda mengatakan telah menemukan hakikat hidup dalam Islam. Kenapa Anda hidup dan untuk apa Anda hidup. So… Would you like to explain that?”

Charlotte tersenyum. “Is that important to you?”

“Ya. Boleh, kan, saya mengetahuinya lebih dalam? Itu kalau Anda tidak keberatan.”

Charlotte tertawa ringan, renyah. “Dalam ajaran Islam. Hidup adalah anugerah dan tanggung jawab.”

Salman mengernyitkan dahi. “Anugerah dan tanggung jawab?”

Charlotte mengangguk. “Allah yang memberi kita hidup dan kesehatan. Dan atas segala nikmat dan karunia-Nya itu, sudah sepantasnya kita bersyukur.”

“Ya, Anda benar. Kita memang harus mesyukuri segala nikmat dan karunia-Nya. And then… Dengan cara apa kita harus mensyukurinya?”

“Mensyukuri sesuatu tentu dilakukan dengan mengucapkan terima kasih, alhamdulillah. Akan tetapi bagi saya itu belumlah cukup. Kebahagiaan yang saya terima dari-Nya yang begitu banyak dan tak ada habisnya ini, juga telah menimbulkan kecintaan saya kepada-Nya. Dan sebagai wujud dari rasa syukur dan cinta kepada Allah, sudah sepantasnya apabila saya mengabdi kepada-Nya. Perasaan cintalah yang membimbing saya untuk selalu mengabdi kepada-Nya.”

“Mmmh… So sweet.” Salman nampak semakin tertarik dengan ucapan Charlotte. Wanita cantik itu mengkorelasikan pengabdian dengan cinta ilahiah. “Seperti apa wujud pengabdian kepada cinta itu?”

“Wujud dari kecintaan saya kepada Allah adalah dengan berserah diri kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh keikhlasan.”

Charlotte melanjutkan. “Hidup juga adalah tanggung jawab. Kita hidup di dunia yang fana ini tidak dengan cuma-cuma, akan tetapi dengan tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk alam semesta dan bekal di kehidupan akhirat kelak.”

Salman terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang menggelitiknya di balik untaian kata-kata filosofis dari wanita itu barusan. Mencintai adalah keinginan untuk selalu memberi dan mempersembahkan yang terbaik kepada yang kita dicintai.

*****

Malam telah menyambut Salman dalam sepi di kamar hotelnya. Pemuda itu duduk termenung menatap cakrawala yang cerah, kelap-kelip bintang-gemintang memancarkan cahayanya indah penuh pesona. Sebagian di antara bintang-bintang itu ada yang lebih terang dan nampak membentuk pola di langit. Mungkin itulah yang dinamakan rasi bintang. Sementara cahaya rembulan purnama mengintip malu dari balik Empire State Building.

Pemuda itu kembali teringat pada untaian kata-kata penuh makna dari bibir tipis wanita bule itu sore tadi. Cinta adalah pengabdian dan tanggung jawab. Wanita ini mencintai Tuhannya. Salman tidak tahu apakah dia punya cinta untuk Tuhan? Rasanya belum. Jangankan mencintai, kenalpun belum. Bukankah untuk mencintai sesuatu, kita harus mengenalnya terlebih dahulu? Dan dia ingin mengenalnya. Siapa itu Allah? Maukah wanita bule itu mengenalkannya? Ingin rasanya dia bertemu lagi dengan wanita itu, meski sore tadi mereka telah mengucapkan selamat tinggal. Besok pagi dia sudah harus check out dari hotel ini, seorang rekan Charlotte akan mengantarnya sampai ke bandara. Salman sudah harus angkat kaki dari tanah Amerika. Turnya telah berakhir. Akan tetapi liburannya terasa sangat singkat. Haruskah dia memperpanjang liburannya di kota ini? Rasanya tidak mungkin, rekan-rekan bisnisnya telah menunggu. Dia sudah berjanji untuk tiba di Jakarta Senin besok. Kalau tidak, semua proyek bisnisnya bisa berantakan. Dia terhimpit dalam dilema kini.

*****

Pagi yang cerah di Bandara Internasional John F. Kennedy. Dari balik jendela kabin pesawat yang akan membawanya mengangkasa, Salman menatap keluar. Hatinya gundah. Kenapa begitu cepat waktu berlalu? Rasanya baru kemarin dia tiba di kota ini, baru beberapa saat yang lalu dia terpesona dengan kemegahan kota ini. Langkahnya terasa amat berat, masih ada sesuatu yang tertinggal. Dia telah bertemu dan berbincang dengan Charlotte. Kelembutan suara dan keindahan untaian kata-kata wanita itu masih terngiang jelas. Senyuman manis dan keramahannya masih menari-nari dalam bayang. Jantungnya berdebar, berdebar, dan berdebar. Apakah dia telah jatuh cinta pada wanita itu? Entahlah. Sesaat Salman teringat pada bingkisan yang diberikan wanita itu kepadanya. Karena kesibukannya mengepak barang-barang bawaannya, dia sampai terlupa membuka isi bingkisan itu. Keingintahuannya seketika membuncah. Segera diraihnya bingkisan itu dari dalam tasnya, lalu dibukanya. Sebuah Al-Quran dan terjemahannya tersimpan rapi dalam kotak. Salman meraih secarik kertas kecil yang terselip di dalamnya, lalu membacanya.

“Iqra. Bacalah… Maka akan kau temukan kebenaran, kenapa kau hidup, untuk apa kau hidup, dan apa artinya cinta… Aku mengenal Islam ketika aku mengunjungi negerimu, sedangkan kau mengenal Islam setelah kau mengunjungi negeriku. Adakalanya untuk menjadi lebih baik kita memang dituntut untuk hijrah. Bukankah dakwah Rasulullah baru mendapat sambutan yang lebih baik justru setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah? Maka hijrahlah… Hijrahlah dari kehidupan yang tiada arti ke kehidupan yang berarti… Wassalam.”


Adn@n