Sabtu, 21 Juni 2008

Charlotte

Aargghhh!!! Good morning Amerika!” pekik Salman dari atas kasur empuknya di sebuah kamar Hotel The Lucerne. Hotel kelas satu yang terletak di West 79th Street, Manhattan, New York. Ini pagi pertamanya di kota itu. Betapa senangnya dia begitu menyadari saat ini dia telah berada di salah satu kota di negeri impiannya, Amerika. Negeri yang sebelumnya dia kenal hanya dari McDonald, KFC, Coca-cola, Hard Rock Café, dan film-film Hollywood. Negeri dengan sejuta keindahan metropolisnya, gedung-gedung pencakar langit, dan gemerlap surga dunianya. Negeri yang telah didambanya sejak usia belasan tahun.

Pemuda itu bangkit dari peraduannya, dia harus segera mandi dan bersiap-siap. Sebentar lagi seorang pemandu wisata akan datang menjemputnya. Sejak dari Jakarta, dia telah mewanti-wanti kepada travel agent untuk menyediakan seorang pemandu wisata lokal dan berjenis kelamin perempuan. Dia menolak seorang pria pemandu wisata dari Jakarta.

“Saya menginginkan pemandu wisata yang benar-benar paham dengan budaya dan sejarah setempat, seluk-beluk kotanya, termasuk setiap sudut-sudut dan gang-gang di New York,” katanya beralasan. Lalu kenapa memilih wanita?

“Wanita lebih enak diajak ngobrol dan lebih intens terhadap hal-hal yang detail,” kilahnya lagi waktu itu. Ehhmm…

Meski alasan sesungguhnya mungkin dia ingin mengenal lebih dekat seperti apa sih wanita bule itu atau mungkin juga dia ingin merasakan pelayanan yang lebih spesial dari wanita bule Amerika? Wallahualam. Yang jelas, Salman sang eksekutif muda dan tampan itu, terkenal flamboyan dan agak playboy. Nah!

Salman duduk di meja sudut restoran di lobi hotel sambil menikmati cola dan hotdog. Sesekali dia melirik jam tangan Rolex-nya. Limabelas menit lagi, wanita pemandu wisata itu akan datang menjemputnya. Namanya Charlotte Williams. Dari tuturan lembut suaranya, Salman sangat yakin wanita itu berparas cantik nan ramah. Terbayang olehnya pabila wanita bule itu akan menggadengnya laiknya sepasang kekasih yang tengah dibuai asmara.

Tiba-tiba lamunannya terusik manakala sebuah sapaan lembut terdengar begitu dekat dari tempat duduknya.

“Excuse me… Mr. Wijaya?“

Salman tercengang sesaat. Dihadapannya berdiri seorang wanita bule berparas cantik. Matanya coklatnya berbinar indah, tersungging senyuman manis dari bibir tipisnya. Wajahnya yang putih bersih kemerah-merahan dan hidungnya yang bangir menegaskan identitas kebuleannya.

“Mr. Salman Wijaya?” tanya wanita itu lagi dengan ramah.

Pemuda itu tersadar dari ketakjubannya, lalu mengangguk. “Ya.”

Wanita itu mengulurkan tangannya. “Charlotte Williams.”

Salman tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. “Charlotte?!”

Wanita itu mengangguk tersenyum. Salman bangkit dan menyambutnya cepat.

“Please,” kata Salman kemudian mempersilahkan wanita itu duduk.

Dia berusaha mengendalikan diri. Pemuda itu merasakan debar jantungnya berpacu dengan irama yang cepat. Entah kenapa. Mungkin dia terpesona oleh kecantikan wanita bule di hadapannya itu atau mungkin juga dia terkejut dengan busana yang dikenakan wanita itu. Penampilan wanita bule itu sangat tidak lazim dan kontras dengan wanita-wanita yang sejak tadi berlalu-lalang di hadapannya. Wanita bule itu mengenakan jilbab terusan berwarna biru.

Charlotte memulai percakapan. “Apa kabar?”

“Oh, baik!”

Salman nampak masih berusaha menenangkan dirinya, dia tidak menyangka sama sekali akan bertemu dengan wanita seperti yang sekarang ada di hadapannya. Salman menoleh ke arah bar tender dan memanggilnya, namun Charlotte buru-buru menahannya.

“Oh, no… Thanks.”

Pemuda itu mengurungkan niatnya, lalu menoleh heran. “Why?”

Wanita itu berpikir sejenak seperti sedang mencari kata demi kata. “Mmm… Saya sedang puasa.”

Salman mengernyitkan dahinya. “Puasa?”

Wanita itu mengangguk. “I am a moslem. Saya melaksanakan kewajiban dalam ajaran agama saya. Seorang muslim wajib berpuasa di bulan ramadhan.”

Salman tertawa. “Ini, kan Amerika?”

Charlotte mengangkat bahunya. “Apa bedanya? Amerika juga bumi Allah, kan?”

Salman menelan ludah. Dia pun seorang muslim, tapi tidak berpuasa. Dia teringat. Jangankan di Amerika, di Jakarta pun dia jarang berpuasa walaupun di bulan ramadhan. Agama baginya hanya sebagai identitas pribadi dan kegiatan-kegiatan keagamaan tidak lebih dari sekedar rutinitas ritual belaka. Namun saat ini di kota metropolitan ini, dia justru bertemu dengan seorang wanita yang menurutnya aneh. Di negara liberal yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan ini, masih ada juga orang yang memegang teguh ajaran agamanya. Sedangkan di negerinya yang katanya mayoritas Islam itu, dia mengenal begitu banyak wanita yang mengabaikan ajaran agamanya sendiri. Alih-alih berjilbab, mereka justru mempertontonkan pinggul dan pusarnya dengan bebas. Jadi… Sungguh aneh wanita ini, apalagi dia seorang bule.

Rupanya travel agent itu telah salah memilih pemandu wisata untuknya. Tidak adakah lagi wanita bule yang lebih menarik dari dia? Dimanakah wanita-wanita bule yang seksi dengan bikininya seperti di serial Bay Watch itu? Kenapa justru wanita yang tega menutupi seluruh keindahan tubuhnya itu yang disuruh kemari? Ah! Salman menggerutu dalam hatinya. Ingin rasanya dia segera menelpon dan meminta travel agent itu mengganti wanita itu dengan wanita lainnya yang lebih pantas menjadi pemandu wisatanya, akan tetapi dia mengurungkan niatnya. Masih banyak yang ingin diketahuinya dari wanita bule yang satu ini.

*****

Sore yang cerah di Central Park, taman pusat kota yang sejak dulu telah menjadi pusat pertemuan penghuni hutan beton New York dari berbagai bidang profesi, ras, dan bangsa. Pialang saham Wall Street, eksekutif muda, bankir Jerman, seniman Prancis, detektif swasta, dan banyak lagi. Mereka datang untuk sekedar duduk-duduk sore, melepas penat setelah seharian bekerja sambil menikmati hembusan angin dan lambaian dedaunan beragam pepohonan yang tumbuh di sekitar taman, kicauan burung-burung yang terbang bebas, dan air mancur yang menyembur dan menggumpal seperti bola-bola kristal. Tidak jauh dari tempat itu di sebuah depot minum, Salman dan Charlotte sedang duduk-duduk santai sambil menikmati secangkir Brazillian coffee.

“Sore yang indah,” kata Salman dengan wajah berseri.

“Taman ini tidak pernah sepi dari pengunjung dan taman ini secara resmi telah dijadikan salah satu obyek wisata andalan di kota ini,” kata Charlotte memberi penjelasan. Salman menyambutnya dengan anggukan.

“Kelihatannya Anda betah di sini, Anda menyukai taman ini?” tanya Charlotte lagi.

“Ya. Saya sangat menyukai suasana taman ini,” jawab Salman cepat.

“Apakah di Jakarta Anda juga suka mengunjungi taman seperti ini?” tanya Charlotte lagi.

“Di Jakarta ada beberapa taman seperti Monas, Suropati, dan Cut Meutia. Akan tetapi tidak seindah dan senyaman taman ini,” kata Salman menjelaskan.

“Oh, ya? Kenapa bisa begitu?” tanya Charlotte lagi, bingung.

“Taman di Jakarta penuh dengan polusi dan pedagang kaki lima,” jawab Salman singkat.

“Oh, sayang sekali,” sambut Charlotte prihatin.

Sesaat keduanya terdiam. Salman kemudian menatap Charlotte dalam-dalam. Wanita itu menundukkan wajahnya.

“Sorry… Kalau Anda tidak keberatan. Mmmh… Saya ingin tahu sudah berapa lama Anda memeluk Islam?” tanya Salman memulai topik baru. Dia sangat ingin mengetahui bagaimana wanita bule ini menjadi muslimah yang taat seperti sekarang ini. Wanita itu nampak tersenyum.

“Saya pertama kali mengenal Islam ketika saya berkunjung ke Indonesia sekitar tiga tahun yang lalu,” kata Charlotte memulai percakapan.

“Oh, ya? Apa yang membuat Anda tertarik dengan Islam?”

“Saya menemukan kedamaian dan ketentraman batin.”

“Ketentraman batin?”

“Ya, ketentraman batin yang selama ini saya cari. Dalam Islam saya menemukan hakikat hidup. Kenapa saya hidup dan untuk apa saya hidup,“ jawab Charlotte tenang.

Salman menatap tajam, mencoba menangkap makna di balik untaian kata-katanya. Wanita itu kemudian melirik jam tangannya. “Upps! Sudah waktunya sholat ashar. Maaf. Kalau Anda tidak keberatan, saya mau pamit sholat dulu,” katanya penuh harap.

“Oh, tentu. Silahkan!” jawab Salman cepat.

“Thank you. I will be back soon,” sambut Charlotte gembira dan segera bangkit dari tempat duduknya. Salman menatap kepergian wanita bule berjilbab itu dengan kagum.

“Kenapa saya hidup dan untuk apa saya hidup?” guman Salman lirih mengiringi kepergian wanita itu. Dia bertanya-tanya gerangan apa maksud dari kata-kata itu?

*****

Perjalanan yang sungguh melelahkan. Charlotte telah membawanya berkeliling New York. Mengunjungi Rockefeller Center, Times Square, Greenwich Village, dan Chinatown. Mereka juga sempat menyusuri lorong-lorong yang sempit dan temaram di kawasan kumuh di Bowery. Para gelandangan berebut bungkusan roti dan keju yang mereka bawa.

Salman menggeleng-gelengkan kepalanya, heran. “Kasihan, ya? Di kota metropolis ini ternyata masih ada juga gembel seperti di Jakarta.”

“Kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan tidak mengenal tempat. Di sini para biarawati dan pekerja sosial juga sering membagi-bagikan sandwich telur untuk para gelandangan dan anak-anak jalanan,” kata Charlotte menjelaskan. disambut Salman dengan anggukan paham.

Dalam perjalanan dengan kapal ferry menuju Patung Liberty dan Ellis Island, Salman kembali mencoba menanyakan maksud dari kata-kata Charlotte kemarin.

“Oh,ya… Kemarin sore, Anda mengatakan telah menemukan hakikat hidup dalam Islam. Kenapa Anda hidup dan untuk apa Anda hidup. So… Would you like to explain that?”

Charlotte tersenyum. “Is that important to you?”

“Ya. Boleh, kan, saya mengetahuinya lebih dalam? Itu kalau Anda tidak keberatan.”

Charlotte tertawa ringan, renyah. “Dalam ajaran Islam. Hidup adalah anugerah dan tanggung jawab.”

Salman mengernyitkan dahi. “Anugerah dan tanggung jawab?”

Charlotte mengangguk. “Allah yang memberi kita hidup dan kesehatan. Dan atas segala nikmat dan karunia-Nya itu, sudah sepantasnya kita bersyukur.”

“Ya, Anda benar. Kita memang harus mesyukuri segala nikmat dan karunia-Nya. And then… Dengan cara apa kita harus mensyukurinya?”

“Mensyukuri sesuatu tentu dilakukan dengan mengucapkan terima kasih, alhamdulillah. Akan tetapi bagi saya itu belumlah cukup. Kebahagiaan yang saya terima dari-Nya yang begitu banyak dan tak ada habisnya ini, juga telah menimbulkan kecintaan saya kepada-Nya. Dan sebagai wujud dari rasa syukur dan cinta kepada Allah, sudah sepantasnya apabila saya mengabdi kepada-Nya. Perasaan cintalah yang membimbing saya untuk selalu mengabdi kepada-Nya.”

“Mmmh… So sweet.” Salman nampak semakin tertarik dengan ucapan Charlotte. Wanita cantik itu mengkorelasikan pengabdian dengan cinta ilahiah. “Seperti apa wujud pengabdian kepada cinta itu?”

“Wujud dari kecintaan saya kepada Allah adalah dengan berserah diri kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh keikhlasan.”

Charlotte melanjutkan. “Hidup juga adalah tanggung jawab. Kita hidup di dunia yang fana ini tidak dengan cuma-cuma, akan tetapi dengan tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk alam semesta dan bekal di kehidupan akhirat kelak.”

Salman terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang menggelitiknya di balik untaian kata-kata filosofis dari wanita itu barusan. Mencintai adalah keinginan untuk selalu memberi dan mempersembahkan yang terbaik kepada yang kita dicintai.

*****

Malam telah menyambut Salman dalam sepi di kamar hotelnya. Pemuda itu duduk termenung menatap cakrawala yang cerah, kelap-kelip bintang-gemintang memancarkan cahayanya indah penuh pesona. Sebagian di antara bintang-bintang itu ada yang lebih terang dan nampak membentuk pola di langit. Mungkin itulah yang dinamakan rasi bintang. Sementara cahaya rembulan purnama mengintip malu dari balik Empire State Building.

Pemuda itu kembali teringat pada untaian kata-kata penuh makna dari bibir tipis wanita bule itu sore tadi. Cinta adalah pengabdian dan tanggung jawab. Wanita ini mencintai Tuhannya. Salman tidak tahu apakah dia punya cinta untuk Tuhan? Rasanya belum. Jangankan mencintai, kenalpun belum. Bukankah untuk mencintai sesuatu, kita harus mengenalnya terlebih dahulu? Dan dia ingin mengenalnya. Siapa itu Allah? Maukah wanita bule itu mengenalkannya? Ingin rasanya dia bertemu lagi dengan wanita itu, meski sore tadi mereka telah mengucapkan selamat tinggal. Besok pagi dia sudah harus check out dari hotel ini, seorang rekan Charlotte akan mengantarnya sampai ke bandara. Salman sudah harus angkat kaki dari tanah Amerika. Turnya telah berakhir. Akan tetapi liburannya terasa sangat singkat. Haruskah dia memperpanjang liburannya di kota ini? Rasanya tidak mungkin, rekan-rekan bisnisnya telah menunggu. Dia sudah berjanji untuk tiba di Jakarta Senin besok. Kalau tidak, semua proyek bisnisnya bisa berantakan. Dia terhimpit dalam dilema kini.

*****

Pagi yang cerah di Bandara Internasional John F. Kennedy. Dari balik jendela kabin pesawat yang akan membawanya mengangkasa, Salman menatap keluar. Hatinya gundah. Kenapa begitu cepat waktu berlalu? Rasanya baru kemarin dia tiba di kota ini, baru beberapa saat yang lalu dia terpesona dengan kemegahan kota ini. Langkahnya terasa amat berat, masih ada sesuatu yang tertinggal. Dia telah bertemu dan berbincang dengan Charlotte. Kelembutan suara dan keindahan untaian kata-kata wanita itu masih terngiang jelas. Senyuman manis dan keramahannya masih menari-nari dalam bayang. Jantungnya berdebar, berdebar, dan berdebar. Apakah dia telah jatuh cinta pada wanita itu? Entahlah. Sesaat Salman teringat pada bingkisan yang diberikan wanita itu kepadanya. Karena kesibukannya mengepak barang-barang bawaannya, dia sampai terlupa membuka isi bingkisan itu. Keingintahuannya seketika membuncah. Segera diraihnya bingkisan itu dari dalam tasnya, lalu dibukanya. Sebuah Al-Quran dan terjemahannya tersimpan rapi dalam kotak. Salman meraih secarik kertas kecil yang terselip di dalamnya, lalu membacanya.

“Iqra. Bacalah… Maka akan kau temukan kebenaran, kenapa kau hidup, untuk apa kau hidup, dan apa artinya cinta… Aku mengenal Islam ketika aku mengunjungi negerimu, sedangkan kau mengenal Islam setelah kau mengunjungi negeriku. Adakalanya untuk menjadi lebih baik kita memang dituntut untuk hijrah. Bukankah dakwah Rasulullah baru mendapat sambutan yang lebih baik justru setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah? Maka hijrahlah… Hijrahlah dari kehidupan yang tiada arti ke kehidupan yang berarti… Wassalam.”


Adn@n


4 komentar:

MAYA mengatakan...

Pak adnan yang menulis?
Karya yang indah...
bahasa yang bagus..
benar2 sudah terlatih..
(terus posting cepen2.. dan tulisannya ya pak)
Saya bisa belajar banyak dengan tulisan-tulisan bapak.
Saya ikut terbawa bersama ceritanya..
singkat tapi bermakna...
Membuat saya tersenyum .. tersenyum dengan rasa tenang..
..............................
saya temukan banyak pesan

Teruslah Berkarya.............

Ini baru namanya penulis...dan
sebuah karya tulis..

dan saya tau ... saya seorang pembaca segala bacaan.. dan menulis apa adanya.. (menulis diary..haha)

saya ada bakat untuk menulis seperti bapak ga ya?
saya akan coba...

adnan mengatakan...

Terima kasih atas apresiasinya. Iya ini salah satu cerpen saya. nanti akan saya posting lagi cerpen, novel, artikel, dan skenario saya juga. Saya sendiri masih terus belajar dan memperbaiki kekurangan.

Membaca tulisan Maya di blog, saya menilai Maya punya bakat untuk nulis, tinggal diasah dan ditingkatkan aja intensitasnya aja. semakin sering kita membaca dan menulis, maka akan semakin meningkat pula kualitas tulisan kita. Begichu..:) Dan satu lagi, jangan pernah malu atau sungkan untuk menunjukkan hasil karya Maya ke orang lain, biar bisa diapresiasi.

Tiap orang punya gaya yang berbeda dalam menulis, Maya jangan meniru gaya orang lain, tapi gunakan gaya sendiri. Inspirasi bisa datang kapan aja dan dari mana aja. Saya sendiri kebanyakan menulis berdasarkan pengalaman pribadi, jadi nulisnya lancar dan mengalir seperti air, kali. Okay, Ibu Maya, selamat menulis dan saya tunggu tulisan-tulisannya ya?

Wassalam.

Vina Revi mengatakan...

Setuju ama Maya!
Charlotte adalah suatu karya yang indah. Berapa lama tinggal di New York, Pak?

btw, saya juga punya seorang teman bule yang moslem saat tinggal di Boston dulu. Duh, dia super baik loh, Pak!

adnan mengatakan...

Hahaha... Saya bukan Salman yang jadi tokoh utama di cerpen itu, lho...:) Bu Vina pernah ke New York juga, ya? Saya belum pernah ke Boston, suatu saat pingin juga kalo ada duit...:)

Iya saya juga kagum pada muallaf2 bule, bahkan kadang malu, karena mereka bisa lebih saleh dibanding kita yang muslim sejak lahir...:( Saya bahkan pernah belajar tentang riba dari seorang ulama bule yang kebetulan menetap di New York.