Usulan Paket Stimulus Fiskal dalam APBN Tahun 2009 sebesar Rp 71,3 triliun yang diajukan oleh Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, akhirnya disetujui oleh DPR. Stimulus fiskal itu mendorong terjadinya peningkatan defisit anggaran dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 139,5 triliun atau meningkat dari 1 persen menjadi 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Dana Stimulus Fiskal sebesar Rp 56,3 triliun akan digunakan untuk penghematan pembayaran pajak (tax saving), melalui penurunan tarif Pajak Penghasilan badan dan pajak orang pribadi, dan menaikkan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) sebesar Rp 43 triliun, kemudian subsidi Pajak DTP (pajak ditanggung pemerintah) dan BM DTP (bea masuk ditanggung pemerintah) kepada dunia usaha dan RTS (rumah tangga sasaran), yang meliputi insentif PPN (pajak pertambahan nilai) untuk eksplorasi migas dan minyak goreng Rp 3,5 triliun, bea masuk barang baku dan barang modal Rp 2,5 triliun, Pajak Penghasilan Pasal 21 (karyawan) Rp 6,5 triliun, dan Pajak Penghasilan panas bumi Rp 800 miliar. Sedangkan dana tambahan stimulus sebesar Rp 15 triliun akan digunakan untuk subsidi dan belanja negara kepada dunia usaha dan lapangan kerja. Hal itu mencakup subsidi solar Rp 2,8 triliun, diskon tarif beban puncak listrik untuk industri Rp 1,4 triliun, tambahan belanja infrastruktur, KUR (kredit usaha rakyat) Rp 10,2 triliun serta perluasan PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) sebesar Rp 600 miliar.
Stimulus fiskal sebagai kebijakan counter cyclical ditujukan untuk menahan dampak krisis global, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 diharapkan dapat bertahan sekitar 4 sampai 5 persen. Dalam rapat yang dipimpin Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah dan DPR telah berkomitmen untuk melaksanakan stimulus fiskal pada kuartal I 2009 dengan persetujuan yang cepat dan perbaikan dalam proses pencairan anggaran. Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, meyakini kebijakan stimulus fiskal yang diajukan oleh pemerintah itu dapat meminimalisir dampak krisis ekonomi global terhadap Indonesia. Alasan pertimbangannya, sebagian besar dana stimulus tersebut akan dipakai untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat.
Paket stimulus fiskal pemerintah tersebut tentu mengingatkan kita pada paket stimulusnya Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama. Paket stimulus tersebut telah disetujui oleh Kongres dan Senat AS sebesar US$825 miliar. Dana sebesar US$550 miliar akan digunakan untuk menggerakkan investasi dan sebesar US$275 miliar untuk tax cut. Komponen lain yang termasuk dalam paket stimulus itu adalah US$90 miliar untuk infrastruktur, US$54 miliar untuk mendorong produksi energi yang dapat diperbaharui, US$87 miliar untuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, dan US$79 miliar untuk pendidikan.
Adapun kebijakan tax cut ala Obamanomic adalah pemotongan pajak bagi para buruh dan masyarakat berpenghasilan rendah di satu sisi, dan di sisi lain menaikkan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan di atas USD 250,000 pertahun.
Rencana Obama untuk memotong pajak bagi masyarakat menengah ke bawah dan menaikkan pajak bagi orang kaya tersebut telah sesuai dengan asas dan fungsi pajak yang sebenarnya. Salah satu asas pemungutan pajak dalam The Four Maxims-nya Adam Smith adalah asas equality atau asas keseimbangan dengan kemampuan, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Sedangkan salah satu fungsi pajak adalah fungsi redistribusi pendapatan, dimana pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan, sehingga dapat membuka kesempatan kerja dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat umum. Namun sangat disayangkan, pemerintah kita sendiri hanya menurunkan tarif pajak wajib pajak badan dan orang pribadi di satu sisi, namun di sisi lain tidak menaikkan tarif pajak bagi orang kaya seperti yang telah dilakukan oleh Obama.
Paket Stimulus Fiskal dalam APBN Tahun 2009 sebesar Rp 71,3 triliun atau 1,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) tersebut, di atas kertas memang terlihat sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang memang merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara. Namun berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, apa yang ada di atas kertas, ketika masuk ke dalam tataran implementasi, akan sangat sulit untuk dioptimalkan. Masalah inefisiensi dan tidak efektifnya pengelolaan anggaran akan timbul, seperti penyerapan anggaran belanja yang rendah, tidak tepat sasaran, pemborosan, dan tingginya potensi kebocoran. Akibatnya dana yang besar akan menguap begitu saja atau terbuang percuma karena tidak memberikan dampak yang berarti bagi perekonomian bangsa, kecuali mengutungkan segelintir pihak-pihak tertentu saja.
Padahal Undang-undang Dasar 1945, tepatnya Pasal 23, sudah mengamanatkan agar anggaran dan pendapatan belanja negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahkan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga sudah ditegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Sila kelima dari dasar negara kita Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Harapan kita tentunya, semoga kebijakan stimulus fiskal pemerintah yang telah disetujui oleh DPR tersebut benar-benar bisa dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta merefleksikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.