Aku baru saja terlelap, ketika deringan telepon di samping tempat tidurku hampir saja memecah gendang telingaku. Sambil memicingkan mata, aku meraih gagang telepon itu. Aku mendengar suara parau Francois di seberang
“Allo! Ahmad?”
“Hmm…”
“Comment vas tu?”
“Ca va, et toi?”
“Ca va. Tu viens avec nous au cinema, ce soir?”
Francois, sahabat kampusku, mengajakku menonton di bioskop malam ini.
“Non, je ne me sens pas bien depuis deux jours,” tolakku dengan alasan lagi tidak enak badan.
“Allez! Viens avec nous, quio!” pintanya setengah memaksa.
Seminggu yang lalu, dia memang sudah berjanji akan mengajak aku,
“Ce n’est pas possible, j’ai mal a la tete,” elakku lagi dengan alasan sakit kepala.
Francois terus memaksa, “Allez!”
“S’il vous plait, merci.”
Aku lalu menutup telepon. Aku tidak mungkin mengajak Daphne bergabung dengan mereka. Soalnya dua hari yang lalu, diam-diam aku dan Daphne sudah menyaksikan film itu lebih dahulu. Aku juga tidak mungkin memberitahu mereka kalau aku juga ada janji dengan Daphne malam ini,
*****
Malam itu aku menjemput Daphne di apartemennya di Rue George Pitard. Sudah setahun lebih, Daphne dan Cahyo tinggal bersama di apartemen itu. Sebenarnya Cahyo adalah pria yang sangat bertanggung jawab, namun Daphne selalu menolak setiap diajak menikah oleh Cahyo. Daphne selalu beralasan belum siap. Baginya pernikahan tidak lebih dari formalitas selembar kertas yang akan membelenggu hak-hak pribadinya. Hmm… Budaya barat dan timur memang berbeda.
“Hai!” sambutnya ramah.
Tidak seperti biasanya, malam ini dia mengenakan gaun terusan berwarna hitam. Dia kelihatan lebih cantik dan anggun malam ini, tidak tomboy seperti biasanya. Baru kali ini aku melihat dia memakai lipstick. Aku menghirup aroma perfumenya.
“Kita berangkat sekarang, mademoiselle?” tanyaku.
“Oui, monsieur!” angguknya cepat.
Setibanya di restaurant yang terletak
Aku dan Daphne mengangguk tersenyum, “Oui.”
Sang pelayan lalu mempersilahkan kami mengikutinya. “Par ici, Monsieur.”
Kami mengambil tempat di sudut ruangan yang agak temaram. Kami membuka daftar menu. Aku lalu memesan steak frites yaitu menu stik dan kentang goreng serta satu porsi ayam. Sedangkan Daphne hanya memesan poulet haricots yaitu menu ayam dan buncis. Untuk makanan pembuka, kami memilih salad. Untuk minumnya, seperti biasa aku lebih suka memilih air mineral saja, sesuai pesan ibuku. Aku menolak tawaran anggur
“Selamat ulang tahun, ya!” kataku sambil menyerahkan novel Dinding-nya Jean Paul Sartre dalam edisi Bahasa Indonesia yang kubungkus dengan rapi.
“Merci…” jawabnya sumringah, lalu segera membuka bungkusannya.
“Gimana?” tanyaku.
Dia nampak sangat senang. “Merci! Voila ce qu’il me faut!”
Dia memang senang membaca buku-bukunya Sartre. Dia sudah memiliki novel itu dalam versi bahasa Prancis dan Inggris.
Daphne Maria Renata Villeneuve adalah seorang gadis prancis asli yang baik hati dan sangat peduli pada kaum tertindas. Dia lahir di
Aku pertama kali berkenalan dengannya di CCF
Meski aku sangat mendukung aktivitasnya dalam memperjuangkan hak-hak wanita yang tertindas. Aku adalah lawan, bahkan musuh bebuyutannya setiap berdiskusi mengenai wanita. Kami mempunyai prinsip yang berbeda dalam memposisikan wanita. Hal tersebut terjadi karena kami memandang eksistensi wanita dalam perspektif yang berbeda. Dia sangat dipengaruhi oleh pandangan liberalnya yang menempatkan kebebasan di atas segala-galanya, sedangkan aku lebih banyak mengacu pada norma-norma agama.
Meski dia percaya bahwa Tuhan ada, namun dia tidak pernah tertarik untuk menganut agama apapun. Baginya, aturan dan norma agama hanya akan mengekang kebebasan kita dalam berpikir dan bertindak. Dogma-dogma agama tidak lebih dari propaganda yang menyesatkan. Meski demikian, dia bisa menjadi lebih relijius dan santun, dibandingkan wanita-wanita berkerudung yang pernah aku kenal. Meski dia seorang bule, tutur katanya sangat sopan, prilakunya santun, dan sangat menghormati orang lain. Bahkan untuk masalah sosial, dia lebih islami ketimbang orang islam sendiri. Hidupnya sederhana, semua yang dilakukannya tanpa mengharapkan pamrih, semata-mata karena keikhlasan. Meski dia tidak pernah mau mengakui kerasulan Muhammad, namun dia telah mencontoh kehidupan yang diajarkan Muhammad, nabinya orang islam.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, Daphne menuangkan anggur
“Tadi siang, aku lihat di Canal+, di Jakarta lagi ada demo kaum perempuan menuntut kesetaraan gender,” katanya sambil mengangkat gelas anggur ke bibir tipisnya.
Aku mengangguk. “Iya, aku prihatin…”
Tiba-tiba dia tercekat dan langsung meletakkan gelas anggurnya. Kedua bola mata birunya melotot. “Excuzes-moi, Monsieur! Anda salah! Seharusnya Anda bangga!”
“Bagi saya, pria dan wanita tetap berbeda. Tuhan menciptakan pria dan wanita dengan bentuk fisik dan non fisik yang berbeda…”
“Apanya yang berbeda?” potongnya cepat.
“Pria diciptakan dengan fisik yang relatif lebih kuat, sedangkan wanita diberi organ reproduksi untuk mengandung dan melahirkan. Dalam mengambil keputusan, pria lebih cenderung menggunakan akalnya ketimbang perasaan, sedangkan wanita lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal sehat.”
“Tidak juga. Buktinya banyak wanita yang bisa menempati posisi yang sejajar, bahkan lebih tinggi daripada pria. Par exemple, Margareth Thatcher, Indira Gandhi, dan Megawati Soekarno Putri. Jangan lupa, aku pernah mengalahkanmu lari menaiki anak tangga di
Aku mengangguk tersenyum. “Iya, tapi mereka tetaplah wanita, yang lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal dalam mengambil keputusan. Saya tidak menentang wanita mengejar posisi yang sejajar atau melebihi kaum pria, asalkan mereka tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.”
“Maksudmu?”
“Minimal harus ada keseimbangan antara karir dan keluarga. Banyak wanita yang terlalu asyik mengejar karir sampai lupa dengan tugas utamanya sebagai wanita yang ditakdirkan untuk mengandung, merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya sendiri.”
Daphne menghela napas. “Aku tidak percaya takdir. Aku pikir sulit untuk melakukan balancing. Bagaimanapun, kita harus memilih.”
“Apa karena itu, kamu selalu menolak lamaran Cahyo?”
Aku melihat raut keterkejutan di wajahnya. Dia menggeleng, lalu menenggak anggur di gelasnya hingga tandas. Ini untuk yang kesekian kalinya. Aku mulai khawatir, alkohol akan mulai mempengaruhi syarafnya.
“Kamu sudah terlalu banyak minum, sebaiknya aku antar kamu pulang.”
Dia mengangguk. Setelah membayar, kami melangkah ke luar. Dia berjalan lebih dulu, namun tiba-tiba tubuhnya sedikit oleng, dia memegang keningnya. Aku buru-buru meraihnya tubuhnya.
“Kamu kenapa?”
“Oh, nggak apa-apa, aku baik-baik aja,” elaknya.
Aku menuntunnya ke mobil.
*****
Aku mengantarnya hingga ke kamarnya. Dia tidak pernah minum sebanyak tadi, akibatnya dia sedikit mabuk.
Daphne tersenyum, “Merci beaucoup.”
Aku mengangguk, “Istirahatlah. Besok kamu harus ngajar,
Dia mengangguk malas.
Aku pamit, “Bonne nuit.”
Aku melangkah pergi, namun dia menahanku. “Temani aku malam ini…”
Aku tertawa dan memencet hidung bangirnya. “Kamu terlalu banyak minum!”
Aku bergegas pergi, namun secara tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku mencoba melepaskan diri, namun cengkramannya sangat kuat. Dia memelukku dan berusaha menciumku.
“Allez. Aku mencintaimu, Ahmad!” bisiknya manja. Aku menghirup aroma semerbak alkohol dari mulutnya.
“Mon Dieu! Kamu mabuk. Cahyo pasti akan marah kalau tahu kamu seperti ini!”
“Zut! Dia tidak mencintaiku, dia lebih memilih mengejar karirnya daripada aku!” Aku mendengar suaranya bergetar. Dia mulai terisak. Aku teringat dengan ucapanku padanya tadi, wanita memang selalu mendahulukan perasaannya daripada akal sehat!
Daphne terus mendesakku dengan dadanya, hingga aku terhempas ke atas tempat tidurnya, tubuhnya menimpaku. Tiba-tiba… Byuuurrr!!! Aku tersentak dan terbangun dari mimpi. Aku seperti terguyur hempasan gelombang air laut di pantai Kuta. Setelah sadar dari mimpi, ternyata aku tidak sedang berada di Pantai Kuta atau pantai manapun, tapi di atas tempat tidurku sendiri. Aku melihat Daphne berdiri di hadapanku sambil memegang gayung.
“Hah?!” Aku memandang wajahnya lekat-lekat, lalu kupandangi tubuh sintalnya dari atas hingga ke bawah. Dia menjadi salah tingkah dan langsung menegurku.
“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Tidak biasanya…”
“Oh, sorry!” Aku buru-buru memalingkan wajah.
Daphne tersenyum. “Maaf, aku terpaksa membangunkanmu dengan air. Aku sudah membangunkanmu dengan sopan, tapi kamu tidak bangun juga. Barusan kamu mengigau.”
“Mengigau?”
“Iya, kamu memanggil-manggil namaku…”
“Apa?!”
“Di luar ada Cahyo. Aku terpaksa buru-buru membangunkanmu, sebelum dia mendengar kamu memanggil-manggil namaku. Dia bisa cemburu, lho…” Daphne tersenyum lagi. Aku merasa pipiku merona merah seperti buah tomat. Aku benar-benar mimpi basah, basah karena diguyur air!