Selasa dua pekan lalu, tepatnya tanggal 27 April 2010, Pengadilan Pajak kedatangan Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) dan Komisi Yudisial (KY). Anggota Satgas yang datang hari itu adalah Darmono, Denny Indrayana, Yunus Husein, dan Mas Achmad Santosa. Sedangkan Komisioner KY yang hadir antara lain adalah Eddy Harry Susanto dan Soekotjo Soeparto.
Hari itu, setibanya di Gedung Sutikno Slamet, rombongan Satgas dan KY tersebut langsung naik ke lantai 9 dan 10 untuk melihat langsung proses persidangan di ruang sidang Majelis. Setelah berkeliling menyaksikan proses persidangan di Pengadilan Pajak, rombongan Satgas dan KY melakukan pertemuan terbuka dengan pimpinan Pengadilan Pajak di ruang rapat hakim di lantai 5 Gedung Sutikno Slamet. Pertemuan tersebut diawali dengan presentasi dari pimpinan Pengadilan Pajak yang kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Berbagai hal ditanyakan oleh Satgas maupun KY, termasuk isu-isu negatif mengenai Pengadilan Pajak yang berkembang di masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui dari berbagai media massa. Terungkapnya makelar kasus (markus) yang melibatkan Gayus Tambunan (GT), pegawai Direktorat Jenderal Pajak, berdampak luar biasa terhadap Pengadilan Pajak. Terutama setelah Koordinator Monitoring dan Analisis Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menyatakan potensi korupsi terbesar dalam kasus pajak ada di Pengadilan Pajak dengan persentase kekalahan yang dialami Negara selama periode 2002-2009 mencapai 81%. Firdaus menduga telah terjadi suap di Pengadilan Pajak. Menurut Firdaus lagi, selama tahun 2008 potensi pendapatan negara yang hilang karena kekalahan Negara di Pengadilan Pajak sedikitnya Rp 12,2 triliun! Ckckckck...
Pada kesempatan itu, di depan Satgas dan KY serta berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, pimpinan Pengadilan Pajak telah memberikan penjelasan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan pajak yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan, sehingga tidak pada tempatnya apabila keadilan pajak yang diberikan oleh Pengadilan Pajak dianggap telah merugikan keuangan negara.
Berdasarkan data putusan Pengadilan Pajak antara tahun 2002 s.d. 2009, diketahui dari 22.105 putusan, ada 13.678 putusan atau 61% yang dimenangkan oleh Wajib Pajak, bukan 81% sebagaimana data ICW. Meski demikian satu hal yang perlu dipahami adalah suatu penetapan pajak yang masih menjadi sengketa, belum dapat dianggap sebagai hak Negara. Apalagi kalau kemudian terbukti tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan, maka penetapan pajak tersebut tidak sah dan bukan merupakan hak Negara. Oleh karenanya dalam hal ini Negara tidak mengalami kerugian, akan tetapi Pengadilan Pajak justru telah memberikan keadilan dalam perpajakan.
Meskipun putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun apabila pihak yang kalah menganggap putusan Pengadilan Pajak nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik Wajib Pajak maupun aparat pajak masih dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Pimpinan Pengadilan Pajak juga menyampaikan informasi tambahan bahwa berdasarkan data yang ada, selama tahun 2002 s.d. 2008 diketahui putusan Pengadilan Pajak yang diajukan PK ke Mahkamah Agung relatif kecil dengan kata lain Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui putusan Pengadilan Pajak. Bahkan dari 515 permohonan PK yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung, sebanyak 501 putusan Mahkamah Agung yang justru menguatkan putusan Pengadilan Pajak, sedangkan yang membatalkan putusan Pengadilan Pajak hanya 14 putusan yang sebagian besar adalah putusan atas PK yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Lantas dengan adanya kenyataan seperti itu, haruskah Pengadilan Pajak direformasi? Jawabannya ya, Pengadilan Pajak tetap harus direformasi. Terlepas dari tudingan ICW yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya tersebut, harus diakui memang Pengadilan Pajak yang masih berusia delapan tahun ini masih banyak kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki. Salah satu masalah yang hingga saat ini masih menjadi hambatan, antara lain adalah masih menumpuknya berkas sengketa yang belum diputus di Pengadilan Pajak, hal tersebut terjadi disebabkan oleh belum efektif dan efisiennya proses pelayanan administrasi dan informasi penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak. Celah-celah yang memungkinkan terjadinya praktik mafia pajak juga harus ditutup rapat-rapat.
Reformasi di Pengadilan Pajak sesungguhnya sudah dilakukan jauh hari sebelum kasus GT merebak, namun bergerak sangat lamban. Penyebabnya adalah belum adanya komitmen yang kuat, bahkan sering terjadi penolakan dari segelintir oknum pejabat dan pegawai di dalam lingkungan Pengadilan Pajak sendiri. Penolakan tersebut bisa saya pahami tidak lebih daripada ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri mereka sendiri untuk mengikuti perubahan. Ketidakmampuan tersebut tentu terkait dengan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Bagi mereka perubahan adalah ancaman, karena mereka akan tersingkir oleh pejabat atau pegawai baru yang lebih berkualitas.
Sehari setelah kunjungan Satgas dan KY ke Pengadilan Pajak, Menteri Keuangan, Satgas, KY, Mahkamah Agung, dan pimpinan Pengadilan Pajak juga telah melakukan pertemuan di kantor Menteri Keuangan. Dalam pertemuan itu telah disepakati beberapa point penting terkait dengan reformasi Pengadilan Pajak. Salah satunya adalah pembentukan Tim Reformasi Pengadilan Pajak yang melibatkan Satgas, KY, Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, dan Pengadilan Pajak sendiri. Tim yang telah dibentuk ini akan melakukan perbaikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Reformasi yang akan dilakukan antara lain adalah pembenahan pada sistem pelayanan administrasi dan informasi penyelesaian sengketa pajak, sumber daya manusia, sistem rekrutmen hakim, hingga revisi Undang-undang Pengadilan Pajak.
Diharapkan dengan adanya kasus GT ini, pimpinan dan segenap pegawai di Sekretariat Pengadilan Pajak akan dapat mengambil hikmah dan termotivasi untuk melanjutkan proses reformasi demi keadilan pajak bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.