Kamis pekan lalu, Pengadilan Pajak kembali kedatangan reporter dari stasiun televisi nasional, RCTI dan Anteve. Saya yang saat itu sedang bertugas sebagai Kepala Subbag Persidangan II dan Jeffry Wagiu selaku Kepala Subbag Pelayanan Informasi kembali harus melayani mereka, setelah pimpinan kami menolak untuk memberikan keterangan secara langsung. Atas persetujuan pimpinan, kami mengijinkan mereka untuk meliput kegiatan persidangan dan mewawancarai kami.
Seperti yang sudah kami duga sebelumnya, mereka datang lagi bukan sekedar untuk meliput jalannya persidangan, akan tetapi untuk mengonfirmasi pernyataan Menteri Keuangan Dr. Sri Mulyani Indrawati sehari sebelumnya. Di depan media, Bu Ani menyatakan akan mengganti semua satpam dan memasang CCTV di Pengadilan Pajak. Mereka juga ingin mengonfirmasi perihal temuan PPATK atas transaksi pada rekening salah seorang hakim pajak yang mencurigakan.
Saya pribadi yang juga mengetahui pernyataan Ibu Menteri tersebut hanya dari media tentu memberikan jawaban apa adanya. Di depan sorotan kamera dan lampu kedua stasiun televisi itu, saya menjawab tidak tahu dan belum ada konfirmasi mengenai penggantian satpam dan pemasangan CCTV tersebut. Kalaupun hal tersebut dilakukan, itu merupakan kewenangan dari Menteri Keuangan. Saya juga memberikan jawaban yang sama terkait dengan temuan PPATK atas transaksi pada rekening salah seorang hakim pajak yang mencurigakan. Saya mempersilahkan mereka untuk bertanya kepada PPATK sebagai pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Lagipula saya memang tidak berwenang untuk menanggapinya karena sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan, termasuk pengawasan terhadap hakim pajak adalah kewenangan dari Mahkamah Agung, bukan Sekretariat Pengadilan Pajak.
Terungkapnya makelar kasus (markus) yang melibatkan Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, berdampak luar biasa terhadap Pengadilan Pajak. Satu-satunya institusi peradilan pajak di negeri ini yang tadinya tidak begitu dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tiba-tiba menjadi sedemikian populernya. Tidak tanggung-tanggung, Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan sangat meyakinkan merilis hasil penelitiannya yang menyebutkan Negara dikalahkan oleh Pengadilan Pajak hingga 80%, hal tersebut bahkan dipertegas lagi oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Mochammad Tjiptardjo, yang menyatakan dari 51 kasus yang ditangani oleh Gayus Tambunan, Direktorat Jenderal Pajak mengalami kekalahan sebanyak 40 kasus.
Betulkah tudingan tersebut? Saya tidak bermaksud mengatakan Pengadilan Pajak bebas dari praktik markus karena sudah menjadi rahasia umum, hampir semua institusi peradilan dan hukum di negeri ini sudah atau setidaknya pernah terkena virus markus. Berdasarkan data yang ada, Direktorat Jenderal Pajak memang lebih sering mengalami kekalahan dari Wajib Pajak ketika bersengketa di Pengadilan Pajak, namun apabila dikaji lebih dalam dengan mengikuti persidangan-persidangan di Pengadilan Pajak secara terbuka ataupun dengan mengkaji putusan-putusan Pengadilan Pajak, kekalahan Direktorat Jenderal Pajak tersebut umumnya terjadi karena koreksi dan penetapan pajak yang telah dilakukan oleh petugas pajak tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, hanya berdasarkan asumsi, atau Wakil Dirjen Pajak yang hadir dalam sidang tidak mampu mempertahankan koreksi atau penetapan pajaknya. Satu hal lagi yang perlu dipahami adalah suatu penetapan pajak yang masih menjadi sengketa, belum dapat dianggap sebagai hak Negara. Apalagi kalau kemudian terbukti tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan, maka penetapan pajak tersebut tidak sah dan bukan merupakan hak Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tudingan ICW dan Dirjen Pajak tersebut sungguh tidak didukung dengan fakta yang cukup dan memberi kesan adanya upaya untuk membentuk opini publik yang hanya bertujuan untuk mendeskriditkan Pengadilan Pajak.
Hal tersebut bisa saya pahami karena ketidakpahaman teman-teman di ICW tentang hukum dan dinamika perpajakan di negeri ini. Hal yang mengganggu logika berpikir saya adalah sikap Ibu Menteri Keuangan sendiri yang sangat agresif dalam merespon kasus ini. Tidak tanggung-tanggung, tanpa menunggu hasil penyelidikan dan pemeriksaan atas keterlibatan bawahannya di Sekretariat Pengadilan Pajak dalam kasus markus, Ibu Menteri telah menyatakan rencananya untuk memutasi semua pengawai Kementerian Keuangan yang bertugas di Sekretariat Pengadilan Pajak tanpa pandang bulu. Secara tidak langsung, Ibu Menteri telah memvonis semua pegawai di Sekretariat Pengadilan Pajak terlibat markus dan menghukumnya. Kalau itu benar terjadi, maka hal tersebut tentu akan sangat memukul perasaan para bawahannya sendiri yang telah belasan tahun melayani Wajib Pajak yang ingin mendapatkan keadilan. Ibu Menteri yang pernah dizalimi dalam kasus Century, kini melakukan hal yang sama terhadap bawahannya sendiri dalam kasus markus.
Seorang teman saya menduga, hal tersebut memang sengaja dilakukan demi melindungi institusi yang lebih besar. Pengadilan Pajak yang pegawainya hanya sekitar 300 orang memang didesain untuk dikorbankan karena ongkosnya lebih kecil, ketimbang harus membongkar habis kebobrokan di institusi besar tersebut yang akan menurunkan motivasi pegawainya yang jumlahnya puluhan ribu orang dan dapat berdampak luas pada terganggunya penerimaan atau pendapatan negara. Padahal Pengadilan Pajak selama ini justru menjadi banteng terakhir bagi Wajib Pajak yang tidak lain adalah rakyat Indonesia untuk mendapatkan keadilan dari kesewenang-wenangan sebagian oknum aparat pajak. Namun saya pribadi menduga Ibu Menteri melakukan itu tidak bermaksud untuk mengorbankan institusi Pengadilan Pajak, hal tersebut terjadi tidak lebih dari ekspresi kepanikan Ibu Menteri dalam menghadapi hantaman badai masalah yang datang bertubi-tubi dan cenderung memojokkan beliau. Tidak menutup kemungkinan, kondisi Ibu Menteri ini telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melaksanakan agenda pribadinya.
Indikasinya bisa dilihat dari keputusan untuk mengganti satpam di gedung Sutikno Slamet, memasang CCTV, dan pintu detektor yang menurut saya tidak akan efektif dan sia-sia. Pengetatan pengamanan dengan memeriksa setiap barang bawaan seperti koper dan kardus-kardus yang berisi dokumen Wajib Pajak atau aparat pajak yang datang dan memasang CCTV di tiap ruang sidang, tidak akan efektif untuk menutup peluang terjadinya praktik markus, karena logikanya praktik markus dan kongkalikong tidak mungkin dilakukan di ruang sidang, peluang terbesar atau tempat yang aman dan nyaman untuk bisa melakukan itu justru di tempat lain, seperti di tempat makan, di hotel atau di ruangan lain yang tertutup.
Memutasi semua pegawai Kementerian Keuangan yang bertugas di Sekretariat Pengadilan Pajak tanpa pandang bulu dan menggantinya dengan pegawai baru juga tidak akan menutup peluang terjadinya praktik markus. Tidak ada yang bisa menjamin para pegawai baru nanti lebih berkompeten dan memiliki integritas yang tinggi. Keadaan ini justru telah berdampak pada kekecewaan dan penurunan motivasi para pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak yang berimplikasi pada menurunnya kinerja yang akan menghambat penyelesaian sengketa pajak. Bahkan tidak sedikit yang mengalami shock. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan pegawai yang selama telah berusaha menjaga integritasnya, bekerja dengan baik, tidak pernah terlibat dengan markus, dan hidup sederhana, harus ikut menanggung perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.