Kemarin, saya selaku Kepala Sub Bagian Persidangan Administrasi Sengketa Pajak II bersama Jefrry Wagiu selaku Kepala Sub Bagian Informasi dan Subur Eko Wardoyo selaku Kepala Sub Bagian Pengolahan Data sempat memenuhi permintaan wawancara berbagai media massa nasional mengenai institusi Pengadilan Pajak dan keterkaitannya dengan Gayus Tambunan, bahkan kami juga sempat melakukan konferensi pers yang diliput oleh berbagai media televisi. Meski konferensi pers tersebut tidak ditayangkan secara utuh, namun penjelasan dan statement saya cukup banyak dimuat di berbagai media, meski ada beberapa yang salah kutip. Saya juga sempat diundang oleh TV One untuk diwawancara lagi secara live dalam acara yang bertajuk Apa Kabar Indonesia, namun tidak bisa saya penuhi karena tidak diizinkan oleh pimpinan Pengadilan Pajak. Meski pelarangan tersebut saya sesalkan karena kesempatan saya untuk melakukan klarifikasi terhadap tudingan sarang Makelar Kasus (Markus) di depan publik menjadi hilang, namun sebagai bawahan saya wajib mematuhi larangan pimpinan tersebut.
Keputusan saya untuk memenuhi setiap permintaan media berangkat dari keprihatinan saya terhadap opini publik yang terkesan sedang diarahkan untuk mengalihkan substansi kasus Mafia Hukum yang melibatkan Gayus Tambunan dan Andi Kosasih dengan aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri ke tudingan Pengadilan Pajak sebagai sarang markus yang dikaitkan dengan seringnya Direktur Jenderal Pajak mengalami kekalahan dari Wajib Pajak ketika bersengketa dengan Wajib Pajak di Pengadilan Pajak. Hal tersebut dikemukakan oleh ICW maupun Direktur Jenderal Pajak sendiri.
Tudingan tersebut tentu sangat tendensius. Sangat naif apabila putusan Pengadilan Pajak yang sering memenangkan Wajib Pajak yang bersengketa dijadikan alasan untuk menuding Pengadilan Pajak sebagai sarang markus. Tudingan ini tentu sangat menyakitkan bagi Hakim dan pegawai Kementerian Keuangan yang ditugaskan di lembaga peradilan tersebut yang selama ini telah berjuang menjaga integritasnya. Saya tidak bermaksud mengatakan institusi Pengadilan Pajak bersih dari markus karena konon kabarnya hampir semua institusi peradilan dan hukum di negeri ini sudah atau paling tidak pernah terjamah oleh praktik markus dan setiap jengkal tanah dan air di negeri ini juga tidak bisa bebas dari korupsi yang memang sudah sedemikian massif dan sistemik. Saya hanya berharap kasus mafia hukum yang melibatkan Gayus ini tidak berbelok arah dan dilokalisir dengan tudingan, fitnah dan tindakan yang tidak gentle dari pihak-pihak tertentu terhadap Pengadilan Pajak. Namun saya juga bisa memahami mengapa tudingan tersebut bisa muncul, mungkin hanya karena ketidakpahaman mereka mengenai hukum dan peraturan perpajakan.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan pemeriksaan terhadap keterangan dan bukti-bukti dari kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila salah satu pihak dapat memberikan keterangan dan bukti-bukti yang lengkap dan sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang perpajakan, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak tentu akan menerima dan memenangkan perkaranya, begitu pun sebaliknya apabila keterangan dan bukti-bukti yang disampaikan oleh salah satu pihak lemah atau tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan, maka perkaranya akan kalah.
Katakanlah, semua Hakim Pengadilan Pajak memang terkait dengan markus, logikanya tentu mereka juga tidak akan sebodoh itu dengan memenangkan Wajib Pajak hingga mencapai 80% hingga 90% atau 4-1, karena hal tersebut tentu akan menimbulkan kecurigaan yang besar. Mereka akan lebih memilih bermain aman di angka 60% atau skor 2-1. Sebagian Wajib Pajak dalam bersidang di Pengadilan Pajak juga menggunakan konsultan pajak yang berkualifikasi internasional, seperti Price Waterhouse Coopers (PWC) dan Ernst&Young (EY) yang sudah barang tentu tidak akan mempertaruhkan kredibilitasnya di dunia internasional dengan bermain mata dengan markus.
Sekarang kalau kita berbicara fakta di persidangan, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) memang lebih sering mengalami kekalahan bukan karena adanya niat dari Pengadilan Pajak untuk mengalahkan aparat pajak, akan tetapi sebagian besar lebih pada koreksi dan penetapan pajak yang dilakukan oleh bawahan Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku atau Wakil Dirjen Pajak yang hadir tidak mampu mempertahankan koreksi atau penetapan pajaknya. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana setiap kantor pelayanan pajak diberikan target penerimaan pajak untuk kas negara oleh Direktur Jenderal Pajak. Sebagai dampak dari adanya target penerimaan tersebut, pemeriksa atau petugas pajak akan cenderung untuk menetapkan pajak yang lebih besar dari yang semestinya dengan menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar dengan mengabaikan pembukuan dan bukti-bukti yang diberikan oleh Wajib Pajak. Hal ini sangat sering dikeluhkan oleh Wajib Pajak yang notabene adalah rakyat Indonesia yang taat pajak. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga sudah menyampaikan pernyataan resminya mengenai keluhan tersebut. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan menelaah isi putusan-putusan Pengadilan Pajak.
Perlu diketahui pula bahwa apabila pihak yang kalah, baik Dirjen Pajak maupun Wajib Pajak, merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Pajak, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum berikutnya dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Jadi tuduhan bahwa Pengadilan Pajak adalah sarang markus hanya berdasarkan putusan Pengadilan Pajak yang sering memenangkan Wajib Pajak adalah sangat naif dan tendensius.
Adapun mengenai adanya pernyataan bahwa Pengadilan Pajak tertutup, tidak transparan dan tidak dapat diawasi juga tidak beralasan sama sekali. Pasal 5 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah mengatur bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga tidak beralasan apabila Mahkamah Agung dikatakan tidak dapat melakukan pengawasan. Sidang-sidang Pengadilan Pajak selama ini juga dilakukan secara terbuka. Meskipun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Pengadilan Pajak selama ini pun dapat dan telah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mengenai masih menumpuknya berkas sengketa yang belum diputus di Pengadilan Pajak, sebenarnya terkait dengan banyak hal. Selain karena kapasitas Majelis dan petugas pembuat konsep putusan yang tidak sebanding dengan arus berkas sengketa banding dan gugatan yang masuk, juga terkait dengan lamanya pemenuhan atas permintaan bukti-bukti dari kedua belah pihak yang bersengketa. Pada Tahun 2008 tercatat ada 6.428 permohonan banding dan gugatan yang masuk ke Pengadilan Pajak, pada tahun 2009 mengalami peningkatan hingga mencapai 7.462 permohonan banding dan gugatan, dan sampai dengan Februari 2010 ini, telah masuk 1.037 permohonan banding dan gugatan. Mengapa itu bisa begitu? Menurut analisisnya, hal tersebut diakibatkan oleh tidak efektifnya lembaga Keberatan di Direktorat Jenderal Pajak yang cenderung menolak permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dengan mengabaikan keterangan dan bukti-bukti yang ditunjukkan oleh Wajib Pajak. Bahkan berdasarkan pengakuan Wajib Pajak, sering terjadi mereka yang keberatannya ditolak disarankan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Oleh karenanya mau tidak mau atas Keputusan Keberatan dari Direktur Jenderal Pajak tersebut diajukan banding oleh Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak.
Pernyataan Sekretaris Jenderal Transparansi International Indonesia, Teten Masduki yang diamini oleh Direktur Jenderal Pajak bahwa Pengadilan Pajak rentan praktik markus memang benar. Korupsi pajak bersifat transaksional, petugas pajak dan wajib pajak dapat berkolusi untuk tak mematuhi aturan. Kedua belah pihak itu diuntungkan, sebaliknya negara dirugikan. Namun demikian peluang terbesar untuk melakukan negosiasi dan menimbulkan kerugian Negara yang lebih besar dan sistemik justru ada pada tahap pemeriksaan, penetapan pajak dan keberatan yang merupakan kewenangan dari Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan negosiasi yang bisa terjadi di tingkat banding hanyalah yang mengalami kegagalan negosiasi pada tahap sebelumnya di Direktorat Jenderal Pajak. Penetapan pajak yang masih diajukan banding oleh Wajib pajak ke Pengadilan Pajak juga belum dapat dikategorikan sebagai hak atau kerugian Negara karena masih menjadi sengketa. Sering terjadi penetapan pajak dan keputusan keberatan yang diajukan banding memang tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, dengan demikian dalam hal ini tidak ada kerugian Negara akan tetapi keadilan bagi Wajib Pajak.