Hari ini tepatnya tanggal 31 Agustus 2009, Negeri jiran kita Malaysia merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-52. Negeri serumpun kita yang waktu itu masih bernama Malaya memperoleh kemerdekaan dari Kerajaan Inggris Raya pada tanggal 31 Agustus 1957. Mereka tentu bersuka cita menyambutnya, sebagaimana kita merayakan Hari Kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus 2009 yang baru lalu.
Akhir-akhir ini Malaysia menjadi polemik yang hangat di Indonesia, sentimen anti Malaysia merebak dimana-mana, banyak orang Indonesia yang menghujat negeri jiran ini. Malaysia dianggap telah mencuri budaya Indonesia . Masyarakat beramai-ramai berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Malaysia , bahkan ada yang sampai membakar replika bendera Malaysia . Di facebook pun sempat marak grup-grup Ganyang Malaysia. Semua ini terkait dengan tindakan dari sebagian oknum penduduk Malaysia , maupun elemen pemerintah Negara kerajaan itu. Topik yang paling hangat tentunya adalah ditampilkannya tari pendet dan wayang dalam iklan Visit Malaysia, disusul dengan temuan bahwa lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, diduga adalah jiplakan dari lagu Terang Bulan yang rekamannya saat ini masih disimpan di Lokananta Records di Solo. Hal tersebut hanya kelanjutan dari sekian banyak kontroversi yang dilakukan oleh Malaysia . Sebelumnya mereka juga telah menggunakan lagu Rasa Sayange sebagai suara latar iklan Visit Malaysia, menggunakan lagu Indang Bariang dalam suara latar festival tari di Osaka, Jepang, mereka juga mengklaim Barongan yang sangat mirip dengan Reog Ponorogo, batik, angklung, dan keris sebagai budaya asli Malaysia.
Semua polemik dan hujatan orang Indonesia atas klaim budaya oleh Malaysia itu, sesungguhnya merupakan akumulasi dari kemarahan rakyat Indonesia atas pencaplokan pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, aksi provokasi kapal perang Malaysia di Blok Ambalat, dan prilaku buruk sebagian warga Malaysia terhadap tenaga kerja kita.
Lantas, benarkah semua itu sengaja dilakukan oleh Pemerintah dan rakyat Malaysia ? Kita mulai dari kasus tari pendet dan wayang. Setelah ditelusuri, ternyata iklan Visit Malaysia yang menampilkan tari pendet dan wayang bukan dibuat oleh Pemerintah Malaysia, namun dibuat oleh Discovery Channel yang berkedudukan di Singapura atas pesanan dari Enigmatic, pihak swasta di Malaysia. Pihak Discovery Channel pun telah meminta maaf dan tidak menayangkannya lagi.
Kemudian mengenai lagu Rasa Sayange, lagu Indang Bariang, barongan, batik, angklung, dan keris yang pernah mereka klaim sebagai budaya asli Malaysia, hendaknya kita tanggapi secara bijak. Menurut mereka, kenyataannya lagu-lagu, batik, barongan, angklung, dan keris memang telah puluhan bahkan ratusan tahun menjadi budaya yang dikenal secara turun-temurun di Malaysia . Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Indonesia dan Malaysia adalah negeri serumpun, bahkan kedua negara ini bisa dikatakan merupakan saudara sedarah, dalam pengertian etnis, bahasa, dan agama mayoritas di kedua negara ini sama. Bahkan kalau mau disensus, saya meyakini sebagian besar penduduk Malaysia yang melayu itu mempunyai hubungan historis yang tidak bisa terpisahkan dengan penduduk Indonesia , entah itu karena keturunan maupun perkawinan.
Apabila ditelusuri sejarahnya lebih jauh lagi, Provinsi Riau di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang sekarang adalah Malaysia Bagian Barat dahulunya merupakan satu kesatuan Negara dalam Pemerintahan Kesultanan Riau hingga abad ke 18. Perpisahan Kesultanan Riau menjadi terbelah dua antara Riau di pulau Sumatera dengan Semenanjung Malaya lebih disebabkan oleh geopolitik. Perjanjian antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris membelah daerah ini. Belanda menguasai bagian selatan (Riau Sumatera) dan Inggris menguasai bagian utara (Semenanjung Malaya). Oleh karenanya tidak heran apabila hingga kini penduduk di Provinsi Riau dan Malaysia memiliki kesamaan etnis, bahasa, dan agama. Bahkan ternyata bukan hanya penduduk etnis Melayu di Riau saja yang memiliki hubungan historis dengan Malaysia, penduduk Indonesia dari daerah lainnya pun banyak yang merantau dan telah beranak-pinak sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Buktinya bisa kita temukan hingga kini di Malaysia terdapat beberapa daerah yang menggunakan nama etnis terbesar di Indonesia , seperti kampong Jawa dan kampong Bugis. Bahkan Perdana Menteri Malaysia yang sekarang, Mohammad Najib Tun Abdul Razak masih keturunan bangsawan Bugis-Makassar dari Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia . Jadi tidak salah kiranya apabila orang Malaysia keturunan Indonesia menganggap lagu-lagu, batik, barongan, angklung, dan keris adalah budaya asli mereka karena kenyataannya budaya tersebut adalah warisan budaya dari nenek moyang mereka.
Adapun mengenai dugaan bahwa lagu kebangsaan Malaysia , Negaraku adalah jiplakan dari lagu Terang Bulan. Setelah ditelusuri ternyata lagu Negaraku merupakan lagu yang diadaptasi dari lagu yang berjudul La Rosalie, yang digubah oleh Pierre-Jean de Béranger, seorang musisi berkebangsaan Prancis pada akhir abad ke-19 di wilayah jajahan Prancis, pulau Mahé di Seychelles, di samudera Hindia. Pada tahun 1888, lagu tersebut digunakan sebagai lagu kebangsaan negara bagian Perak di Malaysia yang diberi judul Allah Lanjutkan Usia Sultan selama masa pendudukan Raja Edward VII. Sementara di Indonesia sendiri, nada yang sama kemudian diperkenalkan oleh opera Indonesian Bangsawan yang sedang mengadakan pementasan di Singapura pada tahun 1920, syairnya diubah dan kemudian diberi judul Terang Bulan. Lagu tersebut kemudian populer di Indonesia , terutama di daerah Riau. Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, lagu Allah Lanjutkan Usia Sultan tersebut kemudian diadaptasi sebagai lagu kebangsaan negara Malaysia dengan judul Negaraku. Presiden Soekarno konon pada waktu itu pernah melarang lagu Terang Bulan dinyanyikan lagi karena lagu dengan nada yang sama telah dijadikan lagu kebangsaan oleh Malaysia.
Jelaslah sudah Indonesia dan Malaysia adalah saudara kandung. Sebagaimana kita ketahui sejak dulu hingga sekarang cukup banyak pelajar atau mahasiwa Malaysia yang mengenyam pendidikan di Indonesia, dahulu Indonesia juga banyak mengirim bantuan tenaga pengajar dan para ahli dari berbagai bidang ke Malaysia. Meski produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini mencapai US$ 514 miliar, sedangkan Malaysia hanya US$ 194 miliar, namun harus diakui kini penduduk Malaysia lebih makmur dibandingkan saudara tuanya, Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari pendapatan kotor per kapita (GNP) Malaysia yang mencapai US$ 13.740 per tahun, bandingkan dengan Indonesia yang hanya sebesar US$ 3.830 per tahun. Malaysia yang kekurangan tenaga kerja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Indonesia . Pusat Pemerintahan Malaysia yang megah di Putrajaya dibangun dengan menggunakan ribuan tenaga kerja dari Indonesia . Malaysia memperoleh tenaga kerja, sedangkan Indonesia memperoleh lapangan kerja. Kedua Negara pada hakikatnya saling membutuhkan.
Dengan demikian, terlalu berlebihan kiranya apabila setiap masalah, sengketa maupun konflik harus diselesaikan dengan cara-cara kekerasan atau konfrontasi, alangkah eloknya apabila semua itu diselesaikan oleh kedua belah pihak di meja perundingan dengan prinsip kesetaraan, persaudaraan, dan saling menghormati. Semoga.