Kita tentu sering mendengar keluhan mengenai mahalnya harga obat yang diresepkan oleh dokter, bahkan mungkin kita sendiri atau keluarga kita pernah mengalami hal yang sama. Bagi golongan menengah ke atas, hal tersebut tentu bukan masalah, namun akan menjadi masalah besar ketika yang mengalaminya adalah saudara-saudara kita yang berpenghasilan pas-pasan. Apalagi kalau harus dirawat di rumah sakit, selain biaya perawatan yang mahal, pasien dan keluarganya juga harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membeli obat-obatan. Hal tersebut tentu akan sangat memberatkan. Banyak pasien yang tidak tertolong karena tidak mampu membeli obat yang harganya mahal. Tentu timbul pertanyaan mengapa harga obat mahal? Apabila dibandingkan dengan negara lain, harga obat paten atau bermerek di Indonesia memang relatif jauh lebih mahal. Di negara lain, harga obat paten paling mahal dua kali obat generik, namun di Indonesia, selisihnya bisa sampai 20 kali lipat.
Setelah ditelusuri, ternyata penyebab mahalnya harga obat paten atau bermerek adalah karena besarnya biaya promosi. Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan dengan maksud untuk memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk, baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
Sebenarnya merupakan hal yang lumrah bagi perusahaan farmasi untuk mengalokasikan biaya promosi, namun besarnya biaya promosi yang dikeluarkan tersebut tetap harus mengacu pada prinsip kewajaran menurut kebiasaan pedagang yang baik.
Dalam prakteknya, ada berbagai mekanisme yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dalam mempromosikan produk obat-obatannya, selain dengan cara-cara umum, seperti melalui media cetak dan elektronik, perusahaan farmasi juga sering melakukan promosi melalui media lain, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Biaya registrasi, tiket pesawat, dan hotel untuk para dokter dalam mengikuti training yang berhubungan dengan produk perusahaan farmasi yang dibayarkan langsung ke panitia dan travel agent tersebut kemudian dibiayakan sebagai Biaya Promosi.
Perusahaan farmasi sendiri mengakui bahwa obat-obatan yang dipromosikan oleh perusahaan farmasi yang masuk dalam kategori ethical atau prescription product (obat resep), sesuai kode etik pemasarannya, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara umum seperti melalui media cetak dan elektronik, akan tetapi melalui media yang bersifat ilmiah, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Tujuannya agar setelah para dokter mengetahui kegunaan obat-obatan tersebut akan menuliskan obat-obatan tersebut pada resep untuk pasiennya.
Penjelasan dari perusahaan farmasi tersebut cukup logis, namun demikian sudah menjadi rahasia umum mengenai adanya kebijakan tertentu perusahaan farmasi kepada dokter-dokter yang meresepkan obat mereka. Modusnya bermacam-macam, mulai dari biaya mengikuti seminar sekaligus liburan ke luar negeri, hingga pemberian hadiah mobil baru. Hal ini tentu akan mendorong para dokter untuk meresepkan obat dengan harga yang relatif mahal dan memberatkan pasiennya.
Pemerintah selaku penyelenggara Negara tentu bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ini. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Oleh karenanya memang diperlukan adanya regulasi dari pemerintah untuk menjaga tingkat kewajaran Biaya Promosi tersebut menurut kebiasaan pedagang yang baik, guna melindungi kepentingan pasien serta pelayanan kesehatan secara umum. Instansi Pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini tentunya adalah Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, Departemen Kesehatan sendiri telah mengeluarkan berbagai keputusan atau peraturan yang terkait dengan pengendalian atau penurunan harga obat-obatan tersebut, baik yang bermerek maupun generik. Gabungan Pengusaha Farmasi juga sudah pernah menurunkan harga obat esensial generik bermerek, meski kemudian dengan berbagai alasan harga obat-obatan paten atau bermerek kembali mengalami kenaikan.
Belum lama ini, Departemen Keuangan Republik Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 104/PMK.03/2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Biaya Promosi dan Penjualan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa biaya promosi dan/atau biaya penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria-kriteria seperti untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan, dikeluarkan secara wajar menurut adat kebiasaan pedagang yang baik, dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas, dan diterima oleh pihak lain.
Dalam peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur Biaya Promosi dibatasi hanya boleh dibiayakan sebanyak satu kali oleh produsen atau distributor utama atau importir tunggal. Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto juga dibatasi tidak melebihi 2% dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00. Perusahaan farmasi juga wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan pada pihak lain. Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga pokok. Adapun tata cara pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Seperti sudah diduga sebelumnya, peraturan Menteri Keuangan tersebut dikeluhkan oleh Gabungan Pengusaha Farmasi, terutama mengenai batasan 2% Biaya Promosi dari peredaran usaha. Batasan 2% tersebut dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan rata-rata belanja promosi perusahaan farmasi di seluruh dunia yang tak kurang dari 25 persen dari peredaran usaha per tahun. Lantas bagaimana kelanjutannya? Rasanya perlu dicarikan jalan keluar yang adil, adil bukan hanya untuk perusahaan farmasi, tapi juga adil buat penerimaan pajak Negara, dan yang terpenting adalah adil buat pasien atau pelayanan kesehatan secara umum yang sudah merupakan tanggung jawab Pemerintah selaku penyelenggara Negara. Kita tunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.
(dari berbagai sumber)
Setelah ditelusuri, ternyata penyebab mahalnya harga obat paten atau bermerek adalah karena besarnya biaya promosi. Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan dengan maksud untuk memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk, baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
Sebenarnya merupakan hal yang lumrah bagi perusahaan farmasi untuk mengalokasikan biaya promosi, namun besarnya biaya promosi yang dikeluarkan tersebut tetap harus mengacu pada prinsip kewajaran menurut kebiasaan pedagang yang baik.
Dalam prakteknya, ada berbagai mekanisme yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dalam mempromosikan produk obat-obatannya, selain dengan cara-cara umum, seperti melalui media cetak dan elektronik, perusahaan farmasi juga sering melakukan promosi melalui media lain, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Biaya registrasi, tiket pesawat, dan hotel untuk para dokter dalam mengikuti training yang berhubungan dengan produk perusahaan farmasi yang dibayarkan langsung ke panitia dan travel agent tersebut kemudian dibiayakan sebagai Biaya Promosi.
Perusahaan farmasi sendiri mengakui bahwa obat-obatan yang dipromosikan oleh perusahaan farmasi yang masuk dalam kategori ethical atau prescription product (obat resep), sesuai kode etik pemasarannya, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara umum seperti melalui media cetak dan elektronik, akan tetapi melalui media yang bersifat ilmiah, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Tujuannya agar setelah para dokter mengetahui kegunaan obat-obatan tersebut akan menuliskan obat-obatan tersebut pada resep untuk pasiennya.
Penjelasan dari perusahaan farmasi tersebut cukup logis, namun demikian sudah menjadi rahasia umum mengenai adanya kebijakan tertentu perusahaan farmasi kepada dokter-dokter yang meresepkan obat mereka. Modusnya bermacam-macam, mulai dari biaya mengikuti seminar sekaligus liburan ke luar negeri, hingga pemberian hadiah mobil baru. Hal ini tentu akan mendorong para dokter untuk meresepkan obat dengan harga yang relatif mahal dan memberatkan pasiennya.
Pemerintah selaku penyelenggara Negara tentu bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ini. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Oleh karenanya memang diperlukan adanya regulasi dari pemerintah untuk menjaga tingkat kewajaran Biaya Promosi tersebut menurut kebiasaan pedagang yang baik, guna melindungi kepentingan pasien serta pelayanan kesehatan secara umum. Instansi Pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini tentunya adalah Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, Departemen Kesehatan sendiri telah mengeluarkan berbagai keputusan atau peraturan yang terkait dengan pengendalian atau penurunan harga obat-obatan tersebut, baik yang bermerek maupun generik. Gabungan Pengusaha Farmasi juga sudah pernah menurunkan harga obat esensial generik bermerek, meski kemudian dengan berbagai alasan harga obat-obatan paten atau bermerek kembali mengalami kenaikan.
Belum lama ini, Departemen Keuangan Republik Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 104/PMK.03/2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Biaya Promosi dan Penjualan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa biaya promosi dan/atau biaya penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria-kriteria seperti untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan, dikeluarkan secara wajar menurut adat kebiasaan pedagang yang baik, dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas, dan diterima oleh pihak lain.
Dalam peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur Biaya Promosi dibatasi hanya boleh dibiayakan sebanyak satu kali oleh produsen atau distributor utama atau importir tunggal. Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto juga dibatasi tidak melebihi 2% dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00. Perusahaan farmasi juga wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan pada pihak lain. Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga pokok. Adapun tata cara pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Seperti sudah diduga sebelumnya, peraturan Menteri Keuangan tersebut dikeluhkan oleh Gabungan Pengusaha Farmasi, terutama mengenai batasan 2% Biaya Promosi dari peredaran usaha. Batasan 2% tersebut dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan rata-rata belanja promosi perusahaan farmasi di seluruh dunia yang tak kurang dari 25 persen dari peredaran usaha per tahun. Lantas bagaimana kelanjutannya? Rasanya perlu dicarikan jalan keluar yang adil, adil bukan hanya untuk perusahaan farmasi, tapi juga adil buat penerimaan pajak Negara, dan yang terpenting adalah adil buat pasien atau pelayanan kesehatan secara umum yang sudah merupakan tanggung jawab Pemerintah selaku penyelenggara Negara. Kita tunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar