Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Jepang dalam rangka dinas selama 16 hari. Meski sempat membawa oleh-oleh souvenir dan makanan, namun karena keterbatasan dana dan bagasi, saya tidak dapat membeli dan memberikan oleh-oleh tersebut kepada semua teman-teman. Untuk mengobati kekecewaan sebagian teman-teman yang tidak kebagian oleh-oleh, saya membawa oleh-oleh lain berupa cerita mengenai pengalaman dan pengetahuan yang saya peroleh selama di negeri sakura yang lebih bermanfaat, ketimbang sekedar oleh-oleh berupa materi. Yang pasti oleh-oleh ini tidak akan pernah habis dan dijamin bebas radiasi nuklir.
Jepang yang resminya dalam bahasa Jepang bernama Nippon adalah negara kepulauan dengan jumlah penduduk sekitar 128 juta orang, 30 juta orang diantaranya tinggal di daerah Metropolitan Tokyo yang juga merupakan ibukota negara. Jepang merupakan negara maju secara industri dan ekonomi, terutama industri otomotif dan elektroniknya. Bisa dikatakan, selain mengandalkan sektor perbankan, asuransi, telekomunikasi, konstruksi, dan bisnis eceran, pendapatan negeri ini ditopang oleh industri otomotif dan elektroniknya yang hingga saat ini menguasai dunia. Perekonomian Jepang saat ini adalah yang terbesar ke-2 di dunia dengan pendapat domestik bruto yang mencapai USD 4,5 triliun. Upah per jam tenaga kerja di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Jepang juga merupakan negara terbesar ke-3 di dunia dalam keseimbangan kemampuan berbelanja.
Letak geografis Jepang yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik bumi, sama seperti Indonesia, membuat negeri ini sangat rawan gempa. Namun satu hal yang patut ditiru oleh Indonesia, negeri ini memiliki struktur bangunan yang tahan gempa. Oleh karenanya, meski negeri ini sangat sering diguncang gempa, namun saat ini sangat jarang ditemui kerusakan bangunan akibat gempa.
Masyarakat Jepang juga terkenal dengan kedisiplinan dan ketertibannya yang sangat tinggi. Mereka juga sangat menghormati satu sama lain. Hal tersebut saya rasakan sendiri, baik ketika berada di perkantoran, perumahan, pusat perbelanjaan, maupun setiap menggunakan kereta atau monorel. Penumpang yang saling dorong, sikut-sikutan dan rebutan tempat duduk seperti di Jakarta, tidak terjadi di sana. Penumpang yang keluar akan didahulukan, sebelum penumpang masuk. Meskipun ada belasan jalur yang berbeda, kereta selalu berangkat dan tiba di tempat tujuan dengan tepat waktu.
Tingkat harapan hidup manusia di Jepang adalah yang tertinggi di dunia dengan rata-rata usia penduduknya bisa mencapai 81 tahun lebih. Hal ini tentu menimbulkan masalah juga dengan meningkatnya biaya jaminan sosial bagi orang lanjut usia, ditambah lagi dengan kecenderungan menurunnya populasi angkatan kerja. Generasi muda yang memilih untuk tidak menikah atau berkeluarga ketika dewasa juga semakin meningkat di Jepang. Mungkin karena hal itu, dari pengamatan saya selama berada di Tokyo, pasangan suami-istri atau muda-mudi berpacaran yang terlihat di tempat umum tidak sebanyak di Jakarta.
Kebanyakan muda-mudi di sana, jika tidak berjalan secara bergerombol, akan berjalan sendiri ditemani oleh anjing piaraannya. Anjing piaraan itu juga berfungsi sebagai bodyguard bagi majikannya, seperti yang saya jumpai ketika di Tokyo. Ketika itu saya dan dua orang teman berpapasan dengan seorang gadis manis yang berkulit putih-bersih, mengenakan rok mini, kaos kaki sampai ke lutut, dan bersepatu hak tinggi, bersama dua ekor anjing piaraannya yang lucu. Kami bermaksud menanyakan jalan menuju stasiun kereta terdekat. Gadis itu menjawab pertanyaan kami dengan sangat ramah, namun tidak demikian dengan anjingnya. Anjing piaraannya itu rupanya tidak nyaman melihat majikannya didekati oleh tiga orang pria tampan sekaligus. Kedua ekor anjingnya menyalak, bahkan salah satunya langsung menggigit kaki seorang temanku.
Satu hal yang menarik, ditengah derasnya penetrasi budaya barat, masyarakat Jepang, termasuk muda-mudinya, masih tetap menjaga budaya ketimurannya. Sangat jarang ditemui pasangan muda-mudi yang berpelukan apalagi berciuman di tempat umum, bahkan di cafe atau diskotik sekalipun. Sangat berbeda dengan masyarakat Jakarta saat ini yang katanya mayoritas muslim.
Padatnya kegiatan resmi membuat peluang saya untuk berjalan-jalan menikmati keindahan kota Tokyo di musim semi hanya ada pada hari sabtu dan minggu. Peluang tersebut tentu tidak saya sia-siakan, meski tidak semua tempat bisa saya kunjungi dengan waktu yang terbatas itu.
Saya sempat mengunjungi dan berfoto di depan pintu gerbang dan taman istana kekaisaran Jepang yang sangat luas di pusat kota Tokyo. Saya juga mengunjungi stasiun kereta bawah tanah terbesar di Shinjuku. Stasiun ini berfungsi sebagai stasiun penghubung utama lalu lintas kereta di kawasan bisnis itu. Di stasiun ini terdapat 12 jalur, 200 pintu masuk, dan dipadati oleh sekitar 3 juta orang lebih setiap harinya, sehingga bisa dikatakan stasiun ini merupakan stasiun kereta tersibuk di dunia. Saya juga sempat menikmati pemandangan kota metropolitan Tokyo dari puncak gedung Tokyo Metropolitan Government Observatories berlantai 45, lalu mengunjungi dan berfoto dengan latar belakang kuil Zojoji dan Tokyo Tower, naik monorel ke Odaiba, belanja di Takashimaya dan pusat elektronik Akibahara, menyaksikan muda-mudi Jepang dengan dandanan yang unik ala Harajuku Style, menikmati kuliner Jepang di Restoran Watami, makan sushi di Rokakuen, menikmati gemerlapnya kehidupan malam di Roponggi, berkaraoke dan bertemu teman-teman baru dari berbagai negara di Tokyo International Center, seperti Ukrania, Armenia, Georgia, Tajikistan, Brazil, Kolombia, Mongolia, Bangladesh, Kenya dan sebagainya.
Demikianlah sepenggal cerita mengenai pengalaman saya yang singkat selama berada di Negeri Matahari Terbit Jepang. Semoga bermanfaat.
(berdasarkan pengalaman pribadi dan berbagai sumber)