Selasa, 17 Agustus 2010

Mengenang Detik-detik Proklamasi di Bulan Ramadan


Pada suatu pagi menjelang siang di halaman depan sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, berkumpul ratusan orang yang berbaris rapi. Hari yang mulai panas di bulan Ramadan itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan sebuah peristiwa penting yang sebentar lagi terlaksana. Beberapa orang pemuda tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari tentara Jepang. Matahari semakin tinggi, penghuni rumah belum juga keluar untuk memimpin upacara. Hari itu hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945. Para pemuda yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka diliputi suasana tegang dan berkeinginan keras agar proklamasi segera dilaksanakan. Jepang yang sebelumnya berkuasa telah menyerah kepada Tentara Sekutu. Terjadi kekosongan kekuasaan di negeri ini, jadi inilah saat yang paling tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.


Tidak berapa lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar. Seorang pria tampan mengenakan peci hitam dengan setelan putih-putih. Dia adalah Soekarno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno. Dia keluar bersama seorang pria yang bertubuh lebih pendek dan berkaca mata, mengenakan setelan dengan warna yang sama, dia adalah Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Keduanya berdiri di serambi rumah. Seorang pria lain yang mengenakan seragam militer, Latief Hendraningrat, memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri tegak. Dia adalah seorang anggota Pembela Tanah Air (PETA). Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Bung Karno dan Bung Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon.


Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.


“Saudara-saudara sekalian. Saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita!”


Soekarno kemudian mengeluarkan secarik kertas, lalu melanjutkan, “Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami. Proklamasi, kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.”


Soekarno menutup dengan ucapan, “Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun Negara kita. Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”


Acara kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah-putih. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar karena kainnya berukuran tidak sempurna. Kain itu awalnya memang tidak disiapkan untuk bendera. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi rumah, lebih kurang dua meter di depan tiang. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, peserta upacara dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang.


Hari itu, tanggal 17 dipilih sendiri oleh Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan negeri ini. Mengapa tanggal 17? Menurut Bung Karno dalam dialognya dengan para pemuda yang menculiknya dua hari sebelumnya di Rengasdengklok, angka 17 adalah angka suci. Ketika itu rakyat Indonesia sedang berada dalam bulan suci ramadan, ketika semua ummat Islam berpuasa. Hari Jumat legi, jumat yang berbahagia dan suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, ummat Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.


Itulah kenangan detik-detik proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa besar yang telah mengubah jalannya sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung dengan khidmat. Para pemuda, mahasiswa, serta pegawai-pegawai di berbagai jawatan perhubungan menyiarkan isi proklamasi itu ke seluruh pelosok negeri. Bahkan para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, meskipun telah disegel oleh pemerintah Jepang, juga berusaha menyebarluaskan Proklamasi itu ke seluruh dunia. Seketika itu juga gema lonceng kemerdekaan membahana ke seluruh pelosok Nusantara, bahkan berlanjut ke seantero dunia.


Kini momen tersebut seakan terulang lagi, kita merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia dalam suasana bulan suci ramadan, bulan yang penuh dengan berkah. Sungguh berbahagia rasanya karena kita dapat merasakan dua anugerah besar dalam waktu yang bersamaan.


Semoga momentum ini dapat kita jadikan sebagai ajang refleksi untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita. Dengan semangat nasionalisme inilah kita akan dapat menemukan kembali karakter asli bangsa kita, yaitu bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, etos kerja, semangat gotong-royong, dan budaya nusantara yang berbhineka tunggal ika. Bangsa yang membangun dirinya sendiri sesuai dengan karakternya tanpa bergantung pada bangsa lain, tentu akan berdampak pada kemandirian bangsa secara politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Suatu bangsa yang mandiri adalah hakikat dari bangsa yang merdeka.

Dirgahayu Indonesiaku tercinta!