Kamis, 22 April 2010

Ibu Menteriku Sayang, Ibu Menteriku Panik

Kamis pekan lalu, Pengadilan Pajak kembali kedatangan reporter dari stasiun televisi nasional, RCTI dan Anteve. Saya yang saat itu sedang bertugas sebagai Kepala Subbag Persidangan II dan Jeffry Wagiu selaku Kepala Subbag Pelayanan Informasi kembali harus melayani mereka, setelah pimpinan kami menolak untuk memberikan keterangan secara langsung. Atas persetujuan pimpinan, kami mengijinkan mereka untuk meliput kegiatan persidangan dan mewawancarai kami.


Seperti yang sudah kami duga sebelumnya, mereka datang lagi bukan sekedar untuk meliput jalannya persidangan, akan tetapi untuk mengonfirmasi pernyataan Menteri Keuangan Dr. Sri Mulyani Indrawati sehari sebelumnya. Di depan media, Bu Ani menyatakan akan mengganti semua satpam dan memasang CCTV di Pengadilan Pajak. Mereka juga ingin mengonfirmasi perihal temuan PPATK atas transaksi pada rekening salah seorang hakim pajak yang mencurigakan.


Saya pribadi yang juga mengetahui pernyataan Ibu Menteri tersebut hanya dari media tentu memberikan jawaban apa adanya. Di depan sorotan kamera dan lampu kedua stasiun televisi itu, saya menjawab tidak tahu dan belum ada konfirmasi mengenai penggantian satpam dan pemasangan CCTV tersebut. Kalaupun hal tersebut dilakukan, itu merupakan kewenangan dari Menteri Keuangan. Saya juga memberikan jawaban yang sama terkait dengan temuan PPATK atas transaksi pada rekening salah seorang hakim pajak yang mencurigakan. Saya mempersilahkan mereka untuk bertanya kepada PPATK sebagai pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Lagipula saya memang tidak berwenang untuk menanggapinya karena sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan, termasuk pengawasan terhadap hakim pajak adalah kewenangan dari Mahkamah Agung, bukan Sekretariat Pengadilan Pajak.


Terungkapnya makelar kasus (markus) yang melibatkan Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, berdampak luar biasa terhadap Pengadilan Pajak. Satu-satunya institusi peradilan pajak di negeri ini yang tadinya tidak begitu dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tiba-tiba menjadi sedemikian populernya. Tidak tanggung-tanggung, Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan sangat meyakinkan merilis hasil penelitiannya yang menyebutkan Negara dikalahkan oleh Pengadilan Pajak hingga 80%, hal tersebut bahkan dipertegas lagi oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Mochammad Tjiptardjo, yang menyatakan dari 51 kasus yang ditangani oleh Gayus Tambunan, Direktorat Jenderal Pajak mengalami kekalahan sebanyak 40 kasus.


Betulkah tudingan tersebut? Saya tidak bermaksud mengatakan Pengadilan Pajak bebas dari praktik markus karena sudah menjadi rahasia umum, hampir semua institusi peradilan dan hukum di negeri ini sudah atau setidaknya pernah terkena virus markus. Berdasarkan data yang ada, Direktorat Jenderal Pajak memang lebih sering mengalami kekalahan dari Wajib Pajak ketika bersengketa di Pengadilan Pajak, namun apabila dikaji lebih dalam dengan mengikuti persidangan-persidangan di Pengadilan Pajak secara terbuka ataupun dengan mengkaji putusan-putusan Pengadilan Pajak, kekalahan Direktorat Jenderal Pajak tersebut umumnya terjadi karena koreksi dan penetapan pajak yang telah dilakukan oleh petugas pajak tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, hanya berdasarkan asumsi, atau Wakil Dirjen Pajak yang hadir dalam sidang tidak mampu mempertahankan koreksi atau penetapan pajaknya. Satu hal lagi yang perlu dipahami adalah suatu penetapan pajak yang masih menjadi sengketa, belum dapat dianggap sebagai hak Negara. Apalagi kalau kemudian terbukti tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan, maka penetapan pajak tersebut tidak sah dan bukan merupakan hak Negara.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tudingan ICW dan Dirjen Pajak tersebut sungguh tidak didukung dengan fakta yang cukup dan memberi kesan adanya upaya untuk membentuk opini publik yang hanya bertujuan untuk mendeskriditkan Pengadilan Pajak.


Hal tersebut bisa saya pahami karena ketidakpahaman teman-teman di ICW tentang hukum dan dinamika perpajakan di negeri ini. Hal yang mengganggu logika berpikir saya adalah sikap Ibu Menteri Keuangan sendiri yang sangat agresif dalam merespon kasus ini. Tidak tanggung-tanggung, tanpa menunggu hasil penyelidikan dan pemeriksaan atas keterlibatan bawahannya di Sekretariat Pengadilan Pajak dalam kasus markus, Ibu Menteri telah menyatakan rencananya untuk memutasi semua pengawai Kementerian Keuangan yang bertugas di Sekretariat Pengadilan Pajak tanpa pandang bulu. Secara tidak langsung, Ibu Menteri telah memvonis semua pegawai di Sekretariat Pengadilan Pajak terlibat markus dan menghukumnya. Kalau itu benar terjadi, maka hal tersebut tentu akan sangat memukul perasaan para bawahannya sendiri yang telah belasan tahun melayani Wajib Pajak yang ingin mendapatkan keadilan. Ibu Menteri yang pernah dizalimi dalam kasus Century, kini melakukan hal yang sama terhadap bawahannya sendiri dalam kasus markus.


Seorang teman saya menduga, hal tersebut memang sengaja dilakukan demi melindungi institusi yang lebih besar. Pengadilan Pajak yang pegawainya hanya sekitar 300 orang memang didesain untuk dikorbankan karena ongkosnya lebih kecil, ketimbang harus membongkar habis kebobrokan di institusi besar tersebut yang akan menurunkan motivasi pegawainya yang jumlahnya puluhan ribu orang dan dapat berdampak luas pada terganggunya penerimaan atau pendapatan negara. Padahal Pengadilan Pajak selama ini justru menjadi banteng terakhir bagi Wajib Pajak yang tidak lain adalah rakyat Indonesia untuk mendapatkan keadilan dari kesewenang-wenangan sebagian oknum aparat pajak. Namun saya pribadi menduga Ibu Menteri melakukan itu tidak bermaksud untuk mengorbankan institusi Pengadilan Pajak, hal tersebut terjadi tidak lebih dari ekspresi kepanikan Ibu Menteri dalam menghadapi hantaman badai masalah yang datang bertubi-tubi dan cenderung memojokkan beliau. Tidak menutup kemungkinan, kondisi Ibu Menteri ini telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melaksanakan agenda pribadinya.


Indikasinya bisa dilihat dari keputusan untuk mengganti satpam di gedung Sutikno Slamet, memasang CCTV, dan pintu detektor yang menurut saya tidak akan efektif dan sia-sia. Pengetatan pengamanan dengan memeriksa setiap barang bawaan seperti koper dan kardus-kardus yang berisi dokumen Wajib Pajak atau aparat pajak yang datang dan memasang CCTV di tiap ruang sidang, tidak akan efektif untuk menutup peluang terjadinya praktik markus, karena logikanya praktik markus dan kongkalikong tidak mungkin dilakukan di ruang sidang, peluang terbesar atau tempat yang aman dan nyaman untuk bisa melakukan itu justru di tempat lain, seperti di tempat makan, di hotel atau di ruangan lain yang tertutup.


Memutasi semua pegawai Kementerian Keuangan yang bertugas di Sekretariat Pengadilan Pajak tanpa pandang bulu dan menggantinya dengan pegawai baru juga tidak akan menutup peluang terjadinya praktik markus. Tidak ada yang bisa menjamin para pegawai baru nanti lebih berkompeten dan memiliki integritas yang tinggi. Keadaan ini justru telah berdampak pada kekecewaan dan penurunan motivasi para pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak yang berimplikasi pada menurunnya kinerja yang akan menghambat penyelesaian sengketa pajak. Bahkan tidak sedikit yang mengalami shock. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan pegawai yang selama telah berusaha menjaga integritasnya, bekerja dengan baik, tidak pernah terlibat dengan markus, dan hidup sederhana, harus ikut menanggung perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.


Menurut hemat saya, hal yang semestinya dilakukan adalah pembenahan secara menyeluruh, tidak parsial atau sepotong-sepotong, bukan hanya di Pengadilan Pajak akan tetapi di semua unit Kementerian Keuangan. Reformasi birokrasi melalui penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan kualitas manajemen sumber daya manusia (SDM) mesti dilanjutkan dan didorong lebih kuat. Oknum yang terbukti bersalah mesti dihukum, sedangkan yang tidak bersalah mesti dipulihkan nama baiknya. Celah-celah yang memungkinkan terjadinya persekongkolan jahat untuk merampok uang rakyat di semua lini harus ditutup rapat-rapat. Bukan hanya ditingkat peradilan pajak, namun dari hulu hingga hilir, yaitu sejak proses pelaporan pajak, pemeriksaan, keberatan, hingga banding. Semoga.

Jumat, 16 April 2010

Reformasi Pengadilan Pajak

Terungkapnya makelar kasus (markus) yang melibatkan Gayus Tambunan, pegawai di Direktorat Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak, berdampak luar biasa terhadap Pengadilan Pajak. Satu-satunya institusi peradilan pajak di negeri ini yang tadinya tidak begitu dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tiba-tiba menjadi sedemikian populernya. Tidak tanggung-tanggung, Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan sangat meyakinkan merilis hasil penelitiannya yang menyebutkan Negara dikalahkan oleh Pengadilan Pajak hingga 80%, hal tersebut bahkan dipertegas lagi oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Mochammad Tjiptardjo, yang menyatakan dari 51 kasus yang ditangani oleh Gayus Tambunan, Direktorat Jenderal Pajak mengalami kekalahan sebanyak 40 kasus.


Betulkah tudingan tersebut? Berdasarkan data yang ada, Direktorat Jenderal Pajak ternyata memang lebih sering mengalami kekalahan dari Wajib Pajak ketika bersengketa di Pengadilan Pajak. Namun apabila dikaji lebih dalam dengan mengikuti persidangan-persidangan di Pengadilan Pajak atau pun dengan mengkaji putusan-putusan Pengadilan Pajak, kekalahan Direktorat Jenderal Pajak tersebut terjadi bukan karena adanya itikad buruk dari Pengadilan Pajak untuk mengalahkan aparat pajak, akan tetapi sebagian besar lebih pada koreksi dan penetapan pajak yang dilakukan oleh bawahan petugas pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, hanya berdasarkan asumsi, atau Wakil Dirjen Pajak yang hadir dalam sidang tidak mampu mempertahankan koreksi atau penetapan pajaknya. Satu hal lagi yang perlu dipahami adalah suatu penetapan pajak yang masih menjadi sengketa, belum dapat dianggap sebagai hak Negara. Apalagi kalau kemudian terbukti tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan, maka penetapan pajak tersebut tidak sah dan bukan merupakan hak Negara.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tudingan ICW dan Dirjen Pajak tersebut tidak tidak didukung dengan fakta yang cukup dan memberi kesan adanya upaya untuk membentuk opini publik yang hanya bertujuan untuk mendeskriditkan Pengadilan Pajak.


Terlepas dari adanya tudingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya tersebut, harus diakui memang Pengadilan Pajak yang masih berusia delapan tahun ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan yang harus dibenahi. Masih ada celah-celah yang memungkinkan terjadinya praktik makelar kasus atau persekongkolan. Celah-celah yang dapat diduga memungkinkan terjadinya praktik makelar kasus atau persekongkolan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk memberikan keterangan dan bukti-bukti serta melakukan uji bukti di luar persidangan.


Celah-celah yang memungkinkan terjadinya praktik makelar kasus atau persekongkolan tersebut harus ditutup rapat-rapat. Semua keterangan, bukti-bukti dan proses uji bukti harus dilakukan di muka persidangan atau di dalam ruang sidang yang disaksikan oleh para Hakim, Panitera, dan masyarakat umum yang hadir. Segala hal yang memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk bertemu di lingkungan Pengadilan Pajak selain dalam proses pemeriksaan di ruang sidang mesti ditiadakan.


Terkait dengan kedudukan Pengadilan Pajak yang masih berada di bawah dua atap. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, namun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya masih dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Keadaan ini diduga menjadi salah satu sebab yang menghambat independensi para hakim untuk dapat memutus sengketa pajak dengan adil. Mahkamah Agung sendiri gamang dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasannya.


Meskipun dugaan itu masih dapat diperdebatkan, namun apabila kita kaitkan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mensyaratkan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana badan peradilan lainnya, seperti peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kedudukan Pengadilan Pajak ini memang belum sesuai dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tersebut. Cepat atau lambat, organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Pajak memang wajib diintegrasikan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian fungsi pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung dapat dilaksanakan secara lebih efektif.


Selain kedua hal tersebut di atas, masalah lain yang hingga saat ini juga masih menjadi hambatan dalam penyelesaian sengketa pajak adalah masih menumpuknya berkas sengketa yang belum diputus di Pengadilan Pajak. Hal ini bisa terjadi karena banyak hal, baik dari internal Pengadilan Pajak sendiri maupun eksternal.


Penyebab internal di Pengadilan Pajak sendiri antara lain adalah kapasitas Majelis Hakim dan sumber daya manusia pendukung yang belum memadai secara kualitas maupun kuantitas. Saat ini untuk menyelesaikan sekitar 9.792 berkas sengketa, di Pengadilan Pajak hanya ada 17 Majelis dengan 48 orang hakim. Setiap Majelis harus diisi 3 orang hakim, sehingga jumlah hakim yang seharusnya ada adalah 51 orang. Namun karena hakim yang tersedia hanya ada 48 orang, maka untuk mengisi kekosongan hakim di Majelis tertentu, dirangkap oleh hakim dari Majelis lainnya. Masalah lainnya adalah sistem pemeriksaan dalam sidang pada sebagian Majelis yang tidak sistematis dan berbelit-belit, sehingga sidang pemeriksaan memakan waktu yang lama.


Hal lain yang juga memengaruhi lamanya proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak adalah terkait dengan pihak-pihak yang bersengketa sendiri, terutama dalam hal lamanya pemenuhan atas permintaan keterangan dan bukti-bukti dari pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pemeriksaan.


Adapun penyebab eksternalnya antara lain adalah besarnya jumlah berkas sengketa yang masuk. Pada Tahun 2008 tercatat ada 6.428 permohonan banding dan gugatan yang masuk ke Pengadilan Pajak, pada tahun 2009 mengalami peningkatan hingga mencapai 7.462 permohonan banding dan gugatan, dan sampai dengan Februari 2010 ini, telah masuk 1.037 permohonan banding dan gugatan. Hal tersebut terjadi diakibatkan oleh tidak efektifnya lembaga Keberatan di Direktorat Jenderal Pajak yang cenderung menolak permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dengan mengabaikan keterangan dan bukti-bukti yang ditunjukkan oleh Wajib Pajak. Oleh karenanya atas Keputusan Keberatan dari Dirjen Pajak tersebut diajukan banding oleh Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak.


Penyebab masalah internal dan eksternal tersebut sesungguhnya dapat diatasi dengan upaya yang sungguh-sungguh, menyeluruh dan sistemik, tidak parsial atau sepotong-sepotong. Solusi untuk masalah kapasitas Majelis Hakim dan sumber daya manusia pendukung yang belum memadai secara kualitas maupun kuantitas dapat diatasi melalui penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan kualitas manajemen sumber daya manusia (SDM). Sedangkan masalah mengenai sistem pemeriksaan dalam sidang yang tidak sistematis dan berbelit-belit sehingga memakan waktu yang lama, dapat diatasi dengan menerapkan teknik pemeriksaan yang sistematis dan terstruktur dengan tetap memperhatikan ketelitian dan kecermatan dalam pemeriksaan.


Adapun mengenai masalah lamanya pemenuhan atas permintaan keterangan dan bukti-bukti dari pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pemeriksaan dapat diatasi dengan ketegasan Majelis Hakim dalam sidang pemeriksaan untuk tidak memberikan kesempatan yang terlalu lama kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk memenuhi permintaan keterangan dan bukti-buktinya.


Sedangkan masalah eksternal mengenai besarnya jumlah berkas sengketa yang masuk, hanya dapat diatasi dengan melibatkan pihak-pihak terkait yang berwenang. Saat ini berkembang wacana untuk mendisintegrasikan Direktorat Keberatan dan Banding dari Direktorat Jenderal Pajak dan mendisintegrasikan bagian yang menangani keberatan dan banding di Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Lembaga atau subunit yang bertugas melayani keberatan Wajib Pajak ini semestinya berdiri sendiri sebagai satu unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan. Dengan posisi seperti itu, diyakini lembaga keberatan tersebut akan terhindar dari konflik kepentingan karena menangani keberatan atas ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh unitnya sendiri.


Sekretariat Pengadilan Pajak sendiri yang bertugas memberikan layanan dan dukungan administrasi penyelesaian sengketa pajak sesungguhnya telah melakukan berbagai upaya, namun harus diakui memang masih banyak kekurangan disana-sini, seperti misalnya belum efektif dan efisiennya proses pelayanan administrasi dan informasi dalam penyelesaian sengketa pajak, belum optimalnya pelaksanaan penetapan, evaluasi, penilaian, kenaikan dan penurunan jabatan dan peringkat bagi pelaksana, masih kurangnya pendidikan dan latihan yang berbasis kompetensi, serta masih belum jelasnya pola mutasi dan promosi pegawai, dan sebagainya. Harapan kita ke depan, semoga pelaksanaan program reformasi Pengadilan Pajak ini akan terus berkelanjutan dan berproses ke arah yang lebih baik.