Minggu, 27 Desember 2009

Prita dan Reformasi Pelayanan Kesehatan

Koin keadilan dari masyarakat luas untuk Prita Mulyasari yang akhirnya terkumpul mencapai Rp 650 juta dan masih terus bertambah hingga hari ini. Koin-koin tersebut telah diserahkan ke Prita untuk membayar denda Rp 204 juta yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang yang memenangkan gugatan perdata dari Rumah Sakit Omni Internasional (RS Omni) terhadap Prita, sedangkan sisanya akan disumbangkan kepada yayasan untuk membantu orang-orang yang mengalami nasib yang sama dengannya. Prita yang sekedar mencurahkan perasaan kecewanya atas buruknya pelayanan RS. Omni melalui media internet, justru digugat dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Meski kemudian RS Omni mencabut gugatan perdatanya tersebut, namun masalah pidana yang sempat membuat Prita harus meringkuk di penjara selama 3 minggu, belum selesai. Ketidakadilan yang diterima oleh Prita menuai simpati yang luar biasa dari masyarakat luas. Betapa tidak, di Negara yang sudah tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan dan keadilan kepada rakyatnya, ternyata masih memiliki cukup banyak warga Negara yang peduli dan punya hati nurani.

Kasus Prita ini dapat ditinjau dalam banyak perspektif, salah satunya adalah masalah pelayanan kesehatan. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi dan merupakan kewajiban Pemerintah selaku penyelenggara Negara untuk memfasilitasinya, namun kasus yang dialami Prita ini telah menunjukkan kepada kita bagaimana Pemerintah selaku penyelenggara Negara telah gagal dalam melaksanakan kewajibannya itu. Sesungguhnya apa yang dialami oleh Prita adalah ibarat fenomena gunung es yang tampak di permukaan laut, masih banyak Prita-prita lain yang mengalami nasib serupa karena pelayanan kesehatan yang buruk dan ketidakadilan.

Kita tentu sering mendengar keluhan mengenai mahalnya biaya perawatan di rumah sakit dan harga obat-obatan. Banyak pasien yang mengalami penolakan karena tidak mampu menyediakan uang jaminan. Kalaupun kemudian diterima untuk dirawat, pasien akan dibebankan biaya perawatan dan obat-obatan yang sangat memberatkan. Padahal Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) telah mengamanatkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pengertian layak di sini tentu tidak terbatas pada fasilitas gedung dan peralatannya saja, akan tetapi juga adalah pelayanan dan harganya yang terjangkau. Buruknya pelayanan kesehatan yang diterima oleh Prita dan masyarakat umum adalah bukti kegagalan Pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak.

Oleh karenanya sudah merupakan kewajiban Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan untuk lebih mengoptimalkan lagi kinerjanya dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Sebenarnya Pemerintah sudah menerbitkan cukup banyak undang-undang dan peraturan yang terkait dengan pelayanan kesehatan, seperti misalnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Dalam Undang-undang tentang Kesehatan telah diatur mengenai keterjangkauan biaya kesehatan, dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharuskan mengalokasikan anggaran masing-masing 5% dan 10% untuk pelayanan kesehatan, diatur juga mengenai jaminan pengendalian harga obat yang terjangkau dan perlindungan hukum kepada pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.

Dalam Undang-undang tentang Praktik Kedokteran juga telah diatur mengenai hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis terhadap dirinya, seperti diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasien juga berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis dan mendapatkan isi rekam medis. Diatur juga kewajiban dokter untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar dan prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan, dokter juga berkewajiban untuk melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, bahkan diatur juga hukuman pidana kurungan satu tahun atau denda hingga Rp 50 juta kepada setiap dokter yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya tersebut.

Sementara dalam Undang-undang tentang Rumah Sakit juga telah diatur mengenai pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) yang bertugas untuk mengawasi kinerja rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya. Pasien dapat menyampaikan keluhannya kepada BPRS tersebut. Undang-undang ini secara khusus melindungi pasien yang datang ke rumah sakit, dimana pihak rumah sakit tidak boleh lagi menolak warga masyarakat yang datang untuk berobat. Bahkan juga telah diatur mengenai hukuman pidana penjara 10 tahun atau denda Rp 1 miliar kepada pihak rumah sakit yang menolak warga masyarakat yang datang ke rumah sakit untuk berobat.

Undang-undang dan peraturan terkait sebenarnya sudah cukup banyak tersedia, kini tinggal niat dari Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan untuk mengimplementasikannya dengan melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas. Apabila undang-undang dan peraturan terkait tersebut dilaksanakan, semestinya kasus-kasus seperti yang dialami oleh Prita tidak perlu terjadi.

Lantas bagaimana kelanjutannya? Kita tunggu kebijakan Ibu Menteri Kesehatan kita yang baru, Dr. dr. Endang Rahayu Sedyaningsih dalam melanjutkan reformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri ini agar sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) yang telah mengamanatkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Semoga.

(dari berbagai sumber)

Sabtu, 26 Desember 2009

Refleksi 5 Tahun Tsunami Aceh

Hari ini, lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, tsunami meluluhlantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nias dan sekitarnya. Musibah besar yang melanda Bumi Serambi Mekah itu menyapu bersih bangunan sepanjang 800 kilometer garis pantai, mengakibatkan korban tewas sekitar 166.080 jiwa, sekitar setengah juta orang hilang, ada sekitar 8.019 orang mengalami luka-luka dan tercatat ada 617.159 orang menjadi pengungsi yang tersebar di 15 kabupaten di NAD dan Sumatera Utara, hingga ke Medan dan Jakarta. Kerugian materi diperkirakan mencapai Rp 50 triliun lebih. Selain itu, bencana tersebut tentu juga berdampak sosial pada masyarakat NAD dan sekitarnya, seperti meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.


Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang dibentuk oleh Pemerintah dibantu oleh masyarakat internasional telah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias dengan menelan biaya sebesar USD 7 miliar atau sekitar Rp 70 triliun. Ada sekitar 118.000 rumah baru yang telah dibangun, jalan sepanjang 3.000 kilometer, perbaikan 100.000 hektar tanah pertanian dan 900 pusat kesehatan, dan masih banyak lagi. Rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh dan Nias relatif lebih cepat dan sukses dibandingkan negara-negara lain yang juga menjadi korban tsunami, meski di sana-sini masih terdapat masalah, seperti masalah penyelewengan dana bantuan yang jumlahnya tidak sedikit. BRR telah mengakhiri tugasnya, namun masih meninggalkan pekerjaan rumah yang mesti segera diatasi, seperti masih adanya korban yang belum mendapatkan mata pencaharian dan pengungsi yang tidak mendapatkan bantuan perumahan hingga kini.


Demikianlah, musibah yang melanda saudara-saudara kita di Aceh dan Nias tersebut tentu memberikan hikmah kepada kita semua. Semoga musibah tersebut semakin meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan, pemilik alam semesta ini dan semakin meningkatkan rasa persaudaraan dan persatuan kita sebagai sesama anak bangsa tanpa membedakan suku, ras, dan agama. InsyaAllah.

Adnan Abdullah

(dari berbagai sumber)

Selasa, 15 Desember 2009

Obat Mahal

Kita tentu sering mendengar keluhan mengenai mahalnya harga obat yang diresepkan oleh dokter, bahkan mungkin kita sendiri atau keluarga kita pernah mengalami hal yang sama. Bagi golongan menengah ke atas, hal tersebut tentu bukan masalah, namun akan menjadi masalah besar ketika yang mengalaminya adalah saudara-saudara kita yang berpenghasilan pas-pasan. Apalagi kalau harus dirawat di rumah sakit, selain biaya perawatan yang mahal, pasien dan keluarganya juga harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membeli obat-obatan. Hal tersebut tentu akan sangat memberatkan. Banyak pasien yang tidak tertolong karena tidak mampu membeli obat yang harganya mahal. Tentu timbul pertanyaan mengapa harga obat mahal? Apabila dibandingkan dengan negara lain, harga obat paten atau bermerek di Indonesia memang relatif jauh lebih mahal. Di negara lain, harga obat paten paling mahal dua kali obat generik, namun di Indonesia, selisihnya bisa sampai 20 kali lipat.

Setelah ditelusuri, ternyata penyebab mahalnya harga obat paten atau bermerek adalah karena besarnya biaya promosi. Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan dengan maksud untuk memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk, baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.

Sebenarnya merupakan hal yang lumrah bagi perusahaan farmasi untuk mengalokasikan biaya promosi, namun besarnya biaya promosi yang dikeluarkan tersebut tetap harus mengacu pada prinsip kewajaran menurut kebiasaan pedagang yang baik.

Dalam prakteknya, ada berbagai mekanisme yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dalam mempromosikan produk obat-obatannya, selain dengan cara-cara umum, seperti melalui media cetak dan elektronik, perusahaan farmasi juga sering melakukan promosi melalui media lain, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Biaya registrasi, tiket pesawat, dan hotel untuk para dokter dalam mengikuti training yang berhubungan dengan produk perusahaan farmasi yang dibayarkan langsung ke panitia dan travel agent tersebut kemudian dibiayakan sebagai Biaya Promosi.

Perusahaan farmasi sendiri mengakui bahwa obat-obatan yang dipromosikan oleh perusahaan farmasi yang masuk dalam kategori ethical atau prescription product (obat resep), sesuai kode etik pemasarannya, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara umum seperti melalui media cetak dan elektronik, akan tetapi melalui media yang bersifat ilmiah, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Tujuannya agar setelah para dokter mengetahui kegunaan obat-obatan tersebut akan menuliskan obat-obatan tersebut pada resep untuk pasiennya.

Penjelasan dari perusahaan farmasi tersebut cukup logis, namun demikian sudah menjadi rahasia umum mengenai adanya kebijakan tertentu perusahaan farmasi kepada dokter-dokter yang meresepkan obat mereka. Modusnya bermacam-macam, mulai dari biaya mengikuti seminar sekaligus liburan ke luar negeri, hingga pemberian hadiah mobil baru. Hal ini tentu akan mendorong para dokter untuk meresepkan obat dengan harga yang relatif mahal dan memberatkan pasiennya.

Pemerintah selaku penyelenggara Negara tentu bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ini. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Oleh karenanya memang diperlukan adanya regulasi dari pemerintah untuk menjaga tingkat kewajaran Biaya Promosi tersebut menurut kebiasaan pedagang yang baik, guna melindungi kepentingan pasien serta pelayanan kesehatan secara umum. Instansi Pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini tentunya adalah Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, Departemen Kesehatan sendiri telah mengeluarkan berbagai keputusan atau peraturan yang terkait dengan pengendalian atau penurunan harga obat-obatan tersebut, baik yang bermerek maupun generik. Gabungan Pengusaha Farmasi juga sudah pernah menurunkan harga obat esensial generik bermerek, meski kemudian dengan berbagai alasan harga obat-obatan paten atau bermerek kembali mengalami kenaikan.

Belum lama ini, Departemen Keuangan Republik Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 104/PMK.03/2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Biaya Promosi dan Penjualan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa biaya promosi dan/atau biaya penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria-kriteria seperti untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan, dikeluarkan secara wajar menurut adat kebiasaan pedagang yang baik, dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas, dan diterima oleh pihak lain.

Dalam peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur Biaya Promosi dibatasi hanya boleh dibiayakan sebanyak satu kali oleh produsen atau distributor utama atau importir tunggal. Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto juga dibatasi tidak melebihi 2% dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00. Perusahaan farmasi juga wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan pada pihak lain. Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga pokok. Adapun tata cara pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Seperti sudah diduga sebelumnya, peraturan Menteri Keuangan tersebut dikeluhkan oleh Gabungan Pengusaha Farmasi, terutama mengenai batasan 2% Biaya Promosi dari peredaran usaha. Batasan 2% tersebut dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan rata-rata belanja promosi perusahaan farmasi di seluruh dunia yang tak kurang dari 25 persen dari peredaran usaha per tahun. Lantas bagaimana kelanjutannya? Rasanya perlu dicarikan jalan keluar yang adil, adil bukan hanya untuk perusahaan farmasi, tapi juga adil buat penerimaan pajak Negara, dan yang terpenting adalah adil buat pasien atau pelayanan kesehatan secara umum yang sudah merupakan tanggung jawab Pemerintah selaku penyelenggara Negara. Kita tunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.

(dari berbagai sumber)