Rabu, 22 April 2009

Jilbab vs Pacar

Tiga hari yang lalu saya menulis ungkapan dalam facebook :
“Seorang wanita muslim memutuskan untuk melepas jilbabnya karena memilih untuk berpacaran, itu dia lakukan sebagai penghormatan bagi wanita berjilbab?”

Tujuan saya menulis itu tidak lain adalah untuk sharing dengan teman-teman atas keputusan seorang teman saya yang sungguh di luar dugaan saya. Saya menggunakan tanda Tanya (?) diakhir anak kalimat saya karena saya pun belum tahu persis alasan dia yang sesungguhnya melepaskan kerudungnya itu. Ternyata di luar dugaan saya pula, saya langsung menerima tanggapan yang cukup banyak dan beragam dari teman-teman facebook. Tentu saja ada yang pro dan tidak sedikit yang kontra.

Ada yang menanggapinya dengan ungkapan :
“tidak semudah itu kalau niat dan iman yang kokoh disertai pemahaman agama yang benar. Tindakannya adalah bukan cerminan wanita muslimah.”
Ada juga yang menanggapi dengan ungkapan :
“O tentu tidak, bung Adnan. Bukankah dengan dia melepaskan jilbabnya, dia malah tidak menghormati dirinya sendiri?”
Seorang teman juga menanggapi dengan ungkapan :
“Yang saya tahu wanita berjilbab tidak mengenal pacaran.”
Ada juga yang menanggapi dengan ungkapan :
“Barang antik yang sangat berharga selalu kita letakkan di etalase istimewa, menjadikannya menawan, tapi apa jadinya bila diletakkan di tempat terbuka?”
Satu lagi teman saya memberi tanggapan yang agak berbeda dengan yang lain :
“Mungkin dia punya alasan lain yang kita nggak tahu atau mengerti. Mencoba berpikir positif aja mas, siapa tahu di balik itu dia punya niat baik, misalnya, buat memposisikan dirinya ke pasangannya, lalu mengajak ke kebaikan.”

Bagi saya semua tanggapan teman-teman saya itu benar, tentu ditinjau dari sudut pandangnya masing-masing. Dan saya tentu sangat berterima kasih karena setidaknya tanggapan-tanggapan mereka itu sedikit banyak telah membantu saya memahami dan membuat analisis yang lebih dalam atas keputusan teman saya untuk melepaskan atau lebih tepatnya menanggalkan kerudung yang selama ini menutupi auratnya itu.

Tentu banyak yang bertanya-tanya, mengapa saya bisa menyimpulkan bahwa wanita itu melepaskan kerudungnya yang selama ini menutup auratnya karena memilih untuk berpacaran sebagai penghormatan kepada wanita berjilbab? Apa hubungannya jilbab/kerudung dengan berpacaran dan penghormatan kepada wanita berjilbab?

Kita mulai dengan membahas hubungan antara jilbab/kerudung dengan pacaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu teman saya sebelumnya bahwa sepengetahuan dia, wanita berjilbab tidak mengenal pacaran. Memang benar, apabila ditinjau dari hukum Islam, pacaran atau khalwat, diharamkan dalam Islam.

Khalwat berasal dari kata khalaa-yakhluu-khalwah, artinya menyendiri. Istilah Khalwat dalam Islam digunakan untuk hubungan antara dua orang yang menyepi atau berdua-duaan di suatu tempat tanpa ada mahram atau muhrim-nya. Cinta adalah anugerah Tuhan yang terindah, cinta itu suci dan halal, namun cinta bisa menjadi haram, apabila kita salah dalam mengamalkannya. Cinta yang tidak dipagari oleh ikatan perkawinan yang sah menurut syariat Islam adalah haram hukumnya.

Allah berfirman dalam Al-Quran, surah Al-Isra’ ayat 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (QS 17:32).

Dalam ayat tersebut sangat jelas dan tidak perlu penafsiran lagi bahwa Allah melarang kita untuk sekedar mendekati zina, apalagi sampai melakukannya. Larangan mendekati di sini bermakna preventif atau antisipatif. Mengapa zina tidak boleh didekati? Logika yang paling mungkin adalah karena Allah Maha Tahu bahwa orang yang mendekati zina tidak akan mungkin bisa selamat dari zina oleh karena lemahnya manusia dan hebatnya tipu daya syaitan.

Imam Ibn Katsir menafsirkan makna dari kata laa taqrabu adalah janganlah kalian mendekati dan melakukan perbuatan yang dapat menjadi sebab bagi terjadinya perzinaan atau mengajak kepada zina tersebut karena itu adalah merupakan dosa besar dan perbuatan yang amat buruk. Oleh karenanya, jelaslah bahwa semua perbuatan yang mendekati zina, seperti berduaan, memegang, saling memandang, berciuman dan seterusnya, hukumnya haram berdasarkan ayat ini.

Dalam ajaran dan sejarah islam tidak dikenal istilah pacaran, sehingga tidak dikenal pula istilah pacaran islami sebagaimana didengung-dengungkan oleh pihak-pihak yang ingin membenarkan pacaran yang dibungkus dengan istilah Islam, seakan-akan perbuatan tersebut sesuai dengan ajaran Islam, padahal Nabi dan para sahabatnya tidak pernah menganjurkan dan mencontohkan prilaku berpacaran.

Rasulullah tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berdua-duaan dengan lawan jenis tanpa didahului oleh ikatan perkawinan yang sah menurut syariat Islam.

Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan wanita kecuali ada muhrimnya, dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama muhrimnya (HR. Bukhari-Muslim).

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW juga pernah bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan sekali-kali dia berdua-duaan dengan seorang perempuan yang tidak bersama muhrimnya, karena yang ketiganya adalah syaitan (HR. Ahmad).

Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah sangat memuliakan wanita, sehingga apabila ada seorang pria yang menyukai seorang wanita, maka wajiblah ia untuk datang melamar dan menikahi wanita yang dimaksud secara baik-baik menurut syariat Islam.

Pertanyaannya, mungkinkah kita menikah tanpa didahului pacaran? Salah satu teman di facebook mengungkapkan :
“Saya ketemu istri saya, satu minggu kemudian kami langsung menikah dan Alhamdulillah dengan kasih sayang Allah, kami telah pacaran dalam pernikahan hampir 18 tahun, oh ya, dia berjilbab ketika jilbab masih sesuatu yang asing dan nyaris tabu di negeri ini.”

Jadi terjawab sudah bahwa wanita muslim apalagi yang mengenakan jilbab/kerudung diharamkan untuk berkhalwat atau berpacaran. Lalu mengapa teman saya itu memilih untuk melanggar larangan agamanya sendiri demi pacarnya? Mungkin karena rasa cintanya kepada pacarnya itu, masih jauh lebih besar daripada cintanya kepada Allah. Cintanya yang besar itu juga belum mampu memberinya spirit untuk berani memutuskan untuk menghalalkan hubungannya itu dalam pernikahan yang sah. Itu adalah pilihannya, dan kita harus menghormati pilihannya itu karena dia pasti sudah paham akan segala konsekuensi dari pilihannya itu.

Lantas apa maksudnya teman saya itu membuka jilbab/kerudungnya sebagai penghormatan kepada wanita berjilbab? Jawabannya adalah dengan dia menanggalkan jilbab/kerudungnya, maka dia dapat menjaga kesucian, harga diri, harkat dan martabat wanita berjilbab/berkerudung lainnya yang tetap memegang teguh ajaran agamanya dan menghindarkan cemoohan orang pada wanita berjilbab/berkerudung lainnya. Wallahualam.

Demikianlah adanya, semoga Al-Quran dan Hadist dapat menjadi pedoman bagi kita untuk introspeksi diri. Apabila apa yang saya sampaikan ini benar, maka hakikatnya itu datang dari Allah, namun apabila saya salah, maka itu semata-mata karena kekhilafan saya. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua untuk kembali ke jalan yang benar. Insya Allah.