Rabu, 22 Oktober 2008

Obama, The New Hope of the United States as a Symbol of Democratic State


Barack Hussein Obama is a phenomenon. Several months a ago, he just an ordinary black man Senator of Illionis State. Now, he is a Democratic Candidate for the US Presidency by The Democratic National Convention. By his confidently performance in Presidential Debate againts the Republic Candidate, John McCain, he became the most popular person, not only in the US, but in the whole world. By his thoughtful, independent-minded leader, and charismatic speaking skill, he become a magnet to million people in the whole world.

If Obama elected as the US President, he will become a symbol of the US as a real of democratic state, the first black man president of the US, that is an anomaly to the doctrine of White – Anglo Saxon – Protestant. On the other hand, the white people majority in the US ought to accept him because he also a white people descendant. His father are black, but he was borne by a white woman from Kansas, US. Although his mother remarried with an indonesian and moved Obama to Indonesia, the muslim country, but now Obama is a Christian.

Obama and his wife Michelle are proud parents of two daughters, Malia Ann and Sasha. Obama as a Harvard Law School graduate, where he became the first African-American president of the Harvard Law Review, has rich and varied experiences life because growing up in different places with people who had differing ideas, and by his progressive thinking, he will be trusted as a real democrat figure. By his colorful backgroud, Obama was born in Honolulu, Hawaii, on August 4, 1961, son of Ann Dunham, a white woman from Kansas, US and Barack Hussein Obama Senior, a muslim-black man from Kenya, a Harvard-educated economist. Obama’s father eventually returned to Kenya, and Obama grew up with his mother in Hawaii, moved to Indonesia for a few years with his mother and step father, Lolo Soetoro, a muslim-javanese, then has a half-sister, Maya Soetoro who married with Konrad Ng, a chinese-canadian, he will be more flexible in the US foreign affairs and able to approach the developing and muslim countries.

By his mission, Change we can believe in, he promises will change the US military policies to be a democratic government by diplomatic approaches in their foreign affairs. In 2002, he publicly opposed the Iraq war and continues to call for withdrawal of the US troops from Iraq up till now. He said that if he elected as a President of the US, he will meet the US opposant countries leader. Hillary Clinton also believed in Obama will able to help the US financial crisis.

US Presidency Election will held on November 4, 2008. American people is going to elect their president. We are waiting and hoping, will they choose the right one, the president who will change the US as a military state to be a democratic state at home and foreign affairs, then praised by the whole world or not? Let us wait and see. In God we trust.

Rabu, 15 Oktober 2008

Obama, Harapan Baru Amerika Sebagai Ikon Negara Demokrasi


Barack Hussein Obama adalah fenomenon. Beberapa bulan yang lalu, dia hanyalah seorang senator berkulit hitam biasa yang tidak begitu dikenal, kecuali oleh warga Negara Bagian Illionis yang diwakilinya. Kini, setelah dia ditetapkan secara resmi sebagai calon Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat dan tampil meyakinkan dalam debat calon presiden AS yang disaksikan langsung oleh puluhan juta pasang mata, dia telah menjadi seorang yang paling populer saat ini, tidak hanya di AS, akan tetapi di seluruh dunia. Semua perhatian tertuju padanya. Dunia, terutama dunia ketiga sangat menaruh harapan besar pada figurnya yang demokrat. Dalam sejarah pemilihan presiden AS, belum pernah ada seorang calon presiden AS menjadi begitu diharapkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia seperti dirinya. Dengan modal pembawaannya yang tenang, murah senyum, percaya diri, dan kemampuannya dalam berorasi, dia telah menjadi magnit bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Apabila Obama terpilih menjadi presiden AS nanti, maka dia akan menjadi simbol pembuktian AS sebagai negara demokrasi (The Real Democratic State), negara yang selama ini telah memosisikan dirinya sebagai polisi demokrasi di dunia. Betapa tidak, dia akan menjadi presiden berkulit hitam pertama di AS. Dia akan menjadi anomali bagi doktrin politik White – Anglo Saxon – Protestant, dimana seorang Presiden AS haruslah seorang warga AS yang berkulit putih, keturunan Inggris, dan beragama kristen protestan. Meski warga AS yang mayoritas berkulit putih itu seharusnya dapat menerimanya sebagai bagian dari mereka karena sesungguhnya dia pun keturunan warga kulit putih. Meski ayahnya seorang pria berkulit hitam, namun dia lahir dari rahim seorang wanita berkulit putih, warga negara AS. Meski di masa kecilnya sempat tinggal di Indonesia, negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, saat ini Obama adalah seorang penganut kristen protestan yang taat. Oleh karenanya, sungguh naif, apabila masih ada warga AS yang mempersoalkan warna kulit, keturunan dan keyakinan yang dianutnya.

Obama sebagai seorang Sarjana Hukum lulusan Universitas Harvard dan aktivis Partai Demokrat yang gigih memperjuangkan demokrasi, diyakini akan menjadi figur demokrat sejati yang tegas. Dengan latar belakangnya yang penuh dengan warna, lahir di Honolulu, Hawaii dari rahim Ann Dunham, seorang wanita berkulit putih dan ayah kandungnya, Barack Obama Senior, seorang doktor di bidang ekonomi lulusan Harvard yang berkulit hitam, berkebangsaan Kenya dan beragama Islam, sempat tinggal di Indonesia, dididik secara islam oleh ayah tirinya Lolo Soetoro yang orang jawa, dan punya seorang adik perempuan, Maya Soetoro yang bersuamikan Konrad Ng, seorang warga Kanada keturunan Cina, Obama yang menikah dengan Michelle Robinson yang asli Chicago, dan telah dikaruniai dua orang anak perempuan, Malia Ann dan Sasha ini diyakini akan lebih luwes berdiplomasi dalam pergaulannya di dunia internasional dan tidak akan mengalami kesulitan untuk mendekati negara-negara dunia ketiga dan islam yang selama ini banyak dirugikan oleh kebijakan luar negeri AS.

Dengan misinya, Change we can believe in, dia berjanji akan mengubah wajah pemerintahan AS yang saat ini sangat militeristik menjadi sebuah pemerintahan demokratis yang lebih mengedepankan jalur diplomasi dalam kebijakan luar negerinya. Apalagi sejak lama, dia memang dikenal sangat menentang perang Irak yang telah menghabiskan begitu banyak anggaran belanja negara dan menewaskan ribuan tentara AS. Dia juga menyatakan akan mendekati pemimpin negara-negara yang selama ini menentang kebijakan luar negeri AS. Dia juga diyakini akan mampu membawa AS keluar dari krisis ekonomi saat ini.

Pemilihan Presiden AS tidak lama lagi. Bangsa Amerika akan memilih pemimpinnya pada tanggal 4 Nopember 2008. Meski hingga debatnya yang ketiga dengan John McCain, pesaingnya dari Partai Republik, popularitasnya terus mengungguli pesaingnya itu dalam berbagai polling, kita hanya bisa menunggu dan berharap, apakah mereka akan menentukan pilihan yang tepat, pilihan yang akan mengubah wajah AS menjadi negara demokrasi di dalam dan di luar negerinya dan dipuji oleh dunia ataukah tetap menjadi negara yang arogan, militeristik, dan menyeramkan. Mari kita tunggu sambil berdoa. In God we trust.

Jumat, 10 Oktober 2008

Singapura


Beberapa hari yang lalu dalam mengisi waktu liburan lebaran, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Singapura. Saya selalu rindu untuk kembali ke negara pulau yang luasnya hanya 707,1 kilometer persegi ini. Setiap melihat tata kotanya yang begitu rapi, jalan-jalannya yang mulus, lalu-lintas yang tertib, bebas polusi, taman-taman yang asri dan bersih, dan arsitektur-arsitekturnya yang modern, saya selalu berkhayal suatu hari nanti saya bisa menyaksikan semua itu di Jakarta, meski hal itu rasanya hampir mustahil.

Sebenarnya saya sudah berniat mengunjungi negeri itu seminggu sebelumnya, dengan maksud untuk menyaksikan secara langsung lomba balap mobil Formula One yang pertama kali diadakan di Singapura, namun setelah mengetahui harga tiketnya USD 998 yang cukup mahal untuk ukuran kantong saya, saya memutuskan untuk menyaksikannya di televisi saja. Uang sebanyak itu rasanya akan lebih bermanfaat kalau saya gunakan untuk shopping di Orchard Road dan Bugis Street, atau makan bersama keluarga dan teman-teman di Foodrepublic, lalu naik Singapore Flyer atau menyaksikan Songs of the Sea, sebuah pertunjukan drama musikal dengan sinar laser tiga dimensi dan kembang api yang spektakuler di tepi pantai Sentosa Island.

Satu hal yang berbeda dari lomba balap Formula One kali ini adalah sirkuit yang digunakan sebagai arena lomba adalah jalan-jalan raya di dalam kota metropolitan Singapura, bukan di sirkuit khusus seperti di negara-negara penyelenggara Formula One lainnya. Monaco juga telah lama menggunakan jalan raya di Monte Carlo sebagai arena lomba Formula One, sehingga di dunia ada dua negara yang menyelenggarakan lomba Formula One di jalan-jalan di tengah kota. Oh ya, satu hal yang menarik, kebetulan warna bendera kedua negara ini sama dengan warna bendera negara kita Indonesia, yaitu merah-putih. Hanya saja mereka bisa menggunakan jalan-jalannya yang mulus sebagai arena lomba Formula One, sedangkan kita sangat tidak mungkin dengan kondisi jalan-jalan yang rusak seperti saat ini.

Namun ada satu hal lagi yang membedakan lomba mobil Formula One di Singapura kali ini dengan Monaco dan negara lainnya adalah lomba yang diselenggarakan pada malam hari. Mengemudikan mobil di jalan yang penuh dengan kelokan di malam hari, apalagi dengan kecepatan tinggi hingga 200 km/jam, tentu membutuhkan konsentrasi dan ketahanan fisik yang luar biasa. Resiko kecelakaan yang mungkin terjadi, tentu sangat besar. Namun dengan perencanaan yang matang dan kepercayaan diri yang luar biasa, Singapura berhasil menyelenggarakan event tersebut dengan sukses.

Meski saya tidak jadi menyaksikannya secara langsung, saya masih beruntung karena masih sempat melewati jalanan mulus Raffles Boulevard yang beberapa hari sebelumnya dipakai oleh Fernando Alonso dan Lewis Hamilton memacu kendaraannya. Saya juga masih sempat melihat-lihat dan memotret sisa-sisa tribun penonton dan pagar pembatas. Lumayanlah buat kenang-kenangan.

Singapura adalah negeri kecil, namun dengan potensi yang besar. Pendapatan rata-rata perkapita penduduknya saat ini konon telah mencapai USD 48.900/tahun, bandingkan dengan Indonesia yang hanya USD 3.400/tahun. Negara yang didirikan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1819 dan kemudian melepaskan diri dari Kerajaan Malaysia pada tahun 1965 ini adalah salah satu negara termakmur di dunia. Banyak hal yang patut ditiru dari negeri ini, terutama pemerintahannya yang bersih. Negara yang dikelola oleh orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara dan bangsanya, ketimbang kepentingan pribadi dan kelompoknya. Majulah Singapura, bangkitlah Indonesia!