Sabtu, 20 September 2008

Pengabdian Dua Orang Bidan

Pada awal ramadhan lalu, ketika sebagian besar umat muslim sedang menjalani ibadah puasa, berjuang menahan lapar dan haus, sebagian lagi mungkin masih terlelap dalam tidur siangnya, saya menyempatkan waktu untuk menonton acara talk show favorit saya di televisi, Kick Andy. Ada seorang Ibu setengah baya, namanya Ibu Siti Aminah. Beliau adalah seorang bidan, tapi bukan bidan biasa. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya di bidang kesehatan, Ibu Aminah ini ternyata telah lama membaktikan hidupnya untuk membantu masyarakat miskin di kawasan kumuh, Cilincing, Jakarta Utara serta perkampungan nelayan di Bekasi dan sekitarnya. Bersama mobil ambulance dan seorang supir, Ibu Aminah berkeliling kampung mencari pasien. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, apabila sang supir berhalangan, Ibu Aminah sendirilah yang mengemudikan mobil pribadinya yang telah disulap menjadi mobil ambulance itu untuk berkeliling kampung, mencari pasien, dan mengobatinya di tempat.

Kita sering mendengar atau membaca di media massa, banyak orang sakit yang berasal dari keluarga miskin, terpaksa harus mengurut dada dan pulang ke rumah setelah ditolak oleh pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang jaminan. Alhamdulillah, di tengah kota metropolitan Jakarta yang individualistis ini, masih ada seorang tenaga kesehatan seperti Ibu Aminah ini. Tenaga Kesehatan yang tidak pernah meminta bayaran kepada pasiennya, apalagi meminta uang jaminan. Malah tidak jarang, justru Ibu Aminahlah yang mengeluarkan uang untuk membayarkan uang jaminan, ketika ada pasiennya yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Bahkan Ibu Aminah pernah menjual perhiasan miliknya demi membantu salah seorang pasiennya.

Seorang bidan lagi bernama Ros Rosita. Wanita berjilbab ini telah mengabdikan hidupnya untuk melayani kesehatan orang-orang suku Baduy selama lebih dari 10 tahun. Bidan yang akrab dipanggil Bidan Ros ini, rela menempuh perjalanan dengan jalan kaki hingga 6 jam lamanya, demi mengunjungi para pasiennya di pedalaman hutan Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. Bidan Ros ternyata memerlukan waktu 2 tahun lamanya agar metode dan peralatan medis modern miliknya, seperti jarum suntik, obat-obatan, dan konsep imunisasi, bisa diterima di kalangan suku Baduy yang terkenal sangat anti terhadap segala hal yang berbau modern.

Hingga kini, Bidan Ros tetap menjalani pelayanan kesehatan dengan waktu praktik 24 jam dengan bayaran seadanya. Misalnya pada awalnya, setelah membantu seorang ibu melahirkan, biasanya dia dibayar hanya sepuluh ribu rupiah. “Alhamdulillah sekarang sudah naik sedikit menjadi dua puluh ribu rupiah,” tutur Bidan Ros sambil tersenyum, seorang bidan yang berkeinginan untuk mendirikan rumah bersalin di kawasan suku Baduy.

Saya yakin, di negeri ini masih banyak tenaga kesehatan atau orang-orang dengan profesi lain yang terpanggil hatinya untuk membaktikan hidup dalam membantu orang-orang yang tidak mampu seperti Ibu Aminah dan Ros Rosita. Hanya saja, jumlahnya masih sangat sedikit, tidak seimbang dengan jumlah orang yang membutuhkan bantuan. Mari kita berdoa buat Ibu Aminah dan Ros Rosita serta semua orang-orang yang berhati mulia untuk tetap semangat dalam perjuangannya membantu orang-orang yang tidak mampu. Kita mungkin belum bisa berbuat banyak seperti kedua bidan ini, namun setidaknya, Ibu Aminah dan Ros Rosita telah menjadi inspirasi bagi kita, untuk terpanggil dan mulai melakukan sesuatu, sekecil apapun itu, untuk membantu orang-orang yang lemah. Semoga.