Senin, 28 Juli 2008

Vous Habitez a Paris?


Aku baru saja terlelap, ketika deringan telepon di samping tempat tidurku hampir saja memecah gendang telingaku. Sambil memicingkan mata, aku meraih gagang telepon itu. Aku mendengar suara parau Francois di seberang sana.

“Allo! Ahmad?”

“Hmm…”

“Comment vas tu?”

“Ca va, et toi?”

“Ca va. Tu viens avec nous au cinema, ce soir?”

Francois, sahabat kampusku, mengajakku menonton di bioskop malam ini.

“Non, je ne me sens pas bien depuis deux jours,” tolakku dengan alasan lagi tidak enak badan.

“Allez! Viens avec nous, quio!” pintanya setengah memaksa.

Seminggu yang lalu, dia memang sudah berjanji akan mengajak aku, Pierre, dan Hidetoshi untuk menyaksikan film yang sedang booming di seluruh dunia, The Da Vinci Code. Film yang sebagian besar pengambilan gambarnya dilakukan di Paris. Namun aku juga sudah terlanjur mengajak Daphne untuk makan malam, merayakan hari ulang tahunnya malam ini.

“Ce n’est pas possible, j’ai mal a la tete,” elakku lagi dengan alasan sakit kepala.

Francois terus memaksa, “Allez!”

“S’il vous plait, merci.”

Aku lalu menutup telepon. Aku tidak mungkin mengajak Daphne bergabung dengan mereka. Soalnya dua hari yang lalu, diam-diam aku dan Daphne sudah menyaksikan film itu lebih dahulu. Aku juga tidak mungkin memberitahu mereka kalau aku juga ada janji dengan Daphne malam ini, Pierre pasti akan mencurigai aku ada apa-apa dengan Daphne.

Pierre adalah sahabat karibnya Cahyo, kekasih Daphne yang lagi pulang ke Jakarta. Meski setahuku, Cahyo tidak pernah cemburu padaku karena dia tahu aku dan Daphne hanya berteman biasa, tidak lebih. Daphne adalah guru bahasa Prancisku di Jakarta dulu dan Daphne pula yang membantuku melanjutkan pendidikan ke Paris. Daphne sangat respek padaku karena dia menilai aku adalah muridnya yang paling antusias dan paling cepat mencerna pelajaran yang diberikannya waktu itu. Kami bahkan sering jalan bertiga, jadi Cahyo tidak pernah khawatir kalau Daphne jalan denganku, begitu kata Daphne. Lagi pula Daphne selalu memberitahu Cahyo setiap jalan denganku. Termasuk malam ini.

*****

Malam itu aku menjemput Daphne di apartemennya di Rue George Pitard. Sudah setahun lebih, Daphne dan Cahyo tinggal bersama di apartemen itu. Sebenarnya Cahyo adalah pria yang sangat bertanggung jawab, namun Daphne selalu menolak setiap diajak menikah oleh Cahyo. Daphne selalu beralasan belum siap. Baginya pernikahan tidak lebih dari formalitas selembar kertas yang akan membelenggu hak-hak pribadinya. Hmm… Budaya barat dan timur memang berbeda.

“Hai!” sambutnya ramah.

Tidak seperti biasanya, malam ini dia mengenakan gaun terusan berwarna hitam. Dia kelihatan lebih cantik dan anggun malam ini, tidak tomboy seperti biasanya. Baru kali ini aku melihat dia memakai lipstick. Aku menghirup aroma perfumenya.

“Kita berangkat sekarang, mademoiselle?” tanyaku.

“Oui, monsieur!” angguknya cepat.

Setibanya di restaurant yang terletak Champs Elysees avenue, seorang pelayan bertubuh tambun menyambut kami dengan ramah. “Bonsoir Monsieur, Bonsoir Madame! Pour deux personnes?”

Aku dan Daphne mengangguk tersenyum, “Oui.”

Sang pelayan lalu mempersilahkan kami mengikutinya. “Par ici, Monsieur.”

Kami mengambil tempat di sudut ruangan yang agak temaram. Kami membuka daftar menu. Aku lalu memesan steak frites yaitu menu stik dan kentang goreng serta satu porsi ayam. Sedangkan Daphne hanya memesan poulet haricots yaitu menu ayam dan buncis. Untuk makanan pembuka, kami memilih salad. Untuk minumnya, seperti biasa aku lebih suka memilih air mineral saja, sesuai pesan ibuku. Aku menolak tawaran anggur Beaujolais yang dipesan Daphne.

“Selamat ulang tahun, ya!” kataku sambil menyerahkan novel Dinding-nya Jean Paul Sartre dalam edisi Bahasa Indonesia yang kubungkus dengan rapi.

“Merci…” jawabnya sumringah, lalu segera membuka bungkusannya.

“Gimana?” tanyaku.

Dia nampak sangat senang. “Merci! Voila ce qu’il me faut!”

Dia memang senang membaca buku-bukunya Sartre. Dia sudah memiliki novel itu dalam versi bahasa Prancis dan Inggris.

Daphne Maria Renata Villeneuve adalah seorang gadis prancis asli yang baik hati dan sangat peduli pada kaum tertindas. Dia lahir di Bordeaux sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari keturunan bangsawan Prancis. Diusia 5 tahun, ayahnya yang seorang pengajar memboyong mereka sekeluarga ke Paris. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Paris, dia membaktikan hidupnya sebagai aktivis di Womancare, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak-hak perempuan yang berpusat di London.

Aku pertama kali berkenalan dengannya di CCF Jakarta. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai salah satu staf di Womancare di Jakarta waktu itu, dia masih menyempatkan waktunya untuk mengajar Bahasa Prancis. Aku adalah salah satu muridnya. Aku juga sempat menemaninya ke Serawak, Malaysia, menjemput beberapa korban perdagangan perempuan di sana. Sejak itu hubungan kami semakin akrab, bahkan menurut sebagian orang, terlalu akrab untuk ukuran sekedar teman biasa. Hmm…

Meski aku sangat mendukung aktivitasnya dalam memperjuangkan hak-hak wanita yang tertindas. Aku adalah lawan, bahkan musuh bebuyutannya setiap berdiskusi mengenai wanita. Kami mempunyai prinsip yang berbeda dalam memposisikan wanita. Hal tersebut terjadi karena kami memandang eksistensi wanita dalam perspektif yang berbeda. Dia sangat dipengaruhi oleh pandangan liberalnya yang menempatkan kebebasan di atas segala-galanya, sedangkan aku lebih banyak mengacu pada norma-norma agama.

Meski dia percaya bahwa Tuhan ada, namun dia tidak pernah tertarik untuk menganut agama apapun. Baginya, aturan dan norma agama hanya akan mengekang kebebasan kita dalam berpikir dan bertindak. Dogma-dogma agama tidak lebih dari propaganda yang menyesatkan. Meski demikian, dia bisa menjadi lebih relijius dan santun, dibandingkan wanita-wanita berkerudung yang pernah aku kenal. Meski dia seorang bule, tutur katanya sangat sopan, prilakunya santun, dan sangat menghormati orang lain. Bahkan untuk masalah sosial, dia lebih islami ketimbang orang islam sendiri. Hidupnya sederhana, semua yang dilakukannya tanpa mengharapkan pamrih, semata-mata karena keikhlasan. Meski dia tidak pernah mau mengakui kerasulan Muhammad, namun dia telah mencontoh kehidupan yang diajarkan Muhammad, nabinya orang islam.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Daphne menuangkan anggur Beaujolais ke gelasnya. Dia mulai menantangku lagi untuk berdiskusi mengenai wanita.

“Tadi siang, aku lihat di Canal+, di Jakarta lagi ada demo kaum perempuan menuntut kesetaraan gender,” katanya sambil mengangkat gelas anggur ke bibir tipisnya.

Aku mengangguk. “Iya, aku prihatin…”

Tiba-tiba dia tercekat dan langsung meletakkan gelas anggurnya. Kedua bola mata birunya melotot. “Excuzes-moi, Monsieur! Anda salah! Seharusnya Anda bangga!”

“Bagi saya, pria dan wanita tetap berbeda. Tuhan menciptakan pria dan wanita dengan bentuk fisik dan non fisik yang berbeda…”

“Apanya yang berbeda?” potongnya cepat.

“Pria diciptakan dengan fisik yang relatif lebih kuat, sedangkan wanita diberi organ reproduksi untuk mengandung dan melahirkan. Dalam mengambil keputusan, pria lebih cenderung menggunakan akalnya ketimbang perasaan, sedangkan wanita lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal sehat.”

“Tidak juga. Buktinya banyak wanita yang bisa menempati posisi yang sejajar, bahkan lebih tinggi daripada pria. Par exemple, Margareth Thatcher, Indira Gandhi, dan Megawati Soekarno Putri. Jangan lupa, aku pernah mengalahkanmu lari menaiki anak tangga di Borobudur!” Daphne tertawa dengan jumawanya.

Aku mengangguk tersenyum. “Iya, tapi mereka tetaplah wanita, yang lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal dalam mengambil keputusan. Saya tidak menentang wanita mengejar posisi yang sejajar atau melebihi kaum pria, asalkan mereka tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.”

“Maksudmu?”

“Minimal harus ada keseimbangan antara karir dan keluarga. Banyak wanita yang terlalu asyik mengejar karir sampai lupa dengan tugas utamanya sebagai wanita yang ditakdirkan untuk mengandung, merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya sendiri.”

Daphne menghela napas. “Aku tidak percaya takdir. Aku pikir sulit untuk melakukan balancing. Bagaimanapun, kita harus memilih.”

“Apa karena itu, kamu selalu menolak lamaran Cahyo?”

Aku melihat raut keterkejutan di wajahnya. Dia menggeleng, lalu menenggak anggur di gelasnya hingga tandas. Ini untuk yang kesekian kalinya. Aku mulai khawatir, alkohol akan mulai mempengaruhi syarafnya.

“Kamu sudah terlalu banyak minum, sebaiknya aku antar kamu pulang.”

Dia mengangguk. Setelah membayar, kami melangkah ke luar. Dia berjalan lebih dulu, namun tiba-tiba tubuhnya sedikit oleng, dia memegang keningnya. Aku buru-buru meraihnya tubuhnya.

“Kamu kenapa?”

“Oh, nggak apa-apa, aku baik-baik aja,” elaknya.

Aku menuntunnya ke mobil.

*****

Aku mengantarnya hingga ke kamarnya. Dia tidak pernah minum sebanyak tadi, akibatnya dia sedikit mabuk.

Daphne tersenyum, “Merci beaucoup.”

Aku mengangguk, “Istirahatlah. Besok kamu harus ngajar, kan?”

Dia mengangguk malas.

Aku pamit, “Bonne nuit.”

Aku melangkah pergi, namun dia menahanku. “Temani aku malam ini…”

Aku tertawa dan memencet hidung bangirnya. “Kamu terlalu banyak minum!”

Aku bergegas pergi, namun secara tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku mencoba melepaskan diri, namun cengkramannya sangat kuat. Dia memelukku dan berusaha menciumku.

“Allez. Aku mencintaimu, Ahmad!” bisiknya manja. Aku menghirup aroma semerbak alkohol dari mulutnya.

“Mon Dieu! Kamu mabuk. Cahyo pasti akan marah kalau tahu kamu seperti ini!”

“Zut! Dia tidak mencintaiku, dia lebih memilih mengejar karirnya daripada aku!” Aku mendengar suaranya bergetar. Dia mulai terisak. Aku teringat dengan ucapanku padanya tadi, wanita memang selalu mendahulukan perasaannya daripada akal sehat!

Daphne terus mendesakku dengan dadanya, hingga aku terhempas ke atas tempat tidurnya, tubuhnya menimpaku. Tiba-tiba… Byuuurrr!!! Aku tersentak dan terbangun dari mimpi. Aku seperti terguyur hempasan gelombang air laut di pantai Kuta. Setelah sadar dari mimpi, ternyata aku tidak sedang berada di Pantai Kuta atau pantai manapun, tapi di atas tempat tidurku sendiri. Aku melihat Daphne berdiri di hadapanku sambil memegang gayung.

“Hah?!” Aku memandang wajahnya lekat-lekat, lalu kupandangi tubuh sintalnya dari atas hingga ke bawah. Dia menjadi salah tingkah dan langsung menegurku.

“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Tidak biasanya…”

“Oh, sorry!” Aku buru-buru memalingkan wajah.

Daphne tersenyum. “Maaf, aku terpaksa membangunkanmu dengan air. Aku sudah membangunkanmu dengan sopan, tapi kamu tidak bangun juga. Barusan kamu mengigau.”

“Mengigau?”

“Iya, kamu memanggil-manggil namaku…”

“Apa?!”

“Di luar ada Cahyo. Aku terpaksa buru-buru membangunkanmu, sebelum dia mendengar kamu memanggil-manggil namaku. Dia bisa cemburu, lho…” Daphne tersenyum lagi. Aku merasa pipiku merona merah seperti buah tomat. Aku benar-benar mimpi basah, basah karena diguyur air!

Selasa, 22 Juli 2008

Menjemput Cinta


Papua, ini aku kembali. Aku kembali karena aku cinta. Cinta pada tanahmu yang subur. Cinta pada seseorang yang pernah membuka pintu hatiku, meski itu luka. Tapi apa perduliku, karena kami masih punya cinta.

“Ya, kami punya cinta. Cinta yang membimbing kami untuk saling kasih-mengasihi, sayang-menyayangi,” gumamku dalam sunyi.

Itu kalimat yang selalu kami ucapkan, aku dan Yohana Wilhelmina, putri seorang petani miskin dari suku Sentani. Mereka selalu menertawakan dan mencelaku hanya karena Yohana orang marege.

Tarada lagi kah perempuan pendatang yang cantik, sampai ko pilih dia?” ejek seorang temanku Udin, sinis.

Aku dianggap aneh oleh mereka. Si Udin tidak pernah tertarik pada Bertha karena wanita cantik itu orang Manado, Si Tejo tidak jadi mendekati Vera karena ternyata dia orang Padang, dan Si Lilis menolak Togar mentah-mentah karena dia orang Batak. Sedangkan aku… Aku justru jatuh cinta pada seorang perempuan pribumi berkulit hitam dan berambut keriting. Meski perempuanku itu manis dan baik hati, mereka tetap tidak bisa menerima keakraban kami. Kenapa? Karena kami berbeda!

Duh! Betapa sempitnya dunia ini. Kami seperti hidup dalam sunyi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang selalu bangga dengan suku dan warna kulitnya. Orang-orang yang tidak pernah menghargai perbedaan sebagai anugerah. Hitler yang rasis itu memang sudah mati terhimpit bumi, akan tetapi ruh rasismenya masih bersemayam di hati orang-orang yang picik. Dia selalu ada di sekitar kita. Dia bisa jadi adalah teman kita, tetangga kita, bahkan saudara dan orang tua kita sendiri.

*****

Aku masih duduk termenung di atas anjungan kapal yang membawaku kembali ke tanah kelahiranku, Papua. Hilir mudik penumpang sibuk dengan barang bawaannya. Mereka berebut untuk mendapatkan tempat di dekat tangga turun, sementara aku masih larut dalam lamunan.

Kota di teluk yang indah. Kota kecil yang mulai dihiasi oleh gedung-gedung tinggi, di sebuah lembah yang teduh karena dilindungi oleh pegunungan di sekitarnya. Kota yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik yang membentang luas. Konon, puluhan tahun yang lalu, nenek moyangku yang gagah berani itu berlayar dan bersauh di kota ini. Mencari penghidupan baru yang menjanjikan. Kota yang sejak jaman kolonial sering berganti nama. Orang Belanda menamainya Hollandia, sebelum sempat diganti menjadi Sukarnopura, dan terakhir Jayapura. Aku mencintai kota ini. Setelah berlayar tujuh hari, perahu besi yang membawa kami dari Tanah Jawa akhirnya merapat di dermaga Pelabuhan Jayapura.

Aku berlari menuruni tangga kapal. Aku tidak sabar lagi untuk menginjak tanah Papua yang telah lama aku tinggalkan. Kala itu aku pergi untuk mengobati sebuah luka, luka yang menggores pilu. Hingga pada suatu hari sang angin memberi kabar padaku, suaminya yang pemabuk itu sudah pergi dari kehidupannya. Laki-laki beringas yang selalu menyakitinya itu hilang entah kemana. Kini aku kembali dengan sejumput asa. Asa untuk bertemunya lagi.

“Bah! Ko tarausa mayari dia lagi sudah, dia su punya paitua,” kata Togar kesal ketika kuberi tahu keinginanku untuk menjumpai Yohana.

“Suaminya sudah pergi. Saya merindukan dia, lalu apakah salah kalau saya mengunjunginya?” tanyaku membela diri.

Sahabatku itu menghela napas, kesal. “Macam tarada perempuan lagi, kah?”

Aku tidak memperdulikannya, hari itu juga aku datang ke rumah Yohana. Kuketuk pintunya, dia nampak sangat terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya tidak seceria dulu lagi. Pucat-pasi, ada duka. Dia nampak sangat kurus dan tak terurus.

Aku menyapanya. “Apa kabar, Yohana?”

Dia tersenyum, aku menemukan senyumnya yang sudah lama hilang. “Baik… Ko bagaimana?”

“Seperti yang ko lihat, sa baik-baik saja to?” kataku membalas senyumannya.

Perempuan itu kemudian mempersilahkan aku masuk. Dia menjamuku dengan sepiring papeda dan ikan bakar. Aku lalu bercerita tentang kegiatanku di Jakarta, kuliah sambil bekerja. Dia juga bercerita tentang kegiatannya di gereja, meski sudah tidak seaktif dulu lagi. Waktunya lebih banyak tersita untuk mencari nafkah. Sejak kematian pace-nya, untuk menghidupi kedua anaknya dan mace-nya yang sudah renta dia berjualan sayur-mayur di Pasar Hamadi.

*****

Aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupnya, meski mungkin hanya untuk sementara. Kami menemukan kembali kebersamaan yang telah lama hilang. Pagi hari dengan sepeda motor, aku menjemput dan mengantarnya ke pasar. Setelah sayurnya terjual habis, aku akan datang lagi menjemput dan mengantarnya pulang. Setiba di rumah aku membantunya mengangkat air, lalu menjaga kedua anak balitanya. Kami bercengkrama sambil menunggu mamanya selesai memasak makan siang untuk kami. Setelah itu aku pamit pulang.

Waktu terus berlalu, aku sangat menikmatinya. Aku tidak menemukan sedikit pun perbedaan itu, yang aku temukan justru kebersamaan dan kebahagiaan. Sampai kemudian dipagi itu, aku mendapati begitu banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Suaminya yang telah pergi tanpa kabar tiga bulan lamanya itu telah kembali. Dalam keadaan mabuk, laki-laki itu datang dan memaksa untuk menyerahkan semua uang hasil penjualan sayur-mayurnya. Yohana melawan, mereka bertengkar hebat. Laki-laki itu dengan kalap memukul dan menendangnya seperti binatang. Perempuan malang itu meraung, menjerit pilu dalam pekatnya malam. Pagi harinya Pendeta Octavianus dan warga menemukannya tidak sadarkan diri, lalu membawanya ke rumah sakit. Dia koma.

Aku bergegas ke rumah sakit, aku harus segera bertemu dengannya. Aku berlari menyusuri koridor menuju ruang UGD dengan segenggam asa, asa untuknya agar bertahan. Apapun akan aku lakukan demi dia, hanya untuknya. Dalam kegusaranku, aku berdoa kepada Tuhan. Doa agar aku diberi kesempatan untuk membahagiakannya. Cukup sudah penderitaan yang dialaminya. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh dan menyakitinya lagi. Aku akan membawanya pergi jauh dari orang-orang itu, orang-orang yang menebar luka untuknya. Aku akan taburi hidupnya hanya dengan kebahagiaan dan tawa. Akan tetapi terlambat, aku terlambat.

“Yohana telah pergi meninggalkan kita semua dalam damai, dia tersenyum,” kata Pendeta Octavianus tersenyum getir.

Aku tercekat, dadaku sesak. Aku merasa sekujur tumbuhku lunglai, terduduk lemas tanpa daya. Perempuan manisku itu telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Aku teringat padanya, tatkala dia bernyanyi untukku di dekat api unggun. Suaranya mengalun merdu, dan aku mengiringinya dengan tifa. Sementara di balik dedaunan pohon yang rindang, sang purnama mengintip malu. Aku tersenyum, tapi mataku meneteskan air mata. Pedih. Oh, Tuhan… Adakah Kau dengar doaku? Doa untuk kebahagiaannya di alam sana. Alam yang tidak akan pernah mempersoalkan warna kulitnya. Alam yang damai dan kekal.

Port Numbay, November 28th, 2003

Daftar Istilah :

Suku Sentani = suku yang mendiami daerah di sekitar Danau Sentani

Marege = sebutan orang pendatang terhadap orang asli Papua

tarada = tidak ada

tarausa = tidak usah

mayari = menggoda

ko = kamu

sa = saya

su = sudah

to = kan

Papeda = makanan khas yang terbuat dari sagu

Pace = Bapak

Mace = Ibu

Paitua = suami

Tifa = alat tetabuhan tradisional Papua

Selasa, 15 Juli 2008

Trafficking


Malam yang muram terguyur hujan. Sri melangkah pelan menyusuri setapak tanah merah yang basah. Nyanyian petir bersahut-sahutan mengiringi pelariannya dalam gulita. Ia sudah sangat lelah berlari. Entah sudah berapa jarak yang ditempuhnya dengan berlari dan berlari bersama bayang-bayang histeria samseng. Sejak kabur dari rumah neraka Anti Lucy di Kuching, ia harus menempuh perjalanan yang jauh dan berliku menuju Tebedu demi menghindari kejaran para samseng yang tidak punya nurani itu.

Ia tidak punya apa-apa lagi untuk bertahan hidup, hanya setitik asa yang ia punya. Asa yang akan membawanya ke tanah air harapan, Entikong. Asa yang akan membawanya kembali ke kampung dan bertemu dengan putrinya, Permata. Ya, Permatalah yang membuatnya mampu untuk tetap bertahan hidup, meski tubuhnya sudah sangat lemah oleh deraan penyakit TBC yang dideritanya sejak dua bulan lalu. Wanita malang itu juga telah lama positif terinveksi HIV.

Sri terus melangkah, pelan. Kaus katun dan kain sarungnya yang telah kuyup tidak cukup untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menembus tulangnya, tubuhnya menggigil. Langkahnya terhenti di depan sebuah gubuk sederhana tak bertuan. Tidak ada siapa-siapa di situ, hanya selembar tikar usang yang menyambutnya.

Sri menaiki gubuk panggung setinggi setengah meter itu, kemudian disandarkannya punggungnya di tiang kayu yang kokoh menopang gubuk tak berdinding itu. Ia melipat tubuh cekingnya kuat-kuat. Untuk sesaat, perempuan itu terlindung dari derasnya guyuran hujan. Matanya yang cekung menatap pilu ke langit-langit gubuk, bibir tipisnya yang pucat bergetar seirama dengan gemerutuk gigi-geliginya. Tubuhnya masih menggigil menahan dingin. Tekadnya sudah bulat. Apapun yang terjadi, dia harus tiba di Tebedu malam ini juga. Tempat dimana dia akan melintasi border menuju Entikong, sebelum para samseng itu menangkap dan membunuhnya.

Ini pelariannya yang kedua kalinya. Mereka pasti tidak akan mengampuninya lagi kalau sampai tertangkap. Terbayang olehnya ketika itu, di pagi cerah ketika dia telah tiba di Tebedu setelah menumpang sebuah truk dari Kuching. Aparat tidak mengijinkannya untuk melintasi border tanpa dokumen apapun. Aparat kemudian menahannya sampai samseng itu datang menjemput dan menggelandangnya seperti binatang buruan. Perempuan itu dipukuli seperti maling dan dilempar masuk ke dalam pos, lalu diperkosa beramai-ramai oleh para samseng suruhan Anti Lucy. Pelarian yang konyol dan ia tidak ingin itu terulang lagi. Dia harus melintasi border tanpa sepengetahuan aparat. Ia lebih baik mati daripada harus kembali ke rumah neraka Anti Lucy.

*****

Dua tahun yang lalu, Sri adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik. Kebahagiaannya semakin lengkap ketika seorang bayi perempuan lahir dari rahimnya. Dia memberi nama anak itu Permata. Namun kebahagiaannya itu terenggut begitu saja, ketika dia memergoki suaminya sedang bersenda gurau dengan istri tetangganya di atas tempat tidur.

Sejak perceraiannya dengan suaminya yang tidak bertanggung jawab itu, Sri harus mencari nafkah untuk anak balitanya, ibunya yang sakit-sakitan, dan dua orang adiknya yang masih kecil-kecil. Ijazah SMA yang dimilikinya tidak cukup membantunya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dengan sejuta harapan, dia kemudian menerima tawaran dari Pak Sardi yang entah dimana kini. Tawaran untuk bekerja di Malaysia dengan gaji yang tinggi, 1.000 RM. Sri menerima tawaran itu, meski dia harus rela meninggalkan putrinya yang masih balita. Sri tidak sendirian, masih ada Devi, Rita, dan Isna. Pak Sardilah yang membawa mereka berempat sampai ke Pontianak, kemudian dari Jagoi Babang melintasi border ke Serikin tanpa paspor.

“Dari Jagoi Babang ke Malaysia cukuplah pakai PLB saja. Tak perlulah kau payah-payah pakai paspor macam di Entikong, tuh,” kata Pak Sardi waktu itu.

Wanita itu sempat ragu karena salah seorang tetangganya, Lilis, harus mengurus paspor dan visa sebelum berangkat ke Kuching.

Setibanya di Serikin dia dipertemukan dengan Rina, calo TKW yang sudah sukses di negeri jiran. Wanita itu sangat ramah dan baik pada mereka. Dari Serikin mereka kemudian menumpang kendaraan menuju Kuching. Setibanya di kota itu, mereka diinapkan di rumah kontrakan Rina di Jalan Datuk Amar. Selama di rumah itu mereka dilayani bak tamu hotel, kamar ber-AC, dan makanan sudah tersedia. Semua kebutuhan mereka terpenuhi, kecuali satu, mereka tidak diijinkan pergi jauh-jauh dari rumah. Satu-satunya tempat yang dapat mereka kunjungi hanyalah Pasar Kenyalang yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai pada suatu hari mereka kedatangan seorang wanita setengah baya yang kemudian dikenal sebagai Anti Lucy.

“Kenalkan, ini Anti Lucy. Kalian akan bekerja di rumahnya. Kalian akan menerima gaji 1.000 RM setiap bulan dan juga bonus tambahan kalau kerja kalian memuaskan!” kata Rina menjelaskan dengan penuh semangat.

Waktu itu mereka menyambutnya dengan senyuman bahagia. Dengan hanya menjadi pembantu rumah tangga, mereka akan memperoleh gaji sebesar itu. Terbayang oleh Sri berapa besar penghasilan yang akan diraihnya. Dia akan mengirimkan semua gajinya untuk membiayai kebutuhan Permata, Ibu, dan adik-adiknya. Sedangkan untuk kebutuhan hidupnya, cukuplah dari bonus-bonus yang diberikan oleh Anti Lucy.

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setibanya di rumah Anti Lucy yang mewah dan berpagar tinggi itu, barulah mereka tahu apa pekerjaan mereka yang sebenarnya dan bagaimana status mereka. Selama dua hari dua malam, mereka disekap dalam satu kamar yang pengap. Kenyamanan yang mereka dapatkan selama tinggal di rumah Rina tidak mereka rasakan lagi, yang ada hanya makanan seadanya dan ancaman dari para samseng suruhan Anti Lucy. Mereka diminta melayani setiap laki-laki yang datang ke tempat itu. Sebagai ganjaran penolakan mereka, mereka tidak diberi makan dan minum sama sekali, hanya makian dan pukulan dari para samseng.

“Budak tak tau diuntung kelian, nih! Kelian tau, tak? Kelian nih sudah dibeli mahal oleh Anti Lucy! 10.000 RM!” bentak salah seorang samseng yang mengaku juga berasal dari Indonesia.

Awalnya mereka kompak untuk menolak paksaan untuk menjadi pelacur, sampai kemudian satu per satu tubuh mereka lemah, tak berdaya, dan akhirnya menyerah. Menyerah untuk mempertahankan hidup. Demi hidup mereka terpaksa melayani para lelaki hidung belang itu. Janji-janji manis Pak Sardi dan Rina, tinggallah janji yang menguap ke udara dan sirna meninggalkan luka. Mereka tidak menerima sepeser pun uang seperti yang dijanjikan, yang ada hanyalah keterpaksaan untuk melayani tamu-tamu Anti Lucy. Mereka dipaksa bekerja siang dan malam untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan Anti Lucy untuk mendapatkan mereka. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali luka, luka yang menggores perih, menyayat-nyayat, dan melepuh. Kepedihan yang membuat Devi mengalami stress berat dan akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa. Kepedihan yang membuat Isna nekat menusuk seorang apek-apek yang mengantarnya ke balai sato. Sedangkan Rita memutuskan untuk tetap bertahan. Wanita cantik dan sintal itu, kelihatannya mulai dapat menerima pekerjaan yang harus dijalaninya.

“Tidak ada pilihan lain, Sri. Kita lakukan saja perintahnya. Ini sudah resiko,” bujuk Rita.

Sri terisak. “Aku sudah tidak tahan lagi, Mbak. Kita kabur aja dari sini!”

Rita menggeleng. “Jangan nekat, Sri. Bagaimana kalau kita tertangkap? Kita bisa dibunuh oleh samseng-samseng itu!”

“Tapi, Mbak…”

Rita membelai rambutnya. “Sudahlah… Kita jalani aja. Anti Lucy kan sudah berjanji akan membebaskan kita kalau semua biaya yang dia keluarkan untuk kita sudah terbayar semua? Kita akan diberi gaji 1.000 RM dan bonus!”

*****

Sri menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya yang pucat. Dia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi pada dirinya, terpuruk di gubuk itu dalam sunyi, dingin, takut, dan keletihan yang mendera. Sesaat Sri memandangi selembar foto anaknya. Foto itu satunya-satunya miliknya yang masih tersisa, selalu menemani dan menghibur kesedihan dan kerinduannya. Gadis kecilnya itu nampak tersenyum, manis sekali.

Perempuan malang itu sedang memejamkan kedua cekung kelopak matanya, ketika gendang telinganya bergetar. Terdengar suara beberapa orang laki-laki di tengah ceracah hujan yang masih mengguyur. Sri yakin itu suara para samseng yang mencarinya. Suara itu semakin dekat, menyeruak di pekatnya malam. Sebelum terlambat, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Sri bergegas meninggalkan gubuk itu. Mengendap-endap di antara semak-belukar.

Sri menyandarkan punggungnya di sebuah pohon, tubuhnya terasa sudah sangat capai dan lemah setelah berlari menghindari kejaran para samseng. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, bahkan untuk sekedar menyeret tubuhnya barang sejengkal pun dia sudah tak sanggup lagi. Akan tetapi hatinya lega kini. Dia sangat yakin saat ini telah berada di Entikong, wilayah Republik Indonesia. Dia telah berhasil melintasi border Tebedu, para samseng itu tidak akan menemukannya lagi. Kini Sri bisa tersenyum, terbayang wajah lucu Permata di pelupuk kedua bola matanya yang mulai terasa sangat berat. Dadanya terasa sesak. Perlahan dikatupkan kedua kelopak matanya, lalu dia tersenyum dalam diam.

*****

Pagi yang cerah di sebuah kantin tidak jauh dari pos lintas batas Jagoi Babang – Serikin, Pak Sardi sedang asyik menyeruput secangkir kopi sambil membuka-buka lembaran Pontianak Post. Perhatiannya tertuju ke sebuah berita di halaman depan :

Ditemukan sesosok mayat wanita tak dikenal, tidak jauh dari perbatasan Entikong-Tebedu. Tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan di tubuh korban. Diyakini korban meninggal karena menderita sakit yang parah. Diduga korban adalah tenaga kerja ilegal yang menjadi korban trafficking dan melarikan diri dari Malaysia

Pak Sardi nampak masih tertegun, ketika seorang pria bersama tiga orang perempuan belia datang menghampirinya. Mereka kemudian berbincang sejenak, lalu beranjak dari kantin dan menaiki sebuah kendaraan carteran yang akan membawa mereka ke Kuching.

Dini hari, 29 Pebruari 2004

Adn@n

Dedikasi untuk para korban perdagangan perempuan dan anak

Daftar Istilah :

Trafficking = perdagangan, dalam kasus ini adalah perdagangan perempuan dan anak.

PLB = pos lintas batas/pas lintas batas

Border = perbatasan

Samseng = preman

RM = Ringgit Malaysia

Anti = tante

Negeri jiran = negeri tetangga

Apek-apek = laki-laki tua

Balai sato = rumah tahanan

Senin, 07 Juli 2008

Aku Seorang Mantan Pejabat


Aku baru saja terdiam dalam himpitan bumi yang basah karena hujan. Aku terdiam dalam sunyi sepi sendiriku. Sangat gelap, hitam, pekat. Sayup-sayup terdengar suara tangisan seorang perempuan meraung-raung di atas sana. Aku sangat mengenal suara itu. Itu suara Ivo, istriku tercinta.

Tidak berapa lama kemudian, suara itu perlahan-lahan lenyap ditelan derasnya guyuran hujan di sore itu. Kini aku merasa tidak ada siapa-siapa lagi di atas sana, mereka telah pergi meninggalkanku sendirian di sini. Bahkan istri dan anak-anakku yang amat aku sayangi itu telah juga pergi berlalu. Mereka meninggalkanku begitu saja dalam kehampaan. Tetapi tiada yang perlu kukecewakan, tidak ada gunanya menunggui jasad kaku terbungkus kain kafan yang telah dihimpit bumi ini.

Aku sudah siap. Sebentar lagi malaikat-malaikat itu mungkin akan datang dengan pertanyaan-pertanyaannya yang standar. Pertanyaan-pertanyaan yang telah kuketahui sejak kecil dari guru mengajiku dan aku sudah siap dengan jawaban-jawabanku kalau memang malaikat-malaikat itu benar-benar akan datang.

Siapa Tuhanmu? Maka aku akan menjawab Allah.

Siapa nabimu? Maka aku akan menjawab Muhammad.

Apa kitabmu? Maka aku akan menjawab Al-Quran.

Beres. Aku sudah menghafalnya di luar kepala jauh sebelum aku sadar kalau suatu saat aku pasti akan mengalami hal seperti ini, terkurung dalam sepi. Kalau malaikat-malaikat itu benar-benar akan datang, aku begitu yakin akan lulus ujian. Lalu, aku akan tidur nyenyak sampai hari kebangkitan datang.

Sesaat kemudian kutemukan jasadku dalam kabut tiada batas. Aku merasa tubuh telanjangku menggigil kedinginan. Aku bisa merasakan kulitku yang membeku, bibirku kaku, gigiku berisik, lidahku kelu. Dalam kebekuanku, aku mencoba untuk menggerakkan jasadku yang kaku, tetapi tak bisa. Jasadku betul-betul telah kaku.

Saat ini aku memang telah menjadi mayat. Kutengadahkan mukaku ke atas yang ada hanya kabut, kabut, dan kabut. Aku terdiam dalam sepi kegelisahanku. Sepi, sepi, sepi. Aku terkurung dalam sepi. Aku masih diam dalam sepiku, ketika sesuatu tiba-tiba menghentakkan sepiku. Bumi disekelilingku bergemuruh, lalu berguncang seperti gempa. Guncangannya sangat keras, entah berapa skala richter. Aku panik, akan tetapi apa daya aku tak bisa berbuat apa-apa.

Aku merasakan kehadiran makhluk lain selain aku di sini. Mungkin malaikat yang pernah dikatakan oleh guru mengajiku itu saat ini telah berada di sini bersamaku. Sepintas dalam kegelapan kabut, kulihat cahaya dua sosok asing menghampiriku. Mungkin mereka itulah malaikat yang bernama Munkar dan Nakir[1]. Entah mengapa ketakutan tiba-tiba mencengkramku. Tubuhku semakin menggigil, bergetar sekencang guncangan bumi barusan. Kini dua makhluk asing itu telah berdiri dihadapanku, memandangi jasadku. Kabut membuat mereka tidak dapat terlihat dengan jelas, samar-samar yang terlihat hanya cahaya sosok tubuh mereka dan benda berbentuk seperti palu godam dalam genggamannya. Aku semakin yakin inilah kedua malaikat itu, Munkar dan Nakir.

Aku merasa perlu untuk lebih dahulu mengucapkan salam pada mereka berdua, tetapi entah mengapa lidahku terasa berat dan bibirku seperti terkunci. Aku pikir mungkin ini karena tubuhku yang membeku, sehingga aku sulit untuk menggerakkan bibir dan lidahku. Aku mencobanya lagi, tak bisa. Aku coba lagi, tetap tak bisa. Aku tetap tak mampu mengucapkan sepatah katapun, bahkan untuk menggerakkan bibir pun aku tetap tak mampu! Ada apa denganku?

“Siapa Tuhanmu?!”

Suara itu begitu menggelegar. Aku tersentak dalam keterkejutan yang amat sangat, aku merinding dalam histeria ketakutan. Malaikat itu menanyakan, siapa Tuhanku. Ya, siapa Tuhanku. Tentu aku akan menjawab Allah. Dan aku harus segera menjawabnya! Aku mencoba menjawabnya, akan tetapi kedua bibirku tetap tak mampu kugerakkan. Sedikitpun tak mampu, kaku. Tubuhku merinding sejadi-jadinya. Peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhku. Dalam suhu yang begitu dingin, entah mengapa keringat justru mengucur deras di seluruh tubuhku. Ketakutan menderaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Mulutku terkunci, tubuhku kaku, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku betul-betul tak mampu berbuat apa-apa lagi. Aku pasrah…

“Siapa Nabimu?!”

Gelegar suara itu kembali menyentakku. Mereka menanyakan siapa nabiku. Aku tahu jawabannya adalah Muhammad. Aku begitu ingin menjawabnya, tetapi lagi-lagi aku hanya bisa diam dalam kebekuanku. Aku pasrah lagi…

“Apa kitabmu?!”

Untuk yang ketiga kalinya gelegar suara itu kembali menyentakku. Mereka menanyakan apa kitabku, mereka menanyakan Al-Quran. Oh, seandainya bisa, aku ingin sekali menjawabnya. Aku tahu jawabannya, aku ingin menjawabnya. Namun lagi-lagi aku hanya bisa terdiam dalam kebekuanku. Kini, aku benar-benar pasrah…

Aku masih tidak mengerti, mengapa aku bisa menjadi bisu begini. Mulutku benar-benar terkunci. Bukankah inderaku yang lain dapat berfungsi dengan normal? Bukankah sesungguhnya aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Kalau aku tidak dapat menjawabnya, lalu apa gunanya pengetahuanku selama ini tentang Tuhan, nabi, dan kitab yang ditanyakan oleh malaikat-malaikat itu? Aku ingin memprotes, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Aku yakin Tuhan pasti tahu kegelisahanku saat ini, tetapi mengapa Dia tidak jua menolongku? Dimanakah Dia saat ini? Ah, betapa kecewanya aku, apa yang aku bayangkan dulu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang aku alami saat ini! Ingin rasanya aku memberontak atau setidaknya berunjuk rasa seperti yang sering dilakukan oleh orang-orang bayaranku dulu, tetapi aku tak mampu. Saat ini aku hanyalah makhluk kaku yang tak berdaya.

“Apa saja yang telah kau lakukan selama hidupmu di dunia?!” bentak salah satu dari mereka, gelegar suaranya semakin keras membahana.

Aku semakin panik, kegelisahanku memuncak. Pertanyaan apa lagi ini? Aku belum sempat menjawab ketiga pertanyaan tadi, malaikat yang angkuh itu sudah memberiku satu pertanyaan lagi. Apa saja yang telah kulakukan selama hidupku di dunia? Aku yakin, yang mereka tanyakan adalah perbuatan baikku selama di dunia. Selama ini aku telah melakukan begitu banyak perbuatan baik. Aku sering menjadi donatur pembangunan mesjid, aku banyak membantu pesantren dan panti asuhan, aku membayar zakat[2], aku melaksanakan shalat lima waktu, dan aku pun sudah berhaji[3]. Aku rasa sudah cukup banyak amalanku selama ini. Aku ingin mengungkapkan semuanya, akan tetapi lagi-lagi aku tak mampu. Mulutku masih terkunci. Semua kata-kata yang ingin aku ungkapkan terhenti hanya sampai di tenggorokanku.

“Jawablah wahai manusia!” bentaknya sangat keras, bagai gelegar petir menghentakku.

Aku kembali larut dalam histeria ketakutan yang tiada tara. Aku ingin menjawabnya, tetapi mulutku masih terkunci juga. Adakah sesuatu yang lain yang dapat membantuku menjawabnya?

“Selama hidupku aku telah mengambil hak orang lain yang bukan hakku!”

Suara itu terdengar begitu jelas, tapi aku tidak tahu dari mana asalnya. Suara itu sangat dekat, begitu dekat. Seperti menjadi bagian dari diriku.

“Aku telah mencuri uang rakyat!” katanya lagi.

Aku masih mencari-cari sumber suara itu, ketika ia kembali berucap. “Aku telah menerima begitu banyak sogokan, melakukan korupsi untuk memenuhi nafsu keserakahanku dan untuk kepentingan golonganku!”

Astaga! Betapa terkejutnya aku ketika sadar dari mana suara itu berasal. Suara itu berasal dari kedua tanganku! Apa lagi ini? Aku semakin tidak mengerti! Apa yang dikatakan oleh kedua tanganku itu memang benar, tetapi mengapa mereka yang harus menjawabnya? Bukankah fungsi mereka bukan berbicara tetapi memegang? Mulutku memang terkunci, tapi aku tidak pernah memberi mereka otoritas untuk berbicara? Betapa lancangnya mereka! Seandainya bisa ingin rasanya aku memotong kedua tangan penghianat ini!

“Aku memang sering mendermakan uang untuk pembangunan mesjid, membantu pesantren dan panti asuhan, dan membayar zakat. Akan tetapi aku melakukannya hanya karena mengharapkan pujian orang dan sebagian besar uang itu berasal dari hasil korupsiku,” kata tangan sial itu lagi.

Aku merasakan hatiku panas terbakar emosi! Tapi apa dayaku, hanya sampai di situ kemampuanku. Aku memang melakukan korupsi, tapi semua itu aku lakukan karena tuntutan hidup. Gajiku sebagai pejabat penting aku rasa belumlah mencukupi semua kebutuhan selama hidupku, terutama untuk menunjang eksistensiku sebagai orang terpandang. Apakah salah kalau aku juga ingin menikmati hidup yang serba berkecukupan selama di dunia? Kalau tidak melalui korupsi, lalu dengan cara apa lagi aku bisa mendapatkan semuanya? Hanya itu kemampuanku.

Penderitaanku ternyata tidak berhenti sampai di situ. Bukan hanya tanganku, anggota tubuhku yang lain pun ikut-ikutan menyalahi fungsinya. Mereka berlomba-lomba untuk mengungkapkan semua hal negatif yang pernah aku lakukan selama hidupku di dunia.

“Aku sering berbohong untuk mengelabui banyak orang!”

“Aku sering menyalahgunakan jabatanku dengan melakukan kolusi!”

“Aku sering berzina[4] dengan banyak wanita!”

“Aku sering melakukan perbuatan syirik[5] dengan mendatangi dukun untuk memperoleh dan mempertahankan jabatanku!”

“Aku pernah melecehkan lembaga peradilan dengan memberikan keterangan palsu di depan hakim!”

“Aku juga suka memfitnah orang yang tidak aku sukai!”

Betapa teganya mereka. Ingin rasanya aku membela diri, tapi aku tak sanggup. Mulutku masih tertutup rapat, membisu. Tidakkah malaikat-malaikat itu mau mendengar pembelaanku, ataukah mereka tidak membutuhkannya lagi?

“Kami sudah tahu apa yang menjadi alasanmu melakukan itu,” kata salah satu malaikat itu.

“Ketahuilah kehidupan di dunia hanyalah sementara, lalu untuk apa kau melakukan semua tindakan tercela itu untuk kehidupan yang sementara?” kata yang satunya lagi.

Aku mendengarnya, hanya itu yang bisa aku lakukan.

“Apa gunanya ilmu agama yang selama ini kamu dapatkan? Bukankah mengambil hak orang lain, berbohong, bersaksi palsu, menyalahgunakan jabatan, berzina, syirik, dan memfitnah adalah perbuatan yang tercela dan dilarang agama? Bukankah semua perbuatan tercela yang kau lakukan itu selalu bertentangan dengan hati nuranimu?” tanyanya beruntun.

“Ya,” jawabku dalam hati.

Aku akui setiap melakukan tindakan itu, hati nuraniku selalu gelisah.

“Lalu, mengapa kau melakukannya?” tanyanya lagi.

Aku tersadar seketika. “Astaghfirullah! Masih bisakah aku memohon ampun?”

“Terlambat!” kata kedua malaikat itu bersamaan.

“Terimalah siksa kuburmu sampai hari kebangkitan datang!”

Sesaat kemudian kedua malaikat itupun berlalu bersama kabut, meninggalkanku dalam sunyi sepi sendiriku.

Lamat-lamat kudengar suara gemerincing lonceng-lonceng bersahutan di sekitarku. Begitu nyaring. Semakin lama semakin nyaring, memekakkan gendang telingaku. Menusuk ke seluruh urat syarafku. Bunyi itu begitu lama menyiksaku. Ketakutan datang seketika menjemputku. Aku tercekam dalam histeria ketakutan yang amat sangat. Tubuhku yang sedari tadi terasa beku dan basah oleh keringat dingin, merinding sejadi-jadinya. Berguncang sedemikian dahsyatnya. Sesaat kemudian, aku merasakan sekujur tubuhku seperti terbakar dalam bara api yang menyala-nyala. Sangat panas. Membakar kulitku sampai melepuh, memanggang dagingku sampai ke tulangku. Sayup-sayup kudengar suara rintihan orang-orang yang terpanggang dalam bara api, rintihan yang memilukan. Inikah awal dari siksa kuburku?

Oh, Tuhan… Seandainya aku bisa memilih, aku ingin hidup sekali lagi. Sebentar saja… Berilah aku hidup barang beberapa hari saja. Aku berjanji akan berbakti kepadamu dan menebus segala dosa-dosaku. Aku akui, semua ini karena keraguanku selama ini kepada-Mu. Aku akan menjalankan segala perintah-Mu dan menjauhi segala larangan-Mu dengan ikhlas. Berilah aku kesempatan sekali lagi untuk membuktikannya. Oh, Tuhan… Adakah kau dengar rintihanku ini?

Terlambat, Bung!

Jakarta, March 7th 2002

Adn@n




[1] Dua malaikat yang bertugas mengadili manusia di alam kubur.

[2] Menyisihkan sebagian harta untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

[3] Mengunjungi Tanah Suci untuk melaksanakan serangkaian amal ibadah sesuai ketentuannya.

[4] Melakukan hubungan seks di luar pernikahan yang sah.

[5] Melakukan tindakan yang mempersekutukan Allah SWT.